jfid – Taiwan, sebuah pulau yang terletak di sebelah tenggara China, telah menjadi sumber ketegangan antara Beijing dan Taipei sejak tahun 1949, ketika pemerintah nasionalis China melarikan diri ke sana setelah kalah dalam perang saudara melawan komunis.
Sejak itu, China mengklaim Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya dan tidak mengakui kedaulatan Taiwan sebagai negara merdeka.
Meskipun Taiwan memiliki pemerintahan, militer, dan ekonomi sendiri, China terus berupaya untuk mengisolasi Taiwan dari dunia internasional dan menekan negara-negara lain untuk tidak menjalin hubungan diplomatik dengan Taiwan.
China juga sering menunjukkan kekuatan militernya di sekitar Taiwan, dengan mengirimkan pesawat-pesawat tempur, kapal-kapal perang, dan rudal-rudal balistik untuk mengintimidasi dan mengancam Taiwan.
Pada bulan September 2023, ketegangan antara China dan Taiwan mencapai titik kritis, ketika China mengerahkan lebih dari 100 jet tempur dan sembilan kapal perang angkatan laut di sekitar Taiwan.
Ini merupakan jumlah tertinggi dan terbaru dari aktivitas agresif China di Taiwan. Pemerintah Taipe mengumumkannya pada Senin (18/9/2023) sebagaimana dilaporkan AFP.
Pengepungan Udara dan Laut
Dari jumlah total pesawat tempur yang terdeteksi, 40 melintasi garis median Selat Taiwan yang memisahkan pulau itu dari China. Beberapa memasuki zona identifikasi pertahanan udara (ADIZ) barat daya dan tenggara Taiwan.
ADIZ adalah wilayah udara yang dideklarasikan oleh suatu negara untuk memantau aktivitas udara yang masuk ke wilayahnya. Meskipun bukan merupakan wilayah kedaulatan, ADIZ sering menjadi sasaran pelanggaran oleh negara-negara yang bersengketa.
Taiwan sendiri menyebut aksi China itu pelecehan militer. Pulau itu meminta China menghentikan tindakan sepihak yang disebutnya “merusak” itu.
“Antara pagi hari tanggal 17 hingga 18 September, Kementerian Pertahanan Nasional (Taiwan) telah mendeteksi total 103 pesawat China,” ujar kementerian. “Ini merupakan angka tertinggi baru-baru ini dan menimbulkan tantangan berat terhadap keamanan di Selat Taiwan dan di kawasan,” tegasnya¹.
Sementara itu, Jepang juga mendeteksi aktivitas kapal perang China. Setidaknya ada enam kapal, termasuk fregat, kapal perusak, satu kapal pendukung tempur cepat dan kapal induk Shandong, berlayar melalui perairan sekitar 650 kilometer (400 mil) selatan pulau Miyakojima, sebelah timur Taiwan. Jepang juga mengonfirmasi bahwa jet dan helikopter terdeteksi lepas landas dan mendarat dari Shandong.
Shandong adalah kapal induk kedua China yang dibuat secara domestik. Kapal ini memiliki panjang 315 meter (1.033 kaki) dan lebar 75 meter (246 kaki). Kapal ini dapat membawa sekitar 40 pesawat tempur jenis J-15, serta helikopter anti-kapal selam dan helikopter pengintai. Shandong juga dilengkapi dengan sistem pertahanan udara jarak pendek dan sistem rudal permukaan-ke-udara.
Motif dan Dampak
Lalu apa motif di balik pengerahan militer China di sekitar Taiwan? Menurut beberapa analis, ada beberapa faktor yang mendorong China untuk meningkatkan tekanan terhadap Taiwan.
Pertama, China ingin menunjukkan ketidakpuasan terhadap hubungan antara Taiwan dan Amerika Serikat (AS), yang merupakan sekutu utama Taiwan. AS telah memberikan dukungan politik, ekonomi, dan militer kepada Taiwan, termasuk menjual senjata dan mengadakan latihan bersama.
