Benarkah Wong Cilik Pemegang Kartu Kekuasaan ?

Rasyiqi
By Rasyiqi
3 Min Read
Ilustrasi Wong Cilik
Ilustrasi Wong Cilik

Oleh : Herry Santoso

BUNG KARNO dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi berkali-kali “menyebut penindasan dan pengisapan terhadap sesama bangsa” ( exploitation de l’homne par l’homme ). Baik pengisapan secara fisik (material) maupun penindasan secara moral. BK tidak pernah takut terhadap kaum kolonial, tetapi ia justru sangat takut dan khawatir pada bentuk penjajahan terhadap kaumnya sendiri. Benarkah yang dikhawatirkan oleh BK tersebut kini telah terjadi?

Tiket Kekuasaan

Secara politis, semua mengatasnamakan demokrasi yang pada gilirannya mengemban amanah “wong cilik”, atau kaum dhuhafa, atau kaum marhaen, atau the lower class, dan seterusnya hanya lantaran untuk “meraih tiket kekuasaan”. Padahal mereka (yang berkepentingan denfan wong cilik) tidak memiliki gen wong cilik sama sekali. Mereka bergenetika burjuistis lantaran dulunya orang tuanya konglomerat, seorang feodalis, seorang neolib. Mereka sepanjang hidupnya belum pernah tidur berkolong langit, berselimut embun, belum pernah makan nasi gaplek, tetapi yang ia makan selalu lezat layaknya hamburger, pizza, hot dog dan sebagainya yang identik dengan gizi lebih. Mereka belum pernah ke luar-masuk pasar tradisional yang penuh bau, lumpur, dan berdebu tetapi mereka biasa keluar-masuk mall, pup, dan diskotik. Mereka lebih mengenal sirkuit, padang golf, dan gadget daripada permainan gobak sodor, engklek dan kasti. Mereka lebih mengenal striptease, ketimbang rebana, gamelan, kecapi, dan tari serimpi.

Itulah gambaran kaum kaum menengah ke atas ( middle to upper class ) yang belakangan selalu menggunakan simbol “wong cilik” untuk meraih singgasana kekuasaan. Alhasil wong ciliklah yang jadi korban : yang demonstrasi kaum elite politisi yang ditangkapi wong cilik, yang naik mobil kaum elite yang ganti ban wong cilik, yang konser selebritis yang ngamen wong cilik, yang impor beras kaum elite entrepreneur yang jadi kambing hitam petani, yang jadi agen TKI kaum pengusaha yang dipancung wong cilik, yang suka pelesiran nyonya-nyonya gedongan yang jadi emak-emak wong cilik, dan masih sederet ukur lagi.

Fenomena di atas sebagai potret buram wong cilik yang terus-menerus tereksploitasi oleh politik. Kultur feodalisme yang selalu mengonotasikan Bendara dan Kawula terus dan terus membelit zaman, politik, rezim, dan kekuasaan. Semua penuh jargon dan retorika, dan terus menjadi mainstream kekuasaan tak berkesudahan. Itulah nasib “wong cilik” yang hanya jadi pabrik impian ( dreams factory ). Selamanya. Duh….!

Tentang Penulis : Herry Santoso, adalah pemerhati sosial, politik, dan budaya, pendiri Sanggar Sastra ADINDA Pasongsongan, Sumenep, kini menetap di Blitar Jawa Timur.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article