Dekonstruksi dan Jalan Pembebasan

Heru Harjo Hutomo
5 Min Read
Gambar Ilustrasi "Equilibrium," 60x100 cm, kapur di atas papan, Heru Harjo Hutomo, 2020
Gambar Ilustrasi "Equilibrium," 60x100 cm, kapur di atas papan, Heru Harjo Hutomo, 2020

jfID – Berbicara tentang radikalisme dalam perspektif dekonstruksi secara sekilas seperti hal yang tak ada gunanya. Sebab, dekonstruksi sendiri selama ini dianggap tak mempercayai adanya dasar atau fundamen. Itulah kenapa Derrida, dalam Acts of Religion (2002), ketika menyinggung peristiwa 9/11 mengatakannya sebagai sesuatu yang inheren pada konsep demokrasi dan karena itu modernisme itu sendiri (auto-immunity).

Tapi saya kira, sejauh yang saya pahami, Derrida dan dekonstruksi tak eksplisit mengatakan bahwa apa yang disebut sebagai dasar atau fundamen itu tak ada, atau tak ada gunanya ketika meletakkannya sebagai titik awal ataupun titik akhir dalam proses berpikir. Dengan kata lain, dasar atau fundamen itu bukan urusan dekonstruksi. Maka, untuk mengatakan bahwa dasar atau fundamen bukan menjadi bagian yang penting dari dekonstruksi tak berarti dasar atau fundamen itu tak ada. Saya kira inilah wujud kekanak-kanakan banyak orang yang mengklaim dirinya sebagai dekonstruksionis.

Secara fungsional dekonstruksi tetap menggunakan dasar atau fundamen yang oleh Derrida tak eksplisit disebutkan. Tapi cara kerja dekonstruksi membuktikan tentang adanya dasar atau fundamen tersebut. Taruhlah cara kerja dekonstruksi yang berupaya membuat goyah, dalam kasus Derrida dalam Of Grammatology (1976), peminggiran tulisan atas lisanan yang telah dimulai sejak logos, yang secara harfiah berarti “sabda,” dianggap yang pertama kali mengada dalam kebudayaan Barat. Dari pelebihan tradisi lisan atas tradisi tulisan inilah berbagai oposisi biner kemudian menyeruak dalam kebudayaan Barat: maskulinitas atas femininitas, Barat atas non-Barat (sebagaimana kritik Derrida pada etnografi Saussure), keimanan atas kekafiran (dimana Derrida menemukan kekaburan batas antara seorang ateis dan seorang yang beriman bahkan mistikus sekalipun—(“Epoche and Faith: An Interview with Jacques Derrida,” dlm. (ed.) Yvonne Sherwood & Kevin Hart, Derrida and Religion: Other Testaments, Routledge: New York, 2005, hal. 37-8).

Secara tersirat, Derrida dan dekonstruksinya sebenarnya ingin merengkuh titik equilibrium. Hal ini dibuktikan dengan goyahnya, dalam kerangka oposisi biner, sisi dominan dimana dominasi itu dilakukan dengan meminggirkan sisi lainnya. Taruhlah masalah gender dimana lelaki sering diposisikan sebagai lebih tinggi ataupun lebih rasional daripada perempuan. Dekonstruksi bekerja dengan menggoyahkan dasar pandangan semacam ini, sebab kerapkali ketinggian atau kerasionalan lelaki tak dapat dilepaskan dari kerendahan atau irasionalitas perempuan. Tak benar pula pada akhirnya berkesimpulan bahwa, ketika konsep lelaki sudah rubuh, perempuanlah yang kemudian lebih tinggi atau lebih rasional. Sebab, hal ini sama saja dengan mengulang peminggiran sebelumnya laiknya logika ular yang mencaplok ekornya sendiri (Terorisme dan Emansipasi Gender, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org).

Titik equilibrium itulah yang bagi saya pribadi merupakan dasar atau fundamen dari dekonstruksi yang tak eksplisit disistematisasikan oleh Derrida. Siapa pun yang karib dengan pemikiran dan aktivitas berpikir akan paham bahwa tak mungkin semua itu berjalan tanpa adanya suatu dasar atau fundamen. Seperti Derrida sendiri ketika ingin berbicara tentang dekonstruksi, ia pasti akan menjelaskannya dengan bertolak dari sesuatu. Taruhlah strukturalismenya Saussure, mengenai konsekuensi dan kelemahannya yang kemudian memantik Derrida untuk menegaskan konsepnya tentang dekonstruksi.     

Dari perumusan di atas, maka radikalisme pada dasarnya adalah sebentuk logika peminggiran yang otomatis pula, sebagai konsekuensinya, sebentuk penindasan pada praktiknya. Bukankah pengkafiran adalah sebentuk mekanisme peminggiran yang otomatis pula sebentuk upaya penindasan ataupun pediskriminasian dalam praktiknya? Bukankah banyak kasus penindasan dan pendiskriminasian yang terjadi selama ini adalah karena dibiarkannya peminggiran-peminggiran yang terjadi pada tataran diskursif ataupun simbolik—tak lagi dihiraukannya konstitusi ataupun segala tata perundangan yang ada? Dengan demikian, saya kira, banyak kasus penindasan yang terjadi di kenyataan adalah karena dibiarkannya upaya-upaya peminggiran yang terjadi pada tataran diskursifnya. Patut diketahui bahwa di abad ini bukanlah kenyataan yang membentuk diskursus, melainkan diskursuslah yang justru membentuk kenyataan.     

(Heru Harjo Hutomo: penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article