jfid – Warga Gaza yang tinggal di bagian utara jalur sempit itu tidak menggubris ultimatum Israel untuk mengosongkan wilayah mereka. Ultimatum itu dikeluarkan pada Jumat lalu, sebelum Israel melancarkan serangan darat yang ditakuti akan menimbulkan korban jiwa lebih banyak lagi.
Israel mengklaim ultimatum itu bertujuan untuk melindungi warga sipil dari bahaya serangan balasan Hamas, kelompok perlawanan Palestina yang menguasai Gaza. Namun, banyak warga Gaza yang meragukan niat Israel dan memilih untuk tetap tinggal di rumah mereka.
Peristiwa ini sangat mirip dengan peristiwa 10 November 1945 di Surabaya, Indonesia. Pada saat itu, rakyat Surabaya menolak untuk menyerah kepada pasukan Sekutu dan memilih untuk berjuang demi kemerdekaan mereka. Meski menghadapi ancaman militer yang besar, rakyat Surabaya tetap bertahan dan berjuang hingga akhir.
Ahmad, seorang petani yang tinggal di Beit Hanoun, salah satu kota di utara Gaza, mengatakan bahwa dia dan keluarganya tidak memiliki tempat lain untuk pergi. Dia juga khawatir bahwa jika dia pergi, rumah dan ladangnya akan dirusak atau direbut oleh Israel.
“Kami tidak percaya dengan janji Israel bahwa mereka akan mengizinkan kami kembali. Mereka selalu berbohong dan menipu kami. Mereka ingin mengusir kami dari tanah kami,” ujar Ahmad.
Menurut PBB, lebih dari setengah dari dua juta penduduk Gaza tinggal di bagian utara yang diminta Israel untuk dikosongkan. Jika semua warga Gaza mematuhi ultimatum itu, maka mereka harus berdesakan di bagian selatan yang sudah padat dan miskin.
Namun, kenyataannya, hanya sedikit warga Gaza yang memilih untuk mengungsi ke selatan. Sebagian besar dari mereka tetap berada di utara, meski harus menghadapi risiko serangan udara dan artileri Israel yang semakin intens.
“Kami tidak punya pilihan lain selain bertahan. Kami tidak punya tempat berlindung yang aman. Sekolah-sekolah dan masjid-masjid sudah penuh dengan pengungsi. Kami tidak mau menambah beban mereka,” kata Fatima, seorang ibu rumah tangga yang tinggal di Gaza City.
Fatima mengatakan bahwa dia dan keluarganya sudah terbiasa dengan suara ledakan dan sirine. Dia juga mengatakan bahwa dia tidak mau meninggalkan rumahnya yang berisi kenangan dan barang-barang berharga.
“Rumah ini adalah warisan dari orang tua saya. Saya lahir dan besar di sini. Saya tidak mau kehilangan rumah saya. Saya lebih baik mati di sini daripada hidup sebagai pengungsi,” kata Fatima.
Ultimatum Israel menuai kecaman
Ultimatum Israel untuk warga Gaza menuai kecaman dari berbagai pihak, termasuk PBB, negara-negara Arab, dan kelompok-kelompok hak asasi manusia. Mereka menilai bahwa ultimatum itu melanggar hukum humaniter internasional dan merupakan bentuk kejahatan perang.
“Ultimatum ini tidak dapat diterima dan tidak dapat dipatuhi. Ini adalah tindakan sewenang-wenang yang bertujuan untuk memaksa warga sipil untuk meninggalkan rumah mereka tanpa jaminan perlindungan atau bantuan,” kata Pierre Krahenbuhl, komisaris jenderal Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA).
Krahenbuhl juga mengatakan bahwa ultimatum ini menunjukkan bahwa Israel belum pulih dari serangan Hamas pada 7 Oktober lalu, yang menewaskan lebih dari 1.300 orang di Israel. Serangan itu merupakan serangan terbesar yang pernah dilakukan oleh Hamas dalam sejarah konflik Israel-Palestina.
“Serangan Hamas telah mengguncang Israel secara strategis dan psikologis. Mereka belum mampu merespon secara efektif dan proporsional. Mereka hanya berusaha untuk menunjukkan kekuatan mereka dengan cara-cara brutal dan sembarangan,” kata Krahenbuhl.
Serangan Hamas pada 7 Oktober lalu dilakukan dengan menggunakan roket-roket jarak jauh dan drone-dron bersenjata yang berhasil menembus pertahanan udara Israel. Serangan itu menargetkan kota-kota besar di Israel, termasuk Tel Aviv, Haifa, dan Yerusalem.
Serangan itu juga menimbulkan kerusakan besar di fasilitas-fasilitas vital Israel, seperti bandara, pelabuhan, pembangkit listrik, dan pangkalan militer. Serangan itu juga menghambat pasokan bahan bakar, air, dan makanan ke Israel.
Serangan itu dipicu oleh peningkatan ketegangan di Yerusalem Timur, yang merupakan wilayah yang diduduki Israel sejak 1967 dan diklaim oleh Palestina sebagai ibu kota negara mereka. Ketegangan meningkat setelah Israel menyerang Masjid Al-Aqsa, tempat suci umat Islam, pada 28 September lalu.
Serangan itu menewaskan puluhan orang Palestina dan melukai ratusan lainnya. Serangan itu juga merusak sebagian besar bangunan masjid yang bersejarah. Serangan itu dianggap sebagai penghinaan dan provokasi oleh Hamas dan kelompok-kelompok perlawanan Palestina lainnya.
Hamas bersumpah untuk membalas serangan Israel dan melindungi Masjid Al-Aqsa. Hamas juga mengatakan bahwa serangan mereka adalah bagian dari perjuangan mereka untuk membebaskan Palestina dari penjajahan Israel.
“Kami tidak akan berhenti sampai kami membebaskan tanah kami dan rakyat kami dari cengkeraman Israel. Kami tidak akan menyerah atau menyerahkan hak kami. Kami akan terus berjuang sampai kemenangan atau syahid,” kata Ismail Haniyeh, pemimpin politik Hamas.