Oleh : Herry Santoso
Jurnalfaktual.id, – OPINI PUBLIK (public opinion) ternyata alat ampuh untuk memengaruhi massa. Sehingga konten-konten opini yang dibangun tersebut diharapkan bisa menggiring sudut pandang dan minsed masyarakat : mencitraburukkan, ataukah mencitrabaikan obyek yang disasar opini publik negatif tersebut.
Sebagaimana belakangan ini jagad politik di tanah air dipenuhi oleh opini publik berkonten negatif berkenaan dengan KPK.
KPK seolah akan “dikerdilkan” oleh rezim penguasa (Jokowi) dengan perubahan peraturan perundang-undangan yang melingkupinya. Lebih heboh lagi, KPK ramai-ramai ingin “mengembalikan mandat” kepada presiden.
Dari sini penggiringan opini negatif untuk memengaruhi pola pikir masyarakat agar “tidak percaya” lagi terhadap pemerintah, DPR, dan institusi pemerintahan lainnya. Masyarakat tidak pernah berpikir bahwa KPK itu bukan komite “malaikat” yang kebal kontaminasi unsur politik.
Setahu mereka, barang siapa yang berusaha “ngotak-atik” KPK maka dianggap pro-korupsi. Akibatnya KPK bisa berbuat sesuka hati lantaran merasa diproteksi oleh masyarakat.
Padahal pada periode Presiden Susilo Bambang Yudoyono rangking Indonesia masih betengger di rangking 117 negara terkorup di dunia dari 177 negara. Sedangkan di masa Jokowi naik menjadi nomor 89. RRT (China) saja yang menerapkan hukuman mati bagi pelaku korupsi rangking 90 berarti di bawah Indonesia. Ini sebagai bukti prestasi bahwa Jokowi sukses memberantas korupsi.
Akan tetapi kenyataannya jauh panggang daripada api. Ada sekitar 7.000 lebih perkara yang masuk KPK per tahun, namun yang mau ditangani hanya sekitar 500 – 700 perkara pertahun. Akibatnya KPK benar-benar kedodoran.
Selebihnya KPK seolah “dewa” yang berkuasa penuh untuk merekomendasikan rekrutmen pejabat publik. Ingat kasus sekitar pengangkatan menteri-menteri Jokowi tahun 2014. Dari berapa puluh calon yang diajukan ke KPK untuk direkomendasi hanya satu orang yang lolos. Itupun tidak sesuai harapan presiden terpilih. Ada semacam warning dari KPK kalau dipaksakan nantinya pasti akan dilibas oleh KPK.
Nah, pratik-praktik seperti itu jelas ada “pengultusan” terhadap KPK. Sebab kenyataannya beberapa orang yang diblacklist oleh KPK tidak tertangani secara tuntas. Misalnya, blacklist terhadap Budi Gunawan, hingga ia tidak bisa jadi Kapolri, ternyata kasusnya nihil.
Penggiringan opini publik negatif seperti itu sejatinya merupakan bagian dari “jihad konstitusi” kelompok “kanan” yang ditengarai pro-khilafah yang pada gilirannya acap disebut sebagai “kaum taliban”.
Dari situlah keluar rencana revisi undang-undang KPK yang salah satu point dalam drafnya ada “dewan pengawas” KPK. Jika tidak, KPK akan semakin “adikuasa” bahkan semua harus sesuai yang dikehendaki KPK.
KPK, belakangan memang kian menjadi alat politik. Sehingga KPK tidak mampu independen. KPK yang seharusnya menjadi partner pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi, ironisnya justru terjebak pada misi politik meski berjalan secara diam dan tak nampak (invisible action) untuk menggerogoti pemerintahan.
Akibatnya KPK selalu tidak paralel dengan presiden, DPR, BPK, Polisi, Kejaksaan, dan lembaga-lembaga lain. Kalau misalnya, Jokowi mau menerima pengembalian mandat KPK, jelas presiden akan tamat riwayatnya karena hal tersebut inkonstitusional.
Opini publik negatif memang terus bergulir untuk menggagalkan berdirinya pemerintahan yang sah pasca pemilu.
Sebut saja mulai isu PKI, tenaga kerja asing, atau isu-isu kampungan laiknya kawin sejenis, penghilangan adzan, penghilangan pembelajaran agama di sekolah, terus bergulir hingga soal pemindahan ibu kota, masalah rasialis Papua, yang terbaru masalah lembaga rasuwah antikorupsi KPK. Semua merupakan “jihad konstitusi” melalui penggiringan opini publik negatif untuk meruntuhkan kekuatan dan wibawa pemerintah yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Di dunia internasional gerakan politik kanan (agama) memang sangat berkait erat. Tujuannya untuk membendung kaum sekuler berkuasa. Untuk itu wajar kalau etnik minoritas Arab dijadikan mentor ikonis guna menggalang massa fanatik di berbagai lini. Untuk kasus Indonesia misalnya, munculnya Habib Rhisiq Shihab (HRS) figur etnik Arabian yang dikultuskan sebagai top figur untuk mendobrak pemerintah sekuler (baca : nasionalis) yang selalu dianalogikan kaum dholim.
Padahal ujung-ujungnya pasti gerakan politik khilafah yang sangat anti-Pancasila, dan ingin menegakkan pemerintahan berdasarkan syariah islam. Bukti konkret mereka sudah nendengungkan NKRI Syariah, Otonomi Daerah Syariah, dan sebagainya. Nah…
Tentang Penulis: Hery Santoso adalah pemerhati sosial, politik, dan budaya, jurnalis Jurnalfaktual.id tinggal di Blitar Jawa Timur.