Badai TGB dan Kapal yang Karam

Rasyiqi
By Rasyiqi
8 Min Read
Tuan Guru Bajang, mantan Gubernur NTB (foto: merdeka.com)
Tuan Guru Bajang, mantan Gubernur NTB (foto: merdeka.com)

jf.id – Hadir sebagai tokoh muda dan punya karisma keulamaan dan cucu dari pahlawan Nasional dari NTB. Berkiprah di panggung Nasional dan bukan perkara gampang dan sebagai pemain baru dikancah nasional yang berasal dari luar Pulau Jawa, TGB cukup dibilang hebat. Popularitasnya meningkat pesat seperti disulap, hingga menembus ke seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Di kancah nasional, TGB awalnya menjadi harapan sebagian besar masyarakat NTB, tetapi, dia belakangan tampak tenggelam di dalam kapal besar partai beringin.

Mengapa demikian? Mungkin banyak yang bertanya, setelah TGB purna sebagai Gubernur NTB, dia masuk Golkar dan tenggelam dalam aktivitasnya. Nyaris, namanya kini tenggelam di kancah nsional. Padahal, sebelumnya, TGB sebagai salah satu tokoh muda yang cukup cemerlang. Sebuah parasut yang menyertainya kembali dengan berbagai asumsi, bahwa, TGB yang muncul dari NTB bisa bertarung di kancah politik nasional.

tetapi apa daya, seperti kapal yang hampir karam, kiprah TGB terganjal. Keputusannya memilih salah satu partai. Golkar sebagai partai para pengusaha menarik TGB mungkin dengan pertimbangan bahwa TGB sebagai ikon yang mewakili Islam di tubuh partai beringin tersebut.

TGB akhirnya menjatuhkan pilihannya ke Golkar setelah menolak godaan Nasdem. Sebagai imbasnya, partai Golkar yang dijajaki TGB tampak tak menempatkan TGB sebagai figur istimewa, meski dia ditempatkan mengomandani salah satu bidang di tubuh partai tersebut. Namun mekanisme dalam partai tak mengizinkan TGB cukup lenggang bermain di dalam partai.

Di NTB, TGB sebagai pemimpin daerah yang dianggap berprestasi, namun di kancah nasional, dia kehilangan panggung dan kehilangan momentum. Kini TGB tak berkutik setelah masuk dalam partai beringin tersebut. Setelah pilpres, namanya bak kapal karam. Mimpinya sebagai menteri akhirnya kandas di tengah jalan.

Pengaruh pilihan TGB, berlabu di partai Golkar bisa jadi menjadi faktor penting yang mempengaruhi meredupnya nama TGB di kancah politik nasional. Selain memang terdapat faktor-faktor penting seperti dugaan kasus-kasus yang menjerat TGB selama ini, mengirim kabar angin tentang figur TGB. Meski memang patut dilihat, kegagalan TGB dalam memenangkan partai Golkar dan Presiden Jokowi pada pemilu serentak beberapa waktu lalu di NTB.


Tentu, bukanlah sebuah kegagalan menjadi salah satu indikator mengapa TGB tak terlalu dipandang dan diberikan panggung utama di tubuh partai Golkar dan bahkan diusulkan menjadi menteri-pun oleh golkar tidak. Wajar, kemudian TGB hadir sebagai semacam figur yang mewakili Islam, tetapi tak begitu efektif mempengaruhi elektabilitas partai.

Masa Depan TGB di Kancah Nasional
masih di ingat di ingatan kita, nama TGB begitu kerap diberitakan setelah dia memberikan pernyataan sikap untuk mendukung Jokowi, namanya melambung tinggi. Hampir semua stasiun televisi mengundang secara spesial Tuan Guru Bajang untuk memberikan keterangan terkait pernyataannya itu.

Namun, TGB harus mendapat beragam komentar dan tanggapan hingga dalam bentuk hinaan dan cacian. Berbanding terbalik dengan persepsi awal publik yang menganggap dia adalah tokoh yang berpendidikan dan seorang ulama Hafidz Alquran, sehingga dia dikatakan sebagai figur yang sangat ideal untuk memimpin Indonesia.

