jfid – Mobil listrik dianggap sebagai salah satu solusi untuk mengurangi polusi udara dan emisi gas rumah kaca yang menyebabkan perubahan iklim.
Namun, apakah mobil listrik benar-benar ramah lingkungan? Greenpeace Indonesia menilai bahwa mobil listrik hanya memindahkan polusi dari knalpot ke cerobong pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.
Menurut Juru Kampanye dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu, penggunaan mobil listrik tidak akan efektif jika sumber energi listriknya masih berasal dari PLTU batu bara, yang merupakan pembangkit terbesar di Indonesia.
“Jadi, kalau kita hanya meng-highlight mengganti mobil listrik tanpa mengganti energi di ujungnya, kita hanya memindahkan polusi dari knalpot ke cerobong PLTU batu bara,” kata Bondan.
PLTU batu bara merupakan salah satu kontributor utama emisi gas rumah kaca yang menyebabkan perubahan iklim. Greenpeace menyebut, PLTU sebagai kontributor terburuk tunggal yang bertanggungjawab atas hampir setengah (46%) dari emisi karbon dioksida dunia.
Endcoal.org mencatat sejak 2006-2020 setidaknya ada 171 PLTU batu bara yang beroperasi di Indonesia dengan total kapasitas 32.373 megawatt. Pembangkit-pembangkit ini ikut menyumbang CO2 yang dihasilkan oleh seluruh PLTU di dunia yang mencapai 258.394 juta ton dengan rata-rata emisi tahunan sekitar 6.463 juta ton.
Emisi gas rumah kaca dari PLTU batu bara tidak hanya berdampak pada perubahan iklim, tetapi juga pada kesehatan masyarakat. Polusi udara yang dihasilkan oleh PLTU batu bara dapat menyebabkan penyakit pernapasan, jantung, stroke, kanker, dan kematian dini.
World Health Organization (WHO) mencatat, polusi udara menyebabkan 7 juta kematian dini terutama negara ekonomi lemah atau dua pertiga dari negara Asia Pasifik. Sekitar 600.000 adalah anak-anak. Polusi udara juga menyebabkan kerugian ekonomi hingga US$5.11 triliun.
Budi Haryanto, peneliti Research Center for Climate Change (RCCC) Universitas Indonesia, mengatakan, di Indonesia, lima penyakit infeksi paling rentan muncul karena perubahan iklim, adalah malaria, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), diare, demam berdarah dan leptospirosis. Selain itu, polusi udara juga dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan hasil panen petani.
Untuk mengatasi masalah ini, Greenpeace Indonesia menyarankan agar pemerintah mengutamakan penggunaan bus listrik dan membangun infrastrukturnya.
Selain itu, pemerintah juga harus mengganti sumber energi listrik dari PLTU batu bara ke energi terbarukan, seperti matahari, angin, air, dan biomassa. “Saat ini secara ekonomi, pembangkit energi terbarukan jauh lebih murah dibandingkan PLTU batu bara,” kata Bondan.