Ayat Soal Angkat Senjata dari “Orang Gila”

Citra Dara Trisna
12 Min Read

jf.id – Mungkin karena melihat saya membaca buku sambil minum kopi di sebuah halte bis di Kebun Jeruk, seorang pria menyalami saya. Ia tanya apa pekerjaan saya, di mana saya tinggal dan banyak pertanyaan lainnya diberondongkan. Mungkin yang sedikit ajaib dari pria ini adalah kemampuannya mengorek banyak hal tentang saya tanpa saya bisa berkutik, mengelak dan bertanya balik. 

Pada awalnya saya jengah ditanya macam-macam seputar persoalan politik terkini. Dan saya pun jengah meladeni pertanyaannya hingga saya jawab sekenanya sambil menyeruput kopi dan sesekali mencoba membaca buku yang sedari tadi saya diamkan sejak kehadirannya. Keadaan jadi berbeda usai dia “melucu” dengan sangat cerdas tentang persoalan terkini, baru saya bisa sedikit merasa nyaman. 

Yang jelas saya tidak sesembrono itu untuk menganggapnya sebagai Nabi Khidir yang menyamar karena perangainya yang aneh. Meski, saya tak bisa bohong bila  terbersit anggapan bila pria di hadapan saya waktu itu bukan orang sembarangan. Mengapa demikian? Bila dilihat dari penampilannya, pria ini nampak yang sangat “rakyat”. Tak ada kode khusus di penampilannya agar ia dianggap sesuatu oleh lawan bicaranya. 

Pria ini mampu mengungkapkan banyak hal yang menurutnya “rahasia besar” mengenai beberapa politikus dan orang penting di negeri ini. Soal benar dan tidak rahasia yang ia sampaikan, saya sendiri kurang tahu. Hanya saja, apa yang dianggap “rahasia” itu nampak masuk akal, setidaknya bagi saya pribadi. Dan apa yang disampaiknnya adalah sesuatu yang cukup riskan. Terlebih yang juga cukup merisak adalah ketika tengah malam ia membicarakan konspirasi politik di sebuah halte yang mulai sepi. 

Mungkin karena ia mampu membaca tingkat stres di kepala saya, ia berhenti mencecar dengan pertanyaan. Ia jadi lebih senang bicara mengenai hal yang menyenangkan. Seperti soal kemungkinan Bu Megawati dan Pak Prabowo untuk jadi begawan yang menyepi di gunung lantaran tak kunjung menang di pilpres. Ia juga membicarakan sisi lain dari KPK, demo revisi UU dan perlunya organisasi anti korupsi ini dibubarkan. 

Dari semua hal yang ia kemukakan malam itu, yang paling mengganggu adalah ketika ia menyarankan saya melakukan sesuatu yang menurut saya “bodoh” di mana saya sendiri tidak sampai berpikir ke sana. Bayangkan, ia menyuruh saya untuk brewok (sebagaimana yang dilakukan Castro) lalu datang ke diskusi orang-orang (yang benar-benar) kiri. 

”Sesudah cambangmu lebat sebagaimana Castro dan Bakunin, datanglah ke diskusi mereka. Bisiki pimpinannya. Katakan kalau kamu punya banyak senjata dan ajak mereka angkat senjata bersama. Lihat saja respon mereka. Yang paling penting adalah, coba lihat apakah mereka berani angkat senjata,” katanya. Karena apa yang dia katakan cukup “menggelikan” di telinga, saya balik bertanya, ”kalau mereka berani dan mengiyakan, bagaimana?” 

Kini ia tertawa keras dan panjang. Tawa yang tidak sesuai dengan takaran atas apa yang ia sarankan. ”Bilang saja, maaf… Saya hanya becanda… Kalau kamu sungkan dan takut dianggap omong kosong lantas dibantai di forum itu, janjikan saja bertemu di lain hari, tapi jangan datang.” Jawabnya, polos dan ia kembali melanjutkan tawa panjangnya. ”Paling-paling kamu nanti disangka intel. Kalau mereka dengan bodohnya percaya kata-katamu, ya, seperti yang saya bilang tadi. Kabur saja…” Lanjutnya. 

Tidak lama setelah ia bicara ngalor-ngidul soal aksi kamisan dan diskusi aktivis kiri, beberapa orang datang. Dua orang perempuan masuk, satu mengenakan daster dan satu lagi mengenakan stelan kemeja yang agak rapih. Dua orang perempuan itu disusul oleh seorang pria yang kemudian merangkul pria itu dan mengajaknya pulang. 

Kejadian itu berlangsung cepat dan tiba-tiba yang sejak tadi bicara dengan saya sudah berada di atas motor ditemani salah seorang perempuan yang baru saja menjemputnya. Dan pria yang tadi merangkul dan mengajak pria itu pulang memberi isyarat pada saya. Ia gunakan jari telunjuknya dan digeserkan di kepalanya berulang-ulang. Isyarakat yang saya tangkap darinya adalah: pria ini gila, kalau tidak gila, ya, stres berat. 

Duh, Gusti, apakah sejak tadi saya bicara dengan orang kurang waras? Kalau dilihat dari cara pria ini tertawa usai bicara atau mengomentari sesuatu, masuk akal juga kalau pria ini benar-benar stres. Kalau pun benar yang saya ajak bicara adalah benar-benar orang stres, mengapa saya bisa tidak sadar? Apa karena saya sefrekwensi dengan pria ini atau bagaimana? Entahlah! 

Banyak juga pertanyaan lain, seperti: dari mana pria stres itu dan beberapa orang yang menjemputnya? Apakah mereka warga sekitar yang tahu di mana orang setres itu biasa main? Atau mungkin ada kemungkinan lain, pria yang memberi isyarat itu sedang bergurau. Saat itu kepala saya kosong, tak ada jawaban. 

Saran gila untuk mendatangi lingkar-lingkar aktivis kiri dari pria stres ini terus hidup di kepala saya sampai hari ini. Dari obrolan dengannya, hanya ide ini saya yang membekas lama. Sementara obrolan yang lain dengan pria stres ini seperti menguap begitu saja. Tapi, di sebalik hati saya yang lain, ada juga terbersit keyakinan yang mistik dan suwung: jangan-jangan apa yang disampaikan orang gila itu pesan dari Gusti Allah untuk menjadi bahan perenungan. Sekali lagi, saya benar-benar tidak tahu. 

***

Beberapa bulan usai kejadian itu, saya telah memutuskan untuk tidak melihat dari “siapa yang berkata”, tapi “apa yang dikatakan”. 

Saya tertarik membuat simulasi dan pengandaian dari hasil obrolan dengan pria gila itu. Anggaplah saya benar-benar punya senjata dan hendak mengajak aktivis kiri untuk “melawan” rezim. Maka secara politis, apa yang saya lakukan ini secara resmi dapat disebut “makar”: perlawanan bersenjata untuk menggulingkan pemerintahan yang sah dengan senjata. Bila ini benar-benar dilakukan, berarti ada pihak yang harus dilewati, yakni aparat keamanan. Ada dua gawang yang harus dijebol: gawang pertama dari aparat kepolisian yang saat ini sedang setengah mati menjaga wibawa pemerintah. Kemudian yang kedua adalah tentara. Dan tentu saja rezim tak akan tinggal diam. Karena hari ini “ujaran permusuhan” ke pemerintahan yang sah saja sudah dapat “dikarung” dibersihkan, dikriminalisasi, dibunuh karakternya lewat media, apalagi motif dan tindakan menggulingkan pemerintahan dengan senjata. 

Meski istilah “makar” dan “separatis” itu bisa sangat subjektif. Di mata pemerintah, perlawanan bersenjata untuk tujuan memisahkan diri, seperti halnya di Papua dan Aceh, akan dipandang sebagai separatis. Sebaliknya, pihak yang melakukannya akan menganggap tindakannya sebagai “perjuangan kemerdekaan”. Tapi, ini kan hanya simulasi, pengandaian atau omong kosong. Jadi, ya, jangan dianggap serius. 

 Apa yang disampaikan “orang gila” yang pernah saya temui ini boleh jadi semacam “ayat” yang salah sasaran. Mengapa harus datang pada saya, bukannya datang ke aktivis kiri yang sudah setengah mati jengah dan menghendaki merombak segala sistem yang ada? Hal ini juga belum terjawab di kepala saya. Mungkin karena itu, si orang gila ini menyarankan agar saya memberikan prank kepada para aktivis agar mereka mau berpikir lebih lanjut. Tentang apa dan bagaimana perjuangan mereka di masa depan. 

Meski begitu, “ayat” yang datang ke saya beberapa waktu silam tidak membuat saya jadi mbagusi. Karena saya yakin bila aktivis hari ini, sedikit banyak sudah berpikir hal serupa mengenai perlawanan bersenjata. Refrensi dari para aktivis hari ini mengenai apa itu perlawanan, sindikalisme, juga sangat mustahil bila tak menyebut senjata punya peran penting dalam mensukseskan niat mereka berjuang.

Bila selama ini banyak pihak yang mengatakan perlawanan bersenjata tidak lagi relevan, tapi tidak ada salahnya para aktivis hari ini menghitung ulang tentang apa makna perjuangan dan posisi senjata untuk tujuan mereka. Apakah senjata telah menjadi satu-satunya tools untuk memperlancar kanal kritik yang hari ini sedang buntu dengan sampah-sampah pembungkaman terstruktur? Apakah perlawanan bersenjata hari ini cukup ampuh mengambil simpati rakyat untuk ikut andil menggulingkan pemerintahan yang lima tahun lebih ini kita anggap zalim?

Tanpa dukungan rakyat, perjuangan mengangkat senjata tidak ada artinya. Di berbagai belahan dunia, perjuangan bersenjata lebih banyak berbuah manis ketika rakyat bersama mereka: seperti perjuangan Castro, misalnya. Tapi, sebelum menjawab pertanyaan yang nampak terlalu jauh ini, sebaiknya para aktivis kiri perlu bertanya: apakah hari ini, tanpa senjata, rakyat sudah berbaris mendukung perjuangan kalian? Apakah hari ini rakyat mengenali perjuangan yang telah kalian lakukan? Di level mana perjuangan kalian hari ini? Apakah masih dalam tahap kaderisasi, sosialisasi dan onani wacana yang tiada putusnya, atau ada sesuatu yang bisa para tuan aktivis kiri ceritakan?

Perjuangan apapun, saya kira harus mempunyai alternatif dan sadar akan kemungkinan dan gejala-gejala. Bila ada kebuntuan di satu jalan, perlu dipersiapkan strategi untuk peralihan beralih menempuh jalan baru. Tentu saja harus dipikirkan peralihannya agar nampak elegan, minim mudharat, dan tetap mempunyai tujuan yang sama jelasnya dengan tujuan sebelumnya. Dan yang paling penting: bermanfaat 

Tapi, para pembaca sekalian, sekaligus aktivis kiri di Indonesia hari ini perlu menggaris bawahi. Segala yang saya kemukakan anggap saja berasal dari orang gila dan yang menuliskan nampaknya punya sakit jiwa nomor 238: menganggap segala hal datang di depan mata sebagai “ayat”. Kalau anda merasa tulisan yang terlanjur anda baca sampai akhir ini bukan sebagai ayat untuk merenung dan menakar kembali perjuangan yang telah ada, sebaiknya acuhkan saja. Karena ada yang bilang: orang gila tak akan jadi lebih waras dengan omong sesuatu, tapi yang percaya pada omongan orang gila itu (bisa dipastikan) jauh lebih gila. 

Citra D. Vresti Trisna

Jakarta, 28 Januari 2019

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

TAGGED:
Share This Article