jfid – Jakarta – Hakim konstitusi Suhartoyo terpilih secara aklamasi menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) menggantikan Anwar Usman, yang diberhentikan karena terbukti melakukan pelanggaran etik berat. Suhartoyo merupakan hakim yang tak pernah bercita-cita menjadi hakim, apalagi ketua MK.
Suhartoyo lahir di Klaten, Jawa Tengah, pada 14 Februari 1968. Ia menempuh pendidikan hukum di Universitas Gadjah Mada (UGM) dan lulus pada tahun 1992. Ia kemudian melanjutkan studi magister hukum di Universitas Indonesia (UI) dan meraih gelar pada tahun 2000.
Sebelum menjadi hakim konstitusi, Suhartoyo berkarier sebagai dosen di Fakultas Hukum UGM. Ia juga aktif sebagai pengajar di berbagai lembaga pendidikan hukum, seperti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), dan Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO).
Suhartoyo juga pernah menjadi anggota tim ahli dalam beberapa kasus penting, seperti kasus Bank Century, kasus korupsi e-KTP, dan kasus dugaan makar terhadap mantan gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Suhartoyo diangkat menjadi hakim konstitusi pada 13 April 2017, atas usulan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ia menggantikan Patrialis Akbar, yang juga diberhentikan karena terlibat kasus suap.
Dalam wawancara dengan Kompas TV pada 2018, Suhartoyo mengaku tak pernah bermimpi menjadi hakim, apalagi ketua MK. Ia mengatakan, ia lebih senang menjadi akademisi dan peneliti hukum.
“Saya tidak pernah bermimpi menjadi hakim, apalagi ketua MK. Saya lebih senang menjadi akademisi, peneliti, dan pengajar. Tapi, saya menerima tawaran menjadi hakim konstitusi sebagai amanah dan tantangan,” ujar Suhartoyo.
Suhartoyo mengatakan, ia ingin memberikan kontribusi bagi pengembangan hukum konstitusi di Indonesia. Ia juga ingin menjaga integritas dan kredibilitas MK sebagai lembaga penjaga konstitusi.
“Saya ingin MK menjadi lembaga yang independen, profesional, dan akuntabel. Saya ingin MK menjadi lembaga yang dipercaya oleh rakyat dan dihormati oleh pemerintah dan lembaga negara lainnya,” kata Suhartoyo.
Suhartoyo dikenal sebagai hakim yang kritis, tegas, dan berani. Ia sering memberikan pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam beberapa putusan MK, seperti putusan tentang syarat usia minimal capres-cawapres, putusan tentang larangan mantan narapidana mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, dan putusan tentang status hukum Partai Demokrat.
Suhartoyo juga pernah menolak permohonan keringanan hukuman dari Anwar Usman, yang mengajukan banding ke MKMK atas putusan pemberhentian dari ketua MK. Suhartoyo menilai, Anwar Usman telah melanggar kode etik dan merusak citra MK.
“Menurut saya, putusan MKMK sudah tepat dan proporsional. Tidak ada alasan untuk memberikan keringanan hukuman kepada Anwar Usman, yang telah membuka ruang bagi pihak luar untuk mengintervensi putusan MK,” ujar Suhartoyo.
Suhartoyo akan memimpin MK hingga 13 April 2023, bersama dengan Saldi Isra yang tetap menjabat sebagai wakil ketua MK. Suhartoyo berharap, ia dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan menjaga kehormatan MK.
“Saya berterima kasih kepada rekan-rekan hakim yang telah memberikan kepercayaan kepada saya. Saya akan berusaha sebaik mungkin untuk memenuhi harapan mereka. Saya juga mohon doa dan dukungan dari seluruh rakyat Indonesia, agar saya dapat menjalankan tugas ini dengan amanah dan tanggung jawab,” tutur Suhartoyo.