jfid – Revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara menjadi PP Nomor 25 Tahun 2024 membuka peluang bagi organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan untuk mengelola tambang.
Namun, kebijakan ini menuai kritik karena berpotensi menjadi langkah transaksional politik dan bertentangan dengan Undang-Undang Mineral dan Batu Bara.
Kebijakan tersebut menimbulkan perdebatan terkait implikasi politik dan legalnya, dengan berbagai pihak mengkritiknya sebagai potensi transaksi politik.
Revisi ini juga menandai pergeseran dalam penanganan sumber daya alam negara
Dalam konteks politik, kebijakan ini dituduh sebagai upaya Presiden Jokowi untuk membalas dukungan politik dari ormas tertentu, termasuk Nahdlatul Ulama (NU).
Pemberian izin usaha pertambangan (IUP) tanpa lelang juga dikhawatirkan memicu korupsi dan kolusi.
Selain itu, ormas keagamaan bisa saja dimanfaatkan sebagai alat politik dalam perebutan suara dalam pemilu mendatang.
Secara hukum, revisi ini dianggap melanggar UU Mineral dan Batu Bara yang menetapkan proses lelang terbuka dan transparan dalam pemberian IUP.
Kekhawatiran Transaksional Politik
Menurut Aktivis HMI, kebijakan ini bisa dipandang sebagai upaya politik yang berdampak negatif.
Mereka memandangnya sebagai pembayaran hutang politik kepada ormas yang mendukung pemerintah, khususnya NU.
Pemberian IUP tanpa lelang juga dipandang sebagai potensi korupsi dan kolusi yang merugikan kepentingan negara.
Pemberian IUP kepada ormas tertentu bisa memicu konflik antar ormas. Hal ini berpotensi mengganggu stabilitas politik dan keamanan nasional.
Ormas yang tidak mendapatkan IUP juga berpotensi melakukan aksi protes, menambah ketegangan sosial
Revisi PP ini dinilai melanggar UU Mineral dan Batu Bara karena tidak mengikuti proses lelang terbuka yang diamanatkan oleh undang-undang tersebut.
Aktivis HMI menilai bahwa pemberian IUP kepada ormas keagamaan tanpa lelang bertentangan dengan prinsip transparansi dan fair play.
Ormas keagamaan dianggap tidak memiliki kemampuan teknis dan pengalaman dalam mengelola tambang, yang berpotensi menyebabkan kerusakan lingkungan dan pelanggaran hukum lainnya.
Diperlukan regulasi yang ketat untuk mengawasi kegiatan ormas dalam mengelola tambang agar tidak merugikan kepentingan masyarakat dan alam.
Kebijakan pemberian IUP kepada ormas keagamaan perlu dievaluasi ulang dengan mempertimbangkan berbagai aspek, baik politik maupun hukum.
Potensi dampak negatif seperti transaksional politik, konflik antar ormas, dan pelanggaran hukum harus dipertimbangkan secara serius.
Pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan ini tidak hanya menguntungkan pihak tertentu, tetapi juga bermanfaat bagi masyarakat luas dan menjaga kelestarian lingkungan.