“Pemerintah meratifikasi ILO 188 untuk melindungi dan menjaga hak-hak dasar nelayan dan para pekerja industri perikanan. Isu ini muncul karena banyaknya nelayan hilang disaat lakukan penangkapan ikan, pekerja nelayan Industri, pekerja industri pengolah dan ABK – ABK yang sengaja dibuang ke laut.”
Penulis: Rusdianto Samawa, Ketua Umum Front Nelayan Indonesia (FNI)
jf.id – Kasus Muhammad Alfatah membuat kita sangat sedih. Tak ada respon pemerintah untuk menyelidiki kasus alfatah yang merupakan seorang pelaut asal Enrekang, Sulawesi Selatan, dikabarkan meninggal dunia saat berada di sebuah kapal asal China Long Xing 902 karena sakit saat berlayar melintasi Samudara Pasifik, pada 27 Desember 2019. Jenazahnya disebut dibuang ke laut oleh kapten kapal. Alasannya, karena daratan masih jauh dan ketakutan penyakitnya menular ke kru kapal lainnya.
Laki-laki yang akrab dipanggil Alfatah tersebut adalah anak ketujuh dari sembilan bersaudara pasangan Hardin dan Rali. Alfatah lulus dari SMK Pelayaran Lintas Nusantara di Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Ia kemudian ikut berlayar sejak tahun 2017 lalu.
Surat dari Direktorat Jenderal Protokol dan Konsuler Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia yang diterima oleh keluarga menjelaskan bahwa Alfatah sakit pada 18 Desember 2019 lalu saat melaut. Kaki dan wajah Alfatah disebut membengkak dengan nyeri dada dan nafas pendek.
Alfatah sempat mendapatkan pengobatan dan mengkonsumsi obat. Namun penyakitnya tak kunjung membaik. Pada 27 Desember 2019 sekitar pukul 13.30 waktu setempat, Alfatah dipindahkan ke Kapal Long Xing 802. Rencananya kapal tersebut akan berlabuh di Samoa, sebuah negara kepulauan di Samudra Pasifik dan Alfatah segera di bawa ke rumah sakit setelah mendarat. Namun, keburu dibuang atas perintah sang kapten.
Kasus diatas, betapa miris. Indonesia sebuah negara berdaulat tanpa ada pandangan dan upaya untuk membela hak warga negaranya yang sudah bekerja sebagai ABK dikapal asing. Tentu, ini pelajaran berharga bagi pemerintah, bahwa tak ada upaya apapun untuk membela, berarti mengabaikan hak-hak dasar asasi nelayan: ABK, pekerja dan pelaut.
Realitas demikian, pemerintah harus memahami bahwa: pekerja industri perikanan menghadapi situasi lebih berbahaya dibanding sektor lain karena jam kerja panjang, kondisi cuaca ekstrem, dan lingkungan laut yang berisiko tinggi. Meski belum ada angka yang pasti, sebagian besar pekerja di kapal-kapal ikan dan cargo logistik merupakan kategori: ABK dan pekerja industri perikanan yang sangat dominan tenaga kerja lokal (domestik). Tetapi sering mengalami tekanan, sakit, meninggal dan PHK. Bahkan, dibuang ke laut. Miris sekali.
Pada tahun 2018 – 2019 terdapat sekitar 960.000 buruh migran Indonesia yang bekerja di pelayaran, baik sebagai pelaut maupun anak buah kapal. Separuh diantaranya di industri perikanan. Kenaikan satu persen jumlah berdasarkan data tersebut. Asumsi gaji Rp.10 juta per bulan, tiap bulan mereka menghasilkan sekitar Rp4,5 triliun devisa kepada negara.
Lalu dimana negara yang tidak hadir dalam contoh kasus seperti alfatah yang di duga dibuang kelaut. Mengapa pemerintah tidak protes keras kepada China. Ini masalah marwah warga negara Indonesia yang telah menghasilkan devisa. Dimana peran dan fungsi negara. Jalankah penegakan hak berdaulat warga negaranya?.
Semua mengetahui betapa beratnya tantangan pekerja industri perikanan yang menghadapi dua tantangan utama: ketidakjelasan rekrutmen dan penempatan serta eksploitasi tenaga kerja saat bekerja di kapal. Rentannya: nelayan, ABK dan pekerja industri perikanan menjadi korban perdagangan manusia dan kejahatan internasional. Banyak perusahaan di industri perikanan, belum tahu standar layak untuk pekerjanya. Parahnya lagi, belum ada satu pun mekanisme untuk melindungi: nelayan, ABK dan pekerja industri perikanan di tingkat nasional, regional dan internasional.
