Berburu Rizki Bantuan Pemerintah Dimasa Pandemi

Rasyiqi
By Rasyiqi
6 Min Read
Gambar Ilustrasi: rilis.id
Gambar Ilustrasi: rilis.id

jfID– Cerita tentang Pandemi Corona tidak hanya berisi upaya pencegahan dan penanganannya. Sebagai wabah yang mengguncang belahan dunia, tetapi juga perihal pemberian bantuan sosial bagi masyarakat yang terdampak.

Berbagai macam bentuk bantuan yang disajikan ke publik, sebut saja BLT DD, BPNT Pengembangan, BTS, Penambahan Kuota PKH, JPS Gemilang untuk Bantuan lokal Provinsi NTB, JPS Bersatu untuk Kabupaten Lombok Tengah.

Bantuan Sosial tentu dihajatkan dalam rangka membantu ketahanan maayarakat, khususnya kalangan masyarakat miskin dan rentan secara ekonomi untuk memiliki kekuatan dalam menghadapi pandemi ini. Dan tentu, bantuan tersebut, menjadi berkah tersendiri bagi masyarakat penerimanya.

Rupanya, cerita dibalik bantuan tersebut, tidak hanya berisi kegembiraan saja, tetapi juga memicu riak-riak sosial di masyarakat. Ada banyak persoalan yang muncul di tingkat masyarakat, sebut saja siapa yang berhak menerima bantuan tersebut?

Pada konteks ini, Pemerintah membuat kriteria-kriteria khusus sebagai cara untuk menentukan kebijakan dalam menentukan sasaran kegiatan. Misalnya, BLT DD yang memilik 14 kriteria sasaran penerima.

Tetapi, menggunakan kriteria tersebut, pada tataran teknis tidak serta merta mudah dilakukan. Ada banyak persoalan yang terkadang dipakai sebagai pembanding masyarakat dalam mengukur mereka yang dapat menerima kegiatan tersebut. Misalnya, tatkala mereka (Pemerintah) membandingkan sasaran penerima kegiatan PKH dan BPNT yang kadang tak masuk nalar logika.

Terdapat masyarakat dalam satu Dusun atau Lingkungan misalnya, lebih mampu secara ekonomi menjadi sasaran kegiatan tersebut. Sementara yang tidak mampu menjadi penonton parade pengambilan sembako yang pada musim pandemi ini diambil setiap bulan.

Sekilas, ada misinformasi tentang siapa yang menentukan sasaran kegiatan. Lalu para Kepala Dusun dan Kepala Desa sebagai perangkat pemerintahan terbawah dituding sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam menentukan sasaran.

Di Provinsi NTB, terkhusus kepada bantuan JPS Gemilang, persoalan muncul dalam penyalurannya, tidak hanya pada siapa yang menjadi sasaran penerima bantuan yang sudah ditentukan oleh Pemerintah Provinsi.

Lalu jika kondisinya demikian, apakah “parameter” untuk menentukan jatah di masing-masing Desa?Darimana kah muncul nama-nama penerima bantuan? Apakah Pemerintah Desa dilibatkan dalam menentukan sasaran kegiatan? Hingga jenis bantuan yang diterima masyarakat kualitasnya dipertanyakan?

JPS Bersatu untuk Kabupaten Lombok Tengah juga masih menyisakan pertanyaan.  Bahkan dalam pemberitaan oleh media, Jaksa yang dilibatkan memantau penyalurannya menemukan ada penerima bantuan yang tak sesuai dengan NIK dan KK, hal tersebut bisa terjadi karena sasaran penerima kegiatan bersumber dari Basis Data Terpadu (BDT) yang kadang abai perlu di perbarui.

Hal serupa juga berlaku di tataran paling bawah BLT DD yang memunculkan intrik sosial yang lebih rumit. Sumber informasi masyarakat Desa melalu Televisi mengatakan bahwa semua masyarakat terdampak Covid 19 berhak mendapatkan bantuan tersebut memicu salah sangka kepada Pemerintah Desa yang terkadang lamban dalam menyalurkan bantuan tersebut.

Dengan fakta seperti ini, ada banyak persoalan yang dihadapi Pemerintah Desa, misalnya BLT DD ini bukan merupakan “bantuan keuangan” dari Pemerintah Pusat tetapi hanya realokasi anggaran yang sudah ditetapkan dalam APBDes tahun 2020.

Pada konteks ini, Pemerintah Desa harus mengacak kembali APBDes menjadi APBDes Perubahan khusus. Juga tentang diberikan otoritas mutlak kepada Pemerintah Desa dalam menentukan sasaran kegiatan.

Ada kegalauan yang muncul akibat ini, seperti jumlah masyarakat yang layak menerima BLT DD tersebut lebih banyak dari alokasi anggaran yang disiapkan berupa pemberian uang Rp. 600.000 per Bulan selama 3 Bulan. Bahkan muncul wacana bagi rata yang konon pernah dipakai dalam pembagian beras miskin (Raskin) untuk menyelesaikan persoalan tersebut.

Pada Konteks eskalasi sosial tersebut, Pemerintah Desa sepertinya paling terbebani dengan persoalan bantuan. Tak jarang masyarakat yang tak sabar karena terprovokasi informasi dunia maya bersuara tegas dan bertindak keras. Mereka (Masyarakat) menuntut pemerintah Desa bergerak cepat untuk segera menyalurkan bantuan tersebut.

Disisi lain, Pemerintah Desa lamban menjawab problematika masyarakat tersebut, karena akumulasi persoalan-persoalan yang bersifat teknis.

Kondisi seperti ini harus segera ditemukan solusinya. Pemerintah Desa harus mengambil langkah solutif dengan memacu kerja perangkat Desa dan stakeholder lainnya ditingkat Desa. Masyarakat yang tak sabar memburu rizki yang setiap hari mendengar informasi di media sosial, televisi, juga harus dilibatkan dalam hal tersebut.

Sosialisasi dan membangun partisipasi masyarakat Desa sebagai ruh bergerak Desa juga harus dimaksimalkan. Tentu dengan pendekatan tersebut diharapkan “rizki Pandemi” tidak akan menjadi musibah bagi Desa yang trauma dengan persoalan masa lalu ketika bantuan sejenis menyebabkan Kantor Desa dirusak, disegel, oleh masyarakat setempat.

Penulis: Guruh Samudra, Pemerhati Mayarakat Desa

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article