Pertalite Aman, Meski Harga Minyak Dunia Tembus US$ 88 per Barel

ZAJ
By ZAJ
3 Min Read

jfid – Harga minyak dunia terus meroket seiring dengan ekspektasi bahwa pemangkasan produksi oleh kelompok negara-negara penghasil minyak OPEC+ akan berlanjut hingga akhir tahun 2023.

Harga minyak mentah Brent dan West Texas Intermediate (WTI) mencapai level tertinggi sepanjang 2023, yaitu US$ 88,55 per barel dan US$ 85,55 per barel. Dalam sepekan, harga keduanya naik 4,82% dan 7,17%.

Kenaikan harga minyak dunia ini tentu berdampak pada biaya impor bahan bakar minyak (BBM) Indonesia, yang sebagian besar masih bergantung pada pasokan dari luar negeri.

Namun, pemerintah dan PT Pertamina (Persero) memastikan bahwa harga BBM jenis Pertalite tidak akan mengalami kenaikan. Pertalite adalah BBM dengan oktan 90 yang merupakan produk andalan Pertamina.

Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, harga Pertalite masih bisa bertahan di level Rp 8.500 per liter meski harga minyak dunia naik.

Hal ini karena pemerintah telah memberikan kompensasi kepada Pertamina sebesar Rp 2.000 per liter untuk menutupi selisih harga jual dan biaya pokok produksi (BPP) Pertalite.

“Kita sudah hitung, kalau harga minyak dunia sampai US$ 90 per barel, kita masih bisa bertahan dengan kompensasi Rp 2.000 per liter. Jadi tidak ada kenaikan harga Pertalite,” kata Arifin dalam konferensi pers virtual, Kamis (9/3/2023).

Arifin menambahkan, pemerintah juga telah mengalokasikan anggaran subsidi BBM sebesar Rp 97 triliun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2023.

Anggaran ini akan digunakan untuk menstabilkan harga BBM jenis Premium, Solar, dan Minyak Tanah.

Sementara itu, Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan, perseroan terus berupaya untuk meningkatkan efisiensi operasional dan produksi dalam negeri agar tidak terlalu tergantung pada impor BBM.

Salah satu langkah yang dilakukan adalah dengan mengembangkan BBM ramah lingkungan yang dicampur dengan etanol.

“Kami sedang mengembangkan Pertamax Green 92 yang dicampur dengan etanol 10%. Ini bisa mengurangi impor BBM sekitar 1 juta kiloliter per tahun,” ujar Nicke dalam kesempatan yang sama.

Nicke menjelaskan, etanol yang digunakan sebagai campuran BBM berasal dari hasil pengolahan singkong dan tebu oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) lainnya, seperti PT Perkebunan Nusantara (PTPN) dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI).

Selain itu, etanol juga memiliki nilai oktan yang lebih tinggi dari bensin sehingga dapat meningkatkan performa mesin kendaraan.

“Kami berharap Pertamax Green 92 bisa menjadi solusi untuk mengurangi ketergantungan pada impor BBM dan juga mendukung program pemerintah dalam pengembangan energi baru terbarukan,” tutur Nicke.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article