Bhremarawilasita: Tentang Tembang, Kembang, Kumbang, dan Kekariban

Heru Harjo Hutomo
4 Min Read
"Du(m)eling," 60x100 cm, kapur di atas papan, Heru Harjo Hutomo, 2020
"Du(m)eling," 60x100 cm, kapur di atas papan, Heru Harjo Hutomo, 2020

urip iku entut

gak urusan jawa utawa tionghoa

muslim utawa Buddha

kabeh iku padha

neng ngendia ae tetep entut

terus geneya padha ribut?

Semar Mubal, Heru Harjo Hutomo

jfid – Seni tembang dalam kesusastraan Jawa secara umum dibagi menjadi tiga macam sesuai dengan bentuk kesusastraannya: sekar ageng, sekar madya, dan geguritan—atau untuk meminjam istilah pada bidang lain—sastra kamardikan. Sekar ageng umumnya mengacu pada bentuk karya kakawin yang hidup sampai era Majapahit yang masih penuh dengan bahasa sansekerta. Sedangkan sekar madya, yang merupakan bagian dari sastra pertengahan, mengambil bentuk seni macapat sebagaimana yang dikenal sampai hari ini dengan bentuk bahasa yang dikenal dengan bahasa kawi (bahasa sastra Jawa pertengahan yang bercampur dengan bahasa sansekerta). Meskipun ada yang mengkategorikan seni macapat ini sebagai sekar alit yang berbeda dengan sekar madya, tapi dari segi bahasa mereka serupa dan sama-sama dipakai misalnya pada Serat Centhini dimana hal ini membuktikan bahwa sebenarnya seni macapat masuk dalam kategori sekar madya. Sementara, sastra kamardikan adalah bentuk kesusastraan Jawa setelah era kemerdekaan yang sudah terpengaruh oleh kesusastraan modern yang karenanya biasanya disebut dengan geguritan atau puisi yang tak mesti ditembangkan.

Beberapa bentuk tembang atau sekar ageng (puisi yang dinyanyikan) adalah Bhremarawilasita yang acap dikumandangkan para dalang pada adegan dialog di saat pathet manyura untuk membentuk sebuah suasana.

Yahni yahning talaga kadi langit

Mambang tang pas wulan upamanika

Wintang tulyang kusumaya ya sumawur

Lumra pwekang sari kadi jalada

Bagi saya pribadi, yang menarik dari se-pupuh tembang di atas adalah dipakainya bremara atau kumbang sebagai nama metrum. Entah sejak kapan kumbang dan kembang menjadi pesona tersendiri buat para pujangga nusantara. Dalam kesusastraan Jawa, kumbang pun selalu dikaitkan dengan kembang untuk melukiskan kisah kasih antara seorang lelaki dan perempuan—atau lebih tepatnya, sebentuk relasi yang komplementer dimana yang satu tak dapat dipisahkan dari yang lainnya. Hal seperti ini memang terdengar klise dan membuat muak. Tapi memang, para pujangga nusantara tak menyajikan segala hal secara mentahan. Orang perlu mencerna terlebih dahulu sebelum memakannya agar kewirangan tak menghiasi wajah dan laku kikuk seseorang.

Taruhlah lebah yang juga sama-sama berdengung laiknya kumbang ketika menyesap kembang, oleh para pujangga Jawa sama sekali ia tak dikaitkan dengan romantika antara lelaki dan perempuan. Sebab, pada lakon Dewa Ruci lebah yang berdengung atau tawon gumana justru dipakai untuk melukiskan kondisi meditatif seorang Arya Sena. 

Pada pertunjukan wayang kulit kondisi meditatif Arya Sena yang diperlambangkan dengan tawon gumana yang diisyaratkan pula oleh kombangan sang dalang dalam pagelarannya, “Ong/Om/Aum,” adalah sebentuk suara purba dimana bukanlah manusia yang menciptakannya (“Sambat Sebut”: “Duh Gusti… Trondholo!”, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id). Di sinilah barangkali para sufi, Yogi, dan sanyasin, meletakkan kekariban mereka. Dan karena hal ini pula, saya kira, kisah Laila-Majnun yang ditulis oleh seorang sufi asal Afganistan, Abdurrahman al-Jami’, mendapatkan kegamblangannya.

Lamun kalbu wus tamtu

Anungku mikani kang amengku

Rumambating eneng ening awas eling

Ngruwat serenging rerengu

Urubmu kedhaping panon

Kandha Manyura, Heru Harjo Hutomo
(Heru Harjo Hutomo: penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article