Kasus dibuangnya Muhammad Alfatah kelaut oleh Kapten kapal asal China Long Xing 902 itu. Maka, pemerintah harus menyatakan semangat anti penjajahan, perbudakan, penindasan dan menegakan Hak Asasi Manusia Nelayan (HAMNEL). Pemerintah juga perlu pertegas perlindungan HAM bagi pekerja industri perikanan, terutama buruh kapal (ABK). Selain harus mengembalikan para buruh kapal ke negara asal, pemerintah Indonesia juga harus meratifikasi hukum internasional untuk melindungi buruh migran sektor perikanan.
Penting agar negara-negara kawasan Asia untuk melindungi pekerja industri perikanan. Sebab, jika hanya satu negara yang melindungi, akan susah karena kapal bergerak dari satu negara ke negara lain.
Di beberapa industri perikanan Asia dan Indonesia sendiri, buruh laki-laki dan perempuan, banyak menderita akibat absennya penegakan hak-hak dan pelanggaran hukum dan Hak Asasi Manusia. Isu upah rendah, diskriminasi gender, pelanggaran di tempat kerja, pemotongan upah, serta keterlibatan buruh anak dan kerja paksa merupakan permasalahan yang belum terungkap.
Sebuah studi berjudul Precarious Work in the Asian Seafood Global Value Chain yang dirilis dalam Konvensi ILO di Jenewa untuk organisasi penegakkan HAM dan hak-hak buruh perikanan, bahwa penyiksaan pekerja dalam rantai suplai industri perikanan global harus dihentikan dan dapat melindungi pekerja. Kasus perbudakan di kapal-kapal di Indonesia, memperpanjang rentetan sejarah pelanggaran terhadap buruh.
Maka, harus ada penjaminan ketersediaan akuntabilitas ke seluruh nilai rantai, serta perhatian khusus terhadap: nelayan, ABK, dan pekerja industri perikanan. Selain itu, harus menetapkan batas penggunaan buruh kontrak, outsourching, dan pekerja mandiri demi perlindungan kerja.
Maka, Indonesia sudah saatnya, gagas dan berlakukan Undang-Undang Perbudakan Modern, sebuah undang-undang yang dirancang untuk memperbaiki upaya memerangi perbudakan. Undang-Undang itu mengharuskan perusahaan untuk menerbitkan laporan tahunan di situs induatri perilusahaan sebagai langkah-langkah pengawasan untuk memastikan perbudakan tidak ada terjadi.
Pengawasan tenaga kerja di sektor perikanan masih belum maksimal. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya praktik perdagangan manusia (human traficking), terutama yang menimpa anak buah kapal (ABK). Kondisi itu terjadi karena ABK kapal saat ini masih belum memenuhi standar kelayakan kesejahteraan. Seperti dilihat dari segi upah dan jam kerja.
Oleh karena itu, salah satu solusinya selain terus perbaiki regulasi-regulasi yang ada, harmonisasi antara pemerintah sebagai produk regulasi dengan para pekerja industri maupun bersama perusahaan. Selama ini perbudakan regulasi disektor perikanan dan kemaritiman di Indonesia masih marak dan sangat tumpang tindih regulasi yang dikeluarkan.
Ketika proses meratifikasi Konvensi ILO 188 dan Permen No.35/2015 tentang Sistem HAM dan Sertifikasi untuk Usaha Perikanan serta Permen No.2/2017 tentang Persyaratan dan Mekanisme Sertifikasi HAM bagi Usaha Perikanan serta Peraturan Menteri (Permen) No.42/Permen-KP/2016 tentang Perjanjian Kerja Laut bagi Awak Kapal Perikanan. Menurut Permen ini, pelaku industri harus memastikan jam kerja maksimal kerja di laut adalah delapan jam, memastikan usia pekerja minimal 18 tahun, dan menjamin asuransi untuk semua pekerja.
Perlunya membuktikan komitmen pemerintah dalam melindungi HAM nelayan: ABK dan pekerja industri perikanan yang rentan menjadi korban perdagangan manusia dan eksploitasi tenaga kerja. Indonesia diharapkan menjadi negara pertama yang memiliki sertifikasi HAM untuk produk perikanan laut. Kebijakan perlindungan HAM di kalangan nelayan ini juga akan diintegrasikan dengan amandemen Undang-Undang Perikanan untuk memastikan agar industri perikanan sesuai dengan prinsip bisnis dan HAM.
Apabila upaya pemerintah, dilakukan dalam melindungi dan menghormati HAM pekerja dalam industri perikanan, tentu akan ada manfaatnya terhadap seluruh sektor Kelautan dan Perikanan sehingga dapat dikeloka secara bertanggung jawab, tanpa adanya perdagangan manusia, perbudakan, dan pelanggaran HAM Nelayan. Kita harus selalu mengingat keringat, air mata, dan kerja keras para nelayan untuk memberi asupan pangan kepada kita.[]