Catatan : Herry Santoso
jfID – RAWON BLONCENG. Begitu orang-orang menyebutnya, karena memang rawon daging sapi itu dicampur buah blonceng, yakni semacam buah labu bentuknya memanjang, kulitnya hijau muda, disebut juga labu cina.
“Di sini namanya blonceng, entahlah di daerah lain, ” ujar Tutut (31), perempuan manis, pada penulis, yang sengaja bertandang ke stand angkringannya di Jln. Sultan Agung Kota Blitar.
Tutut sendiri sudah generasi ketiga mewarisi profesi itu. Dulu, Mbah Ti, nenek buyutnya, yang menggelar dagangan itu, dan kondang. Saking kondangnya, sampai Bung Karno setiap kali pulkam ke Blitar selalu memanggilnya untuk memasak menu rawon blonceng yang unik itu.
Rawon Biasa Dicampur Blonceng
Menunya sendiri sebenarnya tidak lebih sebagaimana rawon daging sapi, cuma ditambahkan irisan blonceng yang direbus bersama daging tersebut.
“Perpaduan kaldu daging sapi dengan kekhasan sayur blonceng itulah yang melahirkan citarasa sendiri.
“Rasanya segar banget, manis, dan waow…! ” imbuh Tutut dramatis sembari mengerlingkan matanya, kocak.
“Jangan-jangan yang istimewa kamu, bukan rawonnya, Tut !” sergah penulis.
“Bukan, memang rawon ini istimewa serta berkhasiat. Bloceng, tanaman khas dengan seribu khasiat. Kaya vitamin C dan E hingga baik untuk penderita hipertensi dan kemululsan kulit, bersifat deuritik, peluruh kencing sehingga baik buat penderita ginjal dan jantung !” ucapnya promosi. Ia terkekeh ketika penulis bertanya, mau jual makanan atau bakul jamu !
Tidak Minim Daging
Daya tarik lain dari menu itu mungkin memang tidak minim daging. Selain daging yang ada di kuah dengan jumlah proporsional (bukan sekadar ada) sekaligus masih ditambah empal dan tempe goreng. Cara sajinya pun memuaskan karena rawonnya di wadah tersendiri bukan dicampur nasi.
“Satu porsi cuma Rp 15.000,- saja, ditanggung puas, kalau nggak puas, tambah senyum bakule, ” pungkas Tutut mengakhiri pecakapan dengan penulis. Bahkan selama covid 19 pun warung itu tetap rame, dan tentunya menerapkan protokol kesehatan pada pengunjung. ***