jfid – Mendengar atau melihat cara sejumlah bakal calon presiden (bacapres) menjawab pertanyaan dengan bertanya balik, ketika menghadapi topik yang sulit, sensitif dan berpotensi merendahkan kredibilitas mereka. Apakah ini merupakan sebuah strategi untuk mengelak atau menghindari topik yang berisiko merusak citra mereka? Ataukah ini merupakan sebuah strategi untuk berdialog atau berinteraksi dengan pemilih, dengan mengajak mereka untuk berpikir, berpendapat, atau berpartisipasi?
Sebuah strategi untuk menghindari topik yang berisiko merusak citra
Pada Senin (18/9/2023), Ganjar Pranowo, bakal calon presiden dari PDIP, menghadiri acara Kuliah Kebangsaan di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Indonesia. Di sana, ia mendapat pertanyaan kritis dari seorang mahasiswa bernama Naufal, yang menanyakan apakah Ganjar akan tetap menjadi petugas rakyat atau petugas partai jika terpilih sebagai presiden, dan apakah ia tidak akan menjadi boneka Megawati Soekarnoputri, ketua umum PDIP.
Ganjar tidak langsung menjawab pertanyaan tersebut, melainkan membalikkan pertanyaan kepada Naufal. “Naufal, kamu mengikuti saya selama 10 tahun jadi gubernur?” tanya Ganjar. Naufal terdiam, tidak bisa menjawab. “Oke, saya petugas siapa?” tanya Ganjar lagi, lalu menyimpulkan bahwa ia adalah petugas rakyat, bukan partai.
Ganjar bukan satu-satunya bakal capres yang menggunakan strategi bertanya balik ketika ditanya isu sensitif. Anies Baswedan, bakal capres dari Koalisi Persatuan untuk Perubahan, juga pernah melakukan hal serupa ketika ditanya apakah ia akan melanjutkan proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) atau tidak. Ia menjawab dengan bertanya, “Menurut Anda, apa yang harus dilakukan?”
Begitu pula dengan Prabowo Subianto, bakal capres dari Koalisi Indonesia Maju, yang bertanya balik ketika ditanya wartawan mengenai responsnya soal manuver Muhaimin Iskandar yang menjadi bakal cawapres Anies Baswedan, awal September 2023. “Menurut Anda, bagaimana?” jawab Prabowo.
Mengapa bakal capres sering bertanya balik ketika ditanya isu sensitif? Apakah ini merupakan strategi untuk mengelak atau menghindari topik yang berisiko merusak citra mereka? Bagaimana dampaknya bagi pemilih?
Cara untuk mengelak atau mengalihkan perhatian
Menurut Lely Arrianie, pakar komunikasi politik dari Universitas Indonesia, cara sejumlah bakal capres menjawab pertanyaan dengan bertanya balik, dinilai sebagai “cara untuk mengelak” ketika menghadapi topik yang sulit, sensitif dan berpotensi merendahkan kredibilitas mereka.
“Kalau kita lihat dari konteks pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada mereka, itu adalah pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut isu-isu yang sensitif, yang mungkin bisa menimbulkan kontroversi, atau bisa menurunkan elektabilitas mereka, atau bisa menimbulkan kritik dari pihak-pihak lain,” kata Lely kepada BBC Indonesia.
Lely mencontohkan, pertanyaan tentang IKN kepada Anies Baswedan adalah pertanyaan yang sensitif, karena proyek tersebut merupakan salah satu janji kampanye Presiden Joko Widodo, yang kemudian dibatalkan karena pandemi Covid-19 dan kritik dari berbagai pihak. Jika Anies menjawab bahwa ia akan melanjutkan proyek tersebut, ia bisa dianggap sebagai lawan politik Jokowi, atau tidak peduli dengan masalah lingkungan dan sosial. Jika ia menjawab bahwa ia tidak akan melanjutkan proyek tersebut, ia bisa dianggap sebagai pengkhianat cita-cita nasional, atau tidak berani mengambil keputusan.
“Jadi, dengan bertanya balik, sebenarnya dia menghindari untuk memberikan jawaban yang pasti, yang bisa menimbulkan dampak negatif bagi dirinya. Dia juga sekaligus mengalihkan perhatian dari dirinya ke penanya, atau ke publik, dengan mengajak mereka untuk berpikir atau berdiskusi,” ujar Lely.
Hal yang sama juga berlaku untuk pertanyaan tentang boneka Megawati kepada Ganjar Pranowo, atau tentang manuver Muhaimin Iskandar kepada Prabowo Subianto. Kedua pertanyaan tersebut menyangkut isu-isu internal partai atau koalisi, yang bisa menimbulkan konflik atau gesekan jika dijawab secara terbuka.
“Kalau Ganjar menjawab bahwa ia adalah petugas partai, ia bisa dianggap sebagai boneka Megawati, atau tidak independen, atau tidak punya visi sendiri. Kalau ia menjawab bahwa ia adalah petugas rakyat, ia bisa dianggap sebagai pengkhianat partai, atau tidak loyal, atau tidak bersyukur. Jadi, dengan bertanya balik, ia sebenarnya mencoba untuk mengukur seberapa besar pengetahuan atau persepsi penanya tentang dirinya, sekaligus menunjukkan bahwa ia tidak mudah terprovokasi,” kata Lely.
“Kalau Prabowo menjawab bahwa ia senang atau tidak senang dengan manuver Muhaimin Iskandar, ia bisa dianggap sebagai tidak profesional, atau tidak konsisten, atau tidak beretika. Jadi, dengan bertanya balik, ia sebenarnya mencoba untuk menghindari konfrontasi dengan pihak-pihak yang terlibat, sekaligus menunjukkan bahwa ia tidak terpengaruh oleh isu-isu sepele,” tambah Lely.
Dampak bagi pemilih: bingung atau kritis?
Lantas, bagaimana dampak dari strategi bertanya balik yang dilakukan oleh bakal capres terhadap pemilih? Apakah ini akan membuat pemilih bingung, atau justru membuat mereka lebih kritis?
Menurut Lely, dampaknya tergantung pada jenis dan kualitas pertanyaan yang diajukan, serta tingkat kesadaran dan keterlibatan politik dari pemilih.
“Kalau pertanyaannya adalah pertanyaan yang informatif, yang bertujuan untuk mengetahui sikap, pandangan, atau program dari bakal capres, maka strategi bertanya balik bisa membuat pemilih bingung, karena mereka tidak mendapatkan jawaban yang jelas dan memuaskan. Ini bisa berdampak negatif bagi bakal capres, karena mereka bisa dianggap sebagai tidak kompeten, tidak transparan, atau tidak jujur,” kata Lely.
“Namun, kalau pertanyaannya adalah pertanyaan yang provokatif, yang bertujuan untuk menjebak, menyerang, atau mengejek bakal capres, maka strategi bertanya balik bisa membuat pemilih kritis, karena mereka bisa melihat bahwa bakal capres tidak mudah terpancing, tidak emosional, atau tidak defensif. Ini bisa berdampak positif bagi bakal capres, karena mereka bisa dianggap sebagai