Bias Nurani dalam Kasus Korupsi

bramadapp
5 Min Read
Ekspresi para koruptor (istimewa)
Ekspresi para koruptor (istimewa)

jfid – Minggu lalu saya melihat ILC yang membahas kasus korupsi Mensos. Saya pribadi sejak awal sudah menduga bahwa bahasan akan fokus kepada apakah Mensos bisa dijatuhi hukuman mati atau tidak. Hukuman mati bagi Mensos menyeruak mengingat yang dikorupsi adalah dana bansos dan terjadi di masa Pandemi Covid yang berdampak kepada resesi ekonomi.

Dari sini, sangat bisa dipahami jika hukuman mati dianggap pantas dan layak. Namun, toh nyatanya ada yang tidak setuju, bahkan ICW sendiri menganggap hukuman mati tidak akan memberi efek jera. Di sisi lain, meskipun hukuman mati bisa dijatuhkan, akan ada segolongan orang yang menyatakan bahwa hukuman mati melanggar HAM. Di sinilah yang saya sebut sebagai bias nurani untuk menggantikan kata ‘bias pasal’ sebagai bahasa hukum yang esoteric (hanya dipahami oleh orang atau komunitas tertentu).

Masyarakat yang hakikatnya adalah pemangku kepentingan di alam demokrasi sejatinya memiliki hak untuk memberikan penilian tentang penegakan hukum utamanya dalam kasus korupsi para pejabat dan penyelanggara negara yang jelas-jelas merugikan rakyat. Namun, atas dalih negara hukum, rakyat dibungkam dengan kalimat klise, “Aparat penegak hukum lebih paham soal hukum daripada rakyat”. Pada tahap inilah terjadi bias nurani, di mana nurani rakyat dikesampingkan dan dikalahkan oleh bahasa hukum. Ketika masyarakat dengan bahasa nurani menginginkan hukuman mati bagi koruptor, justru acapkali keinginan masyarakat itu dibalas dengan bahasa hukum yang esetoric.

Kalau mau jujur, sejak diberlakukannya Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan tegas disebutkan bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. Dengan ditetapkannya korupsi sebagai extra ordinary crimes oleh negara Indonesia, maka seyogiyanya negara, rakyat dan budaya masyarakat Indonesia bersikap zero tolerance terhadap segala bentuk korupsi.

Sayang seribu sayang, alih-alih zero tolerance, justru ICW mencatat bahwa rata-rata putusan hukuman bagi koruptor semester 2020 rata-rata hanya 3 tahun saja. Sebagai extra ordinary crime, rata-rata putusan 3 tahun tentu perlu dipertanyakan. Namun sekali lagi, ketika rakyat dengan bahasa nuraninya menilai hukuman bagi koruptor tidak adil (dengan bahasa yang lebih sederhana misal: pencuri motor saja ada yang ditembak, dibakar massa, sedangkan koruptor hanya dihukum ringan, diperlakukan istimewa), penilaian itu justru dianggap sebagai ketidakpahaman masyarakat kepada hukum yang berlaku.

Sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) yang melekat pada kekuasaan, korupsi pada gilirannya akan cenderung untuk memunculkan kejahatan turunannya seperti pengalihan isu, penyesatan kebenaran, permainan hukum, dan korupsi lain melalui suap-menyuap di lingkaran aparat penegak hukum (seperti kasus terhangat Tjoko Tjandra yang menyeret Jaksa Pinangki). Pada tahap ini, bias nurani pada akhirnya juga terjadi di tataran aparat penegak hukum sampai pada titik terpengaruh untuk ikut serta melakukan korupsi. Hal semacam ini seperti sebuah anekdot, “Daripada koruptor membayar denda 200 juta hingga 1 milyar, lebih baik uang itu digunakan untuk membeli hukum.”

Sementara itu, pidana tambahan bagi koruptor seperti penyitaan aset tidak berjalan efektif. Buktinya, para koruptor selepas selesai menjalani pidana, hidupnya masih tetap bergelimpang harta. Hati rakyat tercabik-cabik ketika melihat pernah mantan koruptor di Indonesia alih-alih dimiskinkan, justru mereka masih tetap bisa hidup bermewahan. Alih-alih hidupnya terhina, para mantan koruptor justru masih mendapatkan derajat sosial yang tinggi dan dihormati karena hartanya.

Bramada Putra Pratama, Intelektual NU dan pegiat bahaya korupsi.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article