Corona dan Sikap Hidup

Tjahjono Widarmanto
8 Min Read
Kerumunan Manusia di tengah Pandemi (Foto: APH Photo)
Kerumunan Manusia di tengah Pandemi (Foto: APH Photo)

jfID – Corona menjadi sebuah bukti nyata bahwa risiko dan krisis menjadi bagian yang inheren sekaligus dampak dari kehidupan global. Kemampuan dan cara untuk keluar dari krisis dan cara menghadapi risiko menjadi ciri dari masyarakat modern dan berlanjut ke masyarakat global. Ulrich Beck, filosof dari Jerman (1992) dan Anthony Giddens (1999), pemikir dan sosiolog dari Inggris mengistilahkan sebagai risk society.

Covid-19 atau corona menjadi pusat perhatian sekaligus hantu yang menakutkan bagi manusia di seluruh dunia. Corona menjadi hantu yang mengerikan karena menjadi pandemi global yang menyerbu lintas teritorial yaitu 200 negara, bahkan menggapai pusat-pusat kekuasaan dunia seperti Italia, Kanada, Iran, Cina, Amerika Serikat, Italia dan Korsel dan mengancam seluruh negara di dunia mulai dari bentang Asia, Eropa, Afrika, Australia, hingga Timur Tengah.

Corona menjadi hantu yang mencekam karena obat atau vaksinnya belum ditemukan dan penyebarannya teramat pesat dan seperti deret ukur. Dampak global lainnya adalah efek psikologi massa yaitu kecemasan dan kepanikan massal. Disamping mengusung cemas, tragedi pandemi corona memberikan hikmah dan pelajaran yaitu memunculkan sikap hidup positif.

Sikap hidup positif yang muncul itu antara lain sikap hidup waspada,  sikap hidup optimistis, sikap hidup menghargai lingkungan, dan sikap hidup transendental. Semua sikap hidup tersebut di atas sebenarnya sudah ada dalam lapisan mental dan bawah sadar, namun dengan adanya tragedi corona sikap-sikap hidup tersebut terungkit semakin tajam dan menjadi sebuah kesadaran yang tidak sekedar naluriah.

Waspada diartikan sebagai sikap hati-hati, bergegas dan bersiap sedia. Waspada dianggap sebagai sebuah sikap dan perilaku positif yang seharusnya dipunyai manusia. Dalam konsep Zen Budhisme, waspada diistilahkan sebagai mind fullness yaitu sebagai suatu kondisi tubuh dan jiwa yang sadar, awas dan tidak lengah. 

Waspada adalah antitesis cemas. Sikap hidup yang waspada adalah senantiasa berada dalam sikap kesadaran mempertajam nalar (pikir), rasa (batin) dan pancaindera. Mempertajam nalar artinya senantiasa awas mengembangkan pola pikir yang positif sekaligus bersikap hati-hati dalam memandang setiap persoalan yang ada di sekelilingnya. Mempertajam rasa berarti meningkatkan kehati-hatian dalam bersikap spirit dan batin, bahkan berhati-hati menghadapi gejolak jiwa dan nafsunya sendiri. Adapun kesadaran atas pancaindera adalah kemauan dan sikap berhati-hati merespons pada berbagai hal dan situasi yang menstimulasi panca inderanya.

Sikap waspada sebenarnya sudah menjadi kearifan lokal masyarakat Nusantara. Dalam budaya Jawa, waspada merupakan sikap spiritual yang disandingkan dengan konsep eling. Eling tak hanya berhenti pada makna harfiah ‘ingat’ namun berkait dengan sikap spiritual dan etika yang mengarah pada kontrol diri. Kontrol diri adalah kesadaran yang lebih dari sekedar mengingat namun sampai pada tindakan membatasi gerakan diri, baik yang besifat fisik maupun jiwa. Dalam serat Kalatidha, Ronggowarsito menekankan sikap eling lan waspada dalam menghadapi gejolak zaman yang serba edan. Pun demikian dengan Suryomentaran dan Sosrokartono yang mengedepankan sikap kehati-hatian dan eling dalam bertutur kata, bertindak baik lahir maupun batin pun dalam merespons berbagai tragedi dalam hidupnya.

Cemas adalah kebalikan dari waspada. Cemas adalah gambaran atau keadaan psikologis atau kejiwaan yang memiliki karakteristik takut, kekhawatiran yang berlebih dan berkepanjangan yang berakibat munculnya rasa gugup dan melahirkan sikap serta perilaku panik. Kecemasan muncul karena dipantik oleh gagalnya mengelola rasa takut yang akhirnya mengalahkan nalar yang mewujud pada perilaku panik yang irasional. Dalam kasus corona, fenomena itu jelas tergambar pada perilaku, misalnya memborong dan menimbun masker, takut bertemu dengan orang lain, cemas beraktivitas di luar rumah, curiga dengan lingkungan sosial, serta menimbun kebutuhan pokok. 

Kebalikannya, waspada justru melahirkan sikap rasional yang matang yang mengedepankan nalar sehingga mewujud pada perilaku yang justru strategis dan taktis. Sikap waspada memunculkan perilaku hati-hati. Melalui sikap waspada bisa ditata aspek kejiwaan yaitu menata psikis untuk tak boleh kalah dengan rasa cemas dan takut. Bisa memunculkan sikap psikis yang memunculkan keberanian sebagai kemampuan mengelola rasa takut dan cemas sehingga bisa menjaga kewarasan berpikir dan tidak terjebak pada perilaku irasional.

Sikap hidup positif yang lain adalah sikap hidup optimis. Sikap hidup optimis adalah sikap yang selalu berpengharapan baik dalam menghadapi berbagai hal termasuk dalam menghadapi tragedi sepahit apapun. Lawan dari optimis adalah pesimis. Pesimis adalah sikap kebalikan dari optimis yaitu sikap khawatir yang mengakibatkan perasaan putus asa.

Sikap hidup optimis mewujud dalam perilaku yakin, percaya diri, dan tabah dalam menghadapi segala tragedi dan persoalan hidup. Sikap hidup optimis seturut dengan sikap waspada, sedangkan sikap pesimis adalah anak kandung dari sikap cemas.

Sikap hidup menghargai lingkungan merupakan salah satu sikap hidup yang muncul dari hikmah di balik tragedi corona. Seperti juga waspada, sikap hidup menghargai lingkungan pun sebenarnya merupakan konsep sikap hidup yang sebenarnya sudah ada dan terpendalam dalam bawah sadar yang terbentuk karena kearifan lokal dan wisdom. Masyarakat Nusantara secara kultural menyadari bahwa manusia merupakan bagian dari alam, bahkan menganggap manusia sebagai jagat cilik dan alam sebagai jagat gedhe.

Manusia adalah bagian dari alam, tak bisa melepaskan diri dari alam. Manusia memiliki tugas untuk menjaga keseimbangan alam atau memiliki peran sebagai memayu-hayuning bawana atau menjaga alam kehidupan. Alam sebagai jagat gedhe tak hanya diartikan sebagai lingkungan hidup semata, namun juga sebagai lingkungan sosial. Berarti memayu-hayuning bawana adalah menjaga keseimbangan alam lingkungan hidup sekaligus menjaga keseimbangan sosial, menjaga perasaan saling menjadi bagian dengan manusia lain, keluarga dan masyarakat.

Sikap hidup yang terakhir, yang terungkap dan dipertajam dari himah tragedi corona adalah makin tumbuhnya kesadaran transedental dan menjadi tajam. Kesadaran transendental pun sebenarnya merupakan satu kesadaran yang sudah dimiliki masyarakat kita yang memiki kepekaan dan kesadaran spiritual yang tinggi. Masyarakat Nusantara adalah masyarakat yang secara kultural merupakan manusia yang memiliki kesadaran religius.

Kesadaran transendental yang religius dan spiritual tersebut mungkin selama ini dikalahkan kepentingan dan aktivitas duniawi. Tragedi corona mengulik kembali kesadaran transendental tersebut. Sikap hidup kesadaran transendental tersebut mewujud pada tiga sikap jiwani yaitu pertama,  menguatnya pengakuan pada keterbatasan diri sebagai mahluk yang tak berdaya, kedua: menguatnya pengakuan kebesaran Tuhan, dan ketiga meneguhkan sikap penyerahan diri pada Tuhan dalam bentuk ihtiar, tawakal dan doa.

Akhirnya, semoga kita menyadari di balik tragedi corona ada hikmah terselubung yang menjadikan kita semakin bernilai sebagai manusia. Semoga tragedi corona ini mampu menjadikan kita sebagai insan dan masyarakat yang lulus dari berbagai ujian dan tantangan hidup, bukan sebaliknya menjadikan kita sebagai manusia dan masyarakat yang gagal.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article