Setelah itu, bagaiaman karir politik TGB ke depan? Panggung politik ditentukan dari selihai apa TGB bermain di kancah naisonal bersama rival-rival kuat bersama tokoh-tokoh muda lainnya. Haruskah TGB hijrah kembali dari partai beringin ke partai yang lain? Kalkulasi politik ke depan memang harus dipertimbangkan secara matang, terutama bagaimana peluangnya turut mengendalikan arah partai secara nasional.
Kalau tak demikian, TGB sebagai tokoh muda Islam akan hancur bersama gelombang modal yang memegang puncak kendali partai beringin tersebut. Namun kalau tak mampu membaca kontselasi politik kedepan, maka apa yang telah dibangun TGB semenjak lama hanya akan berakhir percuma.


Masa depan TGB akan benderang bergantung pada kendaraan yang ditumpanginya ke depan. Apa yang dihadapi saat ini sebagai tantangan ke depan tak sepenuhnya mampu moncer di kancah nasional tanpa ada kalkulasi politik yang tepat. Membaca gerak politik hari ini, tentu saja membutuhkan kalkulasi yang matang.

Sepertinya, setelah pilpres usai, TGB kehilangan panggung untuk promosi diri, walaupun dia intens promosi lewat media sosial. Rasanya belum sempurna jika Media Mainstream belakangan tak menyorotinya. Sebelumnya, dia pernah ditayang di media-media, karena prestasinya memimpin NTB.

Entah dia sengaja dibuat tenggelam oleh lawannya ataukah memang TGB sengaja menyepi dari kerumun media? Satu hal yang pasti, dia tengah menghadapi dilema dan tantangan besar dalam kancah politik nasional. Ruang politik yang terbuka saat ini bisa menjadi semacam peluang sekaligus tantangan dalam menghadapi dan arus politik saat ini.

Latar belakangnya sebagai ulama sebetulnya menjadi modal kuat untuk bergerak di tingkat akar rumput, masuk dari pesantren ke pesantren, masjid ke masjid seperti yang telah dilakukan TGB pada saat menjelang pilpres lalu.
Sebagai politisi sekaligus ulama yang berumur masih muda, tugas ke-ulama-an yang pastinya masih banyak rintangan yang akan ditemuinya, dan Islam yang diperlihatkan di bumi Indonesia sebagai Islam yang begitu ramah serta rasional, sehingga tidak terjebak dalam kontestasi politik kotor. Inilah mungkin yang wajib diperjuangkan.

Bukan sekadar menyiapkan dirinya dalam kancah politik praktis. Jika apa yang dilakukan TGB adalah upaya perbaikan mindset umat, atau usaha mengeluarkan umat dari kotornya cara-cara dari praktik politik yang terjadi selama ini, maka inilah jalan yang tepat.

TGB tetap TGB

Apa yang sudah dilakukan oleh TGB sebagai seorang ulama selama ini, tiada lain adalah meluruskan cara berfikir umat bukan untuk diarahkan pada kepentingan sesaat. Namun umat perlu diberdayakan agar kualitas berpikirnya serta pengaruh dalam kehidupan beragama memperlihatkan terapan Islam yang sesungguhnya yakni Islam yang rahmatan lil alamin dan washotiyah.

Sebagai ulama atau politisi dalam mencerdaskan umat, karena dunia ini hanya sementara, manusia disebut mulia jika bisa memberikan pemahaman kepada umat. Sehingga umat berlomba-lomba berbuat kebaikan saling bahu membahu, bukan untuk kepentingan segelintir orang atau partai ataupun yang ingin berkuasa.

Apa yang sudah dilakukan oleh TGB sebagai ulama dan menyebarkan pesan islam yang damai seantero nusantara, bahkan sampai keluar negeri. Tentu tidak banyak orang dan ulama bisa melakukan, begitu juga kesederhanaan yang selalu ditampilkan oleh TGB sebagai Ulama yang tidak menjaga jarak dengan umatnya. Semoga pengabdian terbaik yang dipersembahkan oleh TGB tetap tersirami bagi bangsa dan negara. Dan panggung yang sudah disiapkan oleh umat Islam buat TGB adalah kewajiban untuk tetap mengajarkan dan menyebarkan pesan-pesan agama yang washotiyah dan Rahmamatan lil alamin.

Penulis: : Suaeb Qury
Ketua LTN NU NTB

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article