jfid – Di tengah situasi ekonomi yang sulit akibat pandemi Covid-19, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan calon presiden Anies Baswedan memiliki pandangan yang berbeda tentang kebijakan pajak penghasilan (PPh) untuk masyarakat Indonesia.
Jokowi baru saja meneken Peraturan Pemerintah (PP) No. 58/2023 tentang Tarif Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Wajib Pajak Orang Pribadi.
Tarif efektif ini berkisar dari 0% untuk penghasilan bulanan sampai dengan Rp5,4 juta hingga 34% untuk penghasilan di atas Rp1,4 miliar untuk kategori A; dari 0% untuk penghasilan bulanan sampai dengan Rp6,2 juta hingga 34% untuk penghasilan di atas Rp1,405 miliar untuk kategori B; dan dari 0% untuk penghasilan bulanan sampai dengan Rp6,6 juta hingga 34% untuk penghasilan di atas Rp1,419 miliar untuk kategori C. Selain itu, ada juga tarif efektif harian yang dibebankan tarif 0% hingga 0,5%.
Sementara itu, Anies Baswedan, yang berpasangan dengan Muhaimin Iskandar (Cak Imin) sebagai calon presiden dan wakil presiden nomor urut 1, berencana menghapus Pajak Penghasilan (PPh) jika mereka terpilih kelak. Hal ini disampaikan oleh Co-Captain Tim Nasional Pemenangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Timnas AMIN) Thomas Lembong.
Anies sendiri dengan tegas mengatakan bahwa dirinya tidak ada niat menaikkan pajak untuk masyarakat secara umum. Fokus Anies Baswedan nantinya adalah menagih pajak kepada 100 orang terkaya di RI.
Dua visi berbeda ini menunjukkan adanya perbedaan pendekatan dan prioritas antara Jokowi dan Anies dalam menghadapi tantangan ekonomi di masa depan.
Jokowi lebih mengedepankan aspek efisiensi dan kemudahan dalam perpajakan, sementara Anies lebih menekankan aspek keadilan dan pemerataan dalam perpajakan.
Kedua visi ini juga mencerminkan perbedaan pandangan tentang peran negara dan masyarakat dalam pembangunan. Jokowi lebih mengandalkan negara sebagai penggerak utama pembangunan, sementara Anies lebih mengutamakan masyarakat sebagai subjek utama pembangunan.
Perbedaan visi ini juga terlihat dalam isu lain, seperti pembangunan ibu kota negara (IKN). Jokowi beberapa kali mengatakan bahwa pembangunan IKN harus berlanjut apapun yang terjadi. Orang nomor 1 RI tersebut bahkan mewanti-wanti hal ini kepada presiden yang memimpin kelak.
Akan tetapi, Anies Baswedan punya rencananya sendiri. Alih-alih sepakat pada IKN, Anies memiliki programnya sendiri yakni pengembangan desa dan membuat kota kecil menjadi menengah dan kota menengah menjadi kota besar di Indonesia agar tidak terlalu ada kesenjangan.
“Yang dibutuhkan Indonesia saat ini adalah pemerataan pertumbuhan, di mana pembangunan dilakukan tidak hanya di satu lokasi, tapi di banyak lokasi. Jangan sampai kita membangun hanya di satu lokasi, malah menimbulkan ketimpangan baru,” ujarnya.
Dengan demikian, Jokowi dan Anies menawarkan dua pilihan yang berbeda kepada rakyat Indonesia dalam pemilihan presiden 2024.
Siapa yang akan dipilih oleh rakyat Indonesia? Apakah Jokowi dengan visi pembangunan yang efisien dan mudah, atau Anies dengan visi pembangunan yang adil dan merata? Jawabannya akan terlihat dalam waktu dekat.