Kedua, China ingin menguji kemampuan pertahanan Taiwan dan kesiapan AS untuk membantu Taiwan jika terjadi konflik. China ingin mengetahui seberapa jauh Taiwan dapat bertahan dari serangan udara dan laut, serta seberapa cepat AS dapat merespons dan mengirim bantuan.
China juga ingin mengukur reaksi dari negara-negara tetangga Taiwan, seperti Jepang, Filipina, dan Indonesia, yang juga memiliki kepentingan di kawasan tersebut.
Ketiga, China ingin mempengaruhi opini publik di Taiwan menjelang pemilihan presiden yang dijadwalkan pada Januari 2024. China berharap bahwa dengan menunjukkan kekuatan militernya, China dapat menakut-nakuti rakyat Taiwan untuk tidak memilih kandidat yang pro-kemerdekaan atau pro-AS.
China juga ingin menggoyahkan kepercayaan rakyat Taiwan terhadap pemerintahannya sendiri, yang dipimpin oleh Presiden Tsai Ing-wen dari Partai Progresif Demokratik (DPP).
Namun, aksi-aksi China itu juga memiliki dampak negatif bagi China sendiri. Pertama, China menimbulkan kemarahan dan kebencian dari rakyat Taiwan, yang merasa terancam dan terganggu oleh China.
Rakyat Taiwan semakin bersatu untuk melawan China dan mendukung pemerintahannya. Rakyat Taiwan juga semakin mendesak pemerintahnya untuk meningkatkan anggaran pertahanan dan memperkuat hubungan dengan AS dan negara-negara lain.
Kedua, China menimbulkan kekhawatiran dan kritik dari komunitas internasional, terutama dari AS dan sekutu-sekutunya. AS telah menyatakan bahwa China melanggar norma-norma internasional dan mengancam stabilitas regional dengan melakukan tindakan agresif terhadap Taiwan.
AS juga telah menegaskan komitmennya untuk membantu Taiwan jika terjadi serangan dari China. AS dan sekutu-sekutunya juga telah meningkatkan kehadiran militer mereka di kawasan tersebut untuk menyeimbangkan kekuatan China.
Ketiga, China menimbulkan risiko eskalasi konflik yang tidak terkendali dengan Taiwan dan negara-negara lain. Jika salah satu pihak melakukan kesalahan perhitungan atau provokasi, maka bisa terjadi bentrokan militer yang berpotensi memicu perang regional atau bahkan global.
Perang antara China dan Taiwan akan melibatkan AS dan sekutu-sekutunya, serta negara-negara lain yang memiliki kepentingan di kawasan tersebut. Perang tersebut akan berdampak buruk bagi perdamaian, keamanan, dan kesejahteraan dunia.
Kesimpulan
Taiwan adalah sebuah pulau yang menjadi sasaran ambisi China untuk menyatukan kembali wilayahnya. China telah melakukan berbagai upaya untuk mengisolasi, menekan, dan mengintimidasi Taiwan agar tunduk kepada Beijing.
Pada bulan September 2023, China mengerahkan lebih dari 100 jet tempur dan sembilan kapal perang angkatan laut di sekitar Taiwan, sebagai bentuk ancaman militer yang tak kunjung reda.
Aksi-aksi China itu dimotivasi oleh beberapa faktor, seperti ketidakpuasan terhadap hubungan antara Taiwan dan AS, pengujian kemampuan pertahanan Taiwan dan kesiapan AS, serta pengaruh terhadap opini publik di Taiwan menjelang pemilihan presiden.
Namun, aksi-aksi China itu juga memiliki dampak negatif bagi China sendiri, seperti menimbulkan kemarahan dan kebencian dari rakyat Taiwan, kekhawatiran dan kritik dari komunitas internasional, serta risiko eskalasi konflik yang tidak terkendali dengan Taiwan dan negara-negara lain.
Taiwan di bawah bayang-bayang China adalah sebuah realitas yang sulit dihindari. Namun, bukan berarti tidak ada harapan untuk mencari solusi damai bagi kedua belah pihak.