jfid – Dalam dunia yang semakin global, hubungan antara negara-negara Arab dan Israel telah menjadi topik hangat. Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, telah mengumumkan bahwa perdamaian dengan Arab Saudi semakin dekat. Putra Mahkota Saudi, Mohammed bin Salman (MbS), juga menegaskan hal yang sama.
Namun, di tengah-tengah upaya normalisasi ini, ada satu pertanyaan penting yang muncul: Bagaimana nasib Palestina setelah kesepakatan ini ditandatangani?
Netanyahu merujuk pada Perjanjian Abraham, perjanjian normalisasi tahun 2020 antara Israel dan Uni Emirat Arab serta Bahrain, sebagai awal era baru perdamaian.
Perjanjian ini membangun hubungan diplomatik dan ekonomi untuk meningkatkan kerja sama di bidang pariwisata, perdagangan, teknologi, keamanan, dan energi.
Namun, salah satu dampak penting dari upaya normalisasi ini adalah marginalisasi ekstrem terhadap Palestina. Hal ini akan memperburuk keseimbangan kekuatan yang asimetris dalam konfliknya dengan Israel dan melemahkan klaim negara tersebut atas wilayah tersebut.
Reaksi Palestina terhadap kebijakan yang memfasilitasi normalisasi Arab-Israel sangat negatif. Salah satu juru bicara Otoritas Palestina menggambarkan kesepakatan itu sebagai “pengkhianatan terhadap Yerusalem”.
Sementara itu, pemerintah Indonesia melalui jubir Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah menegaskan normalisasi hubungan Israel dengan Bahrain dan Uni Emirat Arab tidak akan mengubah posisi Indonesia tentang Palestina.
Di sisi lain, Presiden Amerika Serikat Joe Biden berjanji untuk melanjutkan upaya mengakhiri konflik puluhan tahun antara Israel dan Palestina. Namun, dia tidak menawarkan proposal baru guna memulai kembali dialog politik yang mandek antara kedua pihak.
Dengan demikian, meskipun upaya normalisasi hubungan Arab-Israel sedang berlangsung, nasib Palestina masih belum jelas. Harus ada solusi yang adil dan berkelanjutan untuk konflik ini agar perdamaian sejati dapat dicapai di Timur Tengah.