Beruntungnya Kalau Gagal yang Nanggung Rakyat

Rasyiqi
By Rasyiqi
7 Min Read

jfID – Di dalam masa pandemi yang semakin meroket yang terpapar, secara pribadi saya sangat perduli. Tapi tidak bisa berbuat banyak kecuali mengingatkan pakai masker, pakai masker, pakai masker!

Dimasa keterbatasan ruang gerak manusia dan keterbatasan investasi oleh investor besar, juga sistem keuangan yang dibatasi, maka ada sebuah industri yang terpukul telak yaitu industri hiburan.

TV nasional banyak acara yang hilang dan menyetel re-run. Iklan turun memasang di TV walau penonton TV sedikit lebih banyak dari biasanya ketika PSBB namun sekarang mulai lagi ditinggalkan penonton plus pengiklan.

Artis sinetron, penyanyi, seniman panggung juga banyak yang kering dunianya yang tadinya basah.

Apalagi sineas manusia di sekitar film layar lebar nasional. Mereka kesulitan bukan dari sekarang sebenarnya, sejak 10 tahun yang lalu gerak mereka sudah terbatas, terbatas karena mereka tergantung layar lebar bioskop yang manayangkan film mereka.

Lalu, pemilik layar lebar itulah sebenarnya yang paling banyak untungnya. Namun kita harus faham mereka invest bioskop tidak murah, beresiko amat sangat besar jadi wajar mereka harus untung.

Karena pengendalian layar tergantung pengelola bioskop maka kita sebagai orang sineas yang pasti semua sudah mengerti dan faham, ketika ada film yang menguntungkan seperti film hollywood film kita di bioskop bisa mendadak turun layar walaupun terlihat menjanjikan.

Pengelola bioskop tidak perduli. Dari 1500 layar, pemainnya yang besar hanya 2, dan ada bahkan yang memiliki hampir 1000 layar.

Pernah, sahabat saya, filmnya baru tayang 3 hari dari 2 minggu yang dijanjikan diberikan 150 layar, tahu-tahu ada film ironman 2, layarnya mendadak hanya di berikan 50. Sisanya ya ironman itu.

Begitu ada film Hollywood. Film nasional yang salah hari luncur, bubrah aja, terlepas dari bertapa bagusnya film tersebut. Modal 15 milyar dengan target 500 ribuan penonton bioskop mendadak hilang peluangnya.

Disisi bisnis perfilman, saya izin menguraikan sedikit

Dunia film bioskop itu ada 3 staging, pertama bioskop yang biasanya mendapatkan 50-70% dari revenue, kemudian masuk ke pay perview biasanya 10-30% semacam netflix, kemudian stage ke 3 masuk ke dunia TV free to air akan mendapatkan 2-10% revenue.

Staging 2 payperview chanelnya di Indonesia masih dimiliki asing dan para sineas di tekan habis harganya. Kalau stage 3 ke TV free to air yang dibeli putus, murah.

Jadi di Indonesia stage 2 masih berpeluang menjadi bisnis yang baik.

Mendapatkan potensi 10 – 30% dari market share film. Ini gede banget. Di sinilah tanduk seorang bossman berdiri ngadek. Kok saya tertantang ya?

Selain tertantang, memang secara bawah sadar, kayaknya distruptor, destructor dan innovator sudah bawah sadar si sontoloyo ini.

Secara filosofi bisnis atau bernegara si sontoloyo ini anti monopoli, oligopoli yang di Indonesia sudah 40 tahun bercokol, bahkan BUMN bagi saya merupakan pelaku elitis monopoli dan oligopoli.

Sebentar, kayaknya oligopoli harus dijalin lagi nih, artinya bagi kalian anak milneial dan zoomer ya. Oligopoli adalah dalam sebuah pasar pemainnya dibatasi dengan aturan di mana produsennya 2-3 atau di bawah 10. Yang lain tidak boleh masuk dan biasanya para oligarki membayar peraturan sebuah negara agar melindungi bisnis mereka. Dan ini anti pasar bebas.

Di Indonesia UKM dihalangi jadi besar dengan keoligopolian BUMN dan beberapa pengusaha yang itu itu aja sejak dulu, karena memang mereka yang buat peraturannya.

Dunia bioskop sama. Apakah ini salah? Bagi saya sebagai pebisnis ya wajar dan boleh-boleh saja. Jadi di dunia pasar bebas, naluri bisnis kita tertantang.

Disinilah sejak beberapa bulan ini si sontoloyo di masa covid zoom zoom an dengan pemain papan atas Indonesia, di dunia sineas.

Otak digital kita keluarlah langsung

Ide sederhananya adalah, kalau layar lebar hanya 1500 di seluruh Indonesia mengapa kita ngak bikin 1 juta layar di rumah para penonton? Ini melawan oligarki dengan demokratisasi market!

Sahabat semua, akhirnya kita kerjakan model bisnis tadi. Setiap tahun ada 150 film karya anak bangsa yang harusnya tidak perlu bergantung pada layar lebar karena kita ubah stage satunya di kombinasi dnegan stage 2.

Nonton di gadget bisa atau nonton di rumah sambungkan ke TV di rumah jadikan home theater nonton bersama keluarga.

Beta testnya kemarin kita sudah lakukan dan berjalan lancar alhamdulillah. 1 bulan lagi mungkin bisa test run, soft launching.

Sekarang apa moral story info kita kali ini, bukan mau jualan loh ya. Mau mengingatkan diri saya sendiri bahwa peluang itu semua di depan mata harus berani mengeksekusi. Sementara pemimpi akan terus tidur seharusnya kita bangun dan mengerjakannya.

Juga kita harus berani menanggung resiko pribadi atas kegagalan itu, o iya jadi inget, sementara pejabat negara kalau gagal ngak ada yang ditanggung olehnya, nanti pensiun asik asik aja main sama anak cucu, serasa ngak berdosa. Terus mengeluarkan kata kata bijak setiap saat kasih nasehat. kesalahanya? yang nanggung pejabat setelahnya dan rakyat jelantah indonesia. Makanya heran, sudah ngak nanggung apa apa, eksekusi lambat, terlalu jaga posisi politik, takut takut, salah lagi. Jiaaah. Apes-apes deh loh yang mau jadi pejabat 2024/ #peace

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article