Rafah Crossing Point, Satu-Satunya Pintu Keluar Gaza yang Dikontrol Israel

Rasyiqi
By Rasyiqi
6 Min Read
Kerumunan besar orang dari segala usia berkumpul di belakang gerbang penyeberangan perbatasan Rafah, membawa tas dan koper saat mereka menunggu pembukaan potensial. Namun, penyeberangan tetap ditutup sampai sekarang. Aljazeera

jfid – Rafah adalah kota Palestina di ujung selatan Jalur Gaza, yang berbatasan dengan Mesir. Kota ini memiliki sejarah panjang dan rumit, yang terkait erat dengan konflik Israel-Palestina. Rafah juga menjadi lokasi satu-satunya pintu perbatasan antara Mesir dan Gaza, yang disebut Rafah Border Crossing atau Rafah Crossing Point.

Pintu perbatasan ini memiliki peran penting bagi warga Gaza, yang hidup di bawah blokade Israel sejak 2007. Melalui pintu ini, mereka bisa bepergian ke luar negeri, mendapatkan bantuan kemanusiaan, dan berdagang dengan Mesir. Namun, pintu ini juga sering ditutup oleh pihak Mesir atau Israel, karena alasan keamanan atau politik.

Sejarah pintu perbatasan Rafah dimulai sejak tahun 1906, ketika Kesultanan Utsmaniyah dan Inggris menetapkan batas antara Palestina dan Mesir, dari Taba hingga Rafah. Setelah Perang Dunia I, Palestina juga berada di bawah kendali Inggris, tetapi batas ini tetap dipertahankan untuk mengawasi pergerakan suku Bedouin.

Selama Perang Dunia II, Rafah menjadi pangkalan penting bagi Inggris. Setelah perang, Palestina menjadi mandat PBB, yang kemudian membaginya menjadi dua negara: Israel dan Palestina. Namun, rencana ini ditolak oleh negara-negara Arab, yang memicu Perang Arab-Israel 1948.

Dalam perang ini, Gaza dikuasai oleh Mesir. Akibatnya, batas antara Gaza dan Mesir tidak ada lagi. Rafah pun berkembang tanpa memperhatikan batas lama tahun 1906. Pada tahun 1967, Israel merebut Sinai dan Gaza dari Mesir dalam Perang Enam Hari. Dalam perjanjian damai tahun 1979, Israel mengembalikan Sinai ke Mesir, tetapi tetap menguasai Gaza.

Perjanjian damai itu juga menciptakan kembali batas antara Gaza dan Mesir, yang ditarik melintasi kota Rafah. Rafah pun terbagi menjadi dua bagian: Mesir dan Palestina, yang dipisahkan oleh pagar berduri. Banyak keluarga yang terpisah akibat pembagian ini.

Pada tahun 2005, Israel menarik diri dari Gaza sebagai bagian dari rencana pemisahan diri. Kontrol atas batas Gaza-Mesir diserahkan kepada Mesir di sisi Mesir dan Otoritas Nasional Palestina di sisi Gaza. Pintu perbatasan Rafah pun dibuka untuk pertama kalinya sejak 1967.

Namun, pintu ini tidak beroperasi secara normal. Israel masih memiliki hak untuk menutupnya sewaktu-waktu. Uni Eropa juga mengirim misi bantuan perbatasan (EUBAM) untuk memantau pintu ini. Selain itu, banyak terowongan bawah tanah yang dibuat oleh warga Gaza untuk menyelundupkan barang-barang dari Mesir.

Pada tahun 2007, Hamas mengambil alih kontrol Gaza dari Fatah dalam pertempuran sengit. Hal ini membuat Israel dan Mesir menutup pintu perbatasan Rafah secara permanen, kecuali untuk kasus-kasus khusus. Warga Gaza pun terisolasi dari dunia luar.

Pintu perbatasan Rafah hanya dibuka sesekali untuk waktu yang singkat, biasanya untuk mengizinkan warga Gaza yang sakit atau terluka untuk mendapatkan pengobatan di Mesir atau negara lain. Juga untuk membiarkan warga asing atau pekerja bantuan masuk atau keluar dari Gaza.

Pada tahun 2011, setelah revolusi Mesir yang menggulingkan Presiden Hosni Mubarak, pemerintah baru Mesir mengumumkan akan membuka pintu perbatasan Rafah secara permanen. Namun, hal ini tidak berlangsung lama. Pemerintah Mesir yang dipimpin oleh Mohamed Morsi dari Ikhwanul Muslimin ditumbangkan oleh militer pada tahun 2013.

Sejak itu, pintu perbatasan Rafah ditutup lagi oleh Mesir, yang menganggap Hamas sebagai kelompok teroris. Pintu ini hanya dibuka sesekali untuk alasan kemanusiaan atau politik. Misalnya, pada tahun 2014, ketika Israel melancarkan serangan besar-besaran ke Gaza, yang menewaskan lebih dari 2.000 orang.

Pada tahun 2017, Hamas dan Fatah mencapai kesepakatan rekonsiliasi, yang salah satu syaratnya adalah penyerahan kontrol pintu perbatasan Rafah kepada Otoritas Palestina. Namun, kesepakatan ini tidak berjalan mulus. Israel dan Mesir masih menentukan siapa yang boleh masuk atau keluar dari Gaza.

Pada tahun 2018, Mesir membuka pintu perbatasan Rafah selama bulan Ramadan, sebagai gestur baik kepada warga Gaza. Namun, pintu ini ditutup lagi setelah itu. Pada tahun 2019, Mesir membuka pintu perbatasan Rafah secara terbatas untuk beberapa hari dalam sebulan.

Pada tahun 2020, pintu perbatasan Rafah ditutup total oleh Mesir karena pandemi COVID-19. Hanya beberapa kasus khusus yang diizinkan untuk melintasi pintu ini. Pada tahun 2021, pintu perbatasan Rafah dibuka lagi oleh Mesir untuk waktu yang tidak ditentukan, sebagai bagian dari upaya mediasi antara Israel dan Hamas.

Pada hari Senin, 16 Oktober 2023, pintu perbatasan Rafah dibuka sementara mulai pukul 9 pagi (06:00 GMT) untuk mengizinkan warga asing, termasuk sekitar 600 warga Amerika Serikat, untuk menyeberang ke Mesir, di tengah kemungkinan invasi Israel ke Gaza. Ini adalah kesempatan langka bagi mereka yang ingin meninggalkan Gaza.

Namun, bagi warga Gaza sendiri, pintu perbatasan Rafah masih menjadi mimpi yang sulit terwujud. Mereka harus menghadapi berbagai hambatan dan risiko untuk bisa melintasi pintu ini. Mereka juga tidak tahu kapan pintu ini akan ditutup lagi oleh pihak Mesir atau Israel.

Rafah adalah simbol harapan dan keputusasaan bagi warga Gaza. Pintu perbatasan ini adalah jalan keluar mereka dari penjara terbesar di dunia. Tetapi juga adalah pengingat akan ketidakadilan dan ketidakpastian yang mereka alami setiap hari.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email faktual2015@gmail.com

Share This Article