jfid – Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Gerindra dan Menteri Pertahanan, telah mengalami tiga kali kekalahan dalam pemilihan presiden (Pilpres) secara berturut-turut. Pada dua kesempatan terakhir, yaitu Pilpres 2014 dan 2019, ia berkoalisi dengan Partai Amanat Nasional (PAN) yang dipimpin oleh Zulkifli Hasan. Namun, koalisi ini tidak mampu mengalahkan pasangan Joko Widodo (Jokowi) yang didukung oleh PDIP dan partai-partai lainnya. Apa yang menjadi faktor penyebab kegagalan Prabowo dan PAN dalam Pilpres? Bagaimana dampaknya bagi hubungan kedua partai tersebut? Dan apa peluang mereka untuk maju kembali di Pilpres 2024?
Faktor-faktor Kegagalan
Menurut Cecep Hidayat, salah satu faktor utama yang menyebabkan kekalahan Prabowo dan PAN adalah kurangnya kemampuan mereka untuk merangkul generasi muda, pemilih mula, dan awak media. Ia mengatakan bahwa kelompok-kelompok ini memiliki pengaruh besar dalam membentuk opini dan persepsi publik terhadap kandidat-kandidat Pilpres.
“Kita harus mengubah perilaku pemilih menjadi rasional, sehingga mereka memilih berdasarkan apa misi kandidat ke depan, apa prestasi kandidat, dan apa dilakukan kandidat sebelumnya,” kata Cecep kepada kami.
Ia menambahkan bahwa Prabowo juga tidak berhasil menawarkan visi dan program yang jelas dan konkret kepada masyarakat. Sebaliknya, ia lebih banyak mengandalkan retorika dan sentimen nasionalis yang tidak cukup meyakinkan.
“Prabowo tidak punya gagasan yang inovatif dan kreatif untuk menyelesaikan masalah-masalah bangsa. Ia hanya mengulang-ulang slogan-slogan seperti ‘Indonesia bangkit’, ‘Indonesia hebat’, ‘Indonesia menang’, tanpa menjelaskan bagaimana caranya mencapai itu,” ujar Cecep.
Sementara itu, Agung Baskoro berpendapat bahwa faktor lain yang mempengaruhi kekalahan Prabowo dan PAN adalah adanya perpecahan di dalam koalisi mereka sendiri. Ia mencontohkan bahwa pada Pilpres 2019, ada beberapa partai pendukung Prabowo yang tidak sepenuhnya loyal dan melakukan permainan ganda dengan Jokowi.
“Ada indikasi bahwa beberapa partai seperti Golkar, Demokrat, dan Berkarya tidak all out mendukung Prabowo. Mereka juga menjalin komunikasi dengan Jokowi dan menawarkan dukungan jika ia menang. Ini tentu saja melemahkan posisi Prabowo di mata publik,” tutur Agung.
Agung juga mengkritik strategi komunikasi politik Prabowo yang dinilainya kurang efektif dan profesional. Ia menilai bahwa tim sukses Prabowo tidak mampu mengelola isu-isu strategis yang bisa meningkatkan elektabilitasnya. Sebaliknya, mereka malah terjebak dalam polemik-polemik yang tidak penting dan kontraproduktif.
“Tim sukses Prabowo seringkali membuat blunder dan kesalahan dalam menyampaikan pesan-pesan politiknya. Misalnya, ketika mereka menuduh ada kecurangan pemilu tanpa bukti yang kuat, atau ketika mereka menolak hasil penghitungan suara KPU dan mengklaim kemenangan sendiri. Ini membuat citra Prabowo semakin buruk di mata masyarakat,” papar Agung.
Dampak bagi Hubungan Prabowo dan PAN
Dua kali berkoalisi dan dua kali kalah, tentu saja membawa dampak bagi hubungan antara Prabowo dan PAN. Menurut Sigit Budiyanto, dampak tersebut bisa dilihat dari dua sisi, yaitu positif dan negatif.
“Secara positif, hubungan Prabowo dan PAN bisa menjadi lebih erat dan solid, karena mereka sudah memiliki pengalaman bersama dalam menghadapi Pilpres. Mereka juga bisa saling belajar dari kesalahan-kesalahan yang mereka buat dan memperbaiki strategi mereka untuk Pilpres berikutnya,” kata Sigit.
“Secara negatif, hubungan Prabowo dan PAN bisa menjadi renggang dan retak, karena mereka merasa tidak puas dengan hasil yang mereka dapatkan. Mereka bisa saling menyalahkan atau mencari kambing hitam atas kegagalan mereka. Mereka juga bisa mencari opsi lain untuk berkoalisi dengan partai-partai yang lebih besar atau lebih kecil,” lanjut Sigit.
Maju Kembali di Pilpres 2024
Meskipun sudah tiga kali kalah, Prabowo masih memiliki ambisi untuk maju kembali di Pilpres 2024. Ia telah resmi mendeklarasikan diri sebagai calon presiden pada Juni 2023, dengan alasan adanya desakan dari para pengurus partainya. Namun, apakah ia masih memiliki peluang untuk menang?
Menurut Cecep Hidayat, peluang Prabowo untuk menang di Pilpres 2024 sangat tipis. Ia mengatakan bahwa Prabowo sudah kehilangan momentum dan popularitasnya di mata publik. Ia juga menghadapi persaingan yang semakin ketat dari kandidat-kandidat lain yang lebih muda dan segar.
“Prabowo sudah terlalu lama berada di panggung politik. Ia sudah tidak menarik lagi bagi pemilih, terutama generasi muda. Ia juga sudah tidak punya kejutan atau keunggulan apa-apa lagi. Ia hanya mengandalkan nama besarnya dan basis pendukungnya yang loyal, tapi itu tidak cukup,” ujar Cecep.
Cecep menyarankan agar Prabowo lebih realistis dan legowo dalam menghadapi Pilpres 2024. Ia mengatakan bahwa Prabowo sebaiknya tidak lagi maju sebagai calon presiden, melainkan sebagai calon wakil presiden atau king maker bagi kandidat lain yang lebih potensial.
“Prabowo harus sadar bahwa ia sudah tidak punya peluang lagi untuk menjadi presiden. Ia harus mau mundur dari panggung utama dan memberi kesempatan kepada kader-kader muda yang lebih berbakat dan berkualitas. Ia bisa menjadi cawapres atau pendukung bagi kandidat seperti Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil, Anies Baswedan, atau Sandiaga Uno,” tutur Cecep.
Sementara itu, Agung Baskoro berpendapat bahwa peluang Prabowo untuk menang di Pilpres 2024 masih ada, asalkan ia mau melakukan perubahan sikap dan strategi. Ia mengatakan bahwa Prabowo harus lebih terbuka, sabar, dan bijaksana dalam berkomunikasi dengan publik. Ia juga harus menawarkan visi dan program yang lebih jelas dan konkret kepada masyarakat.
Prabowo harus belajar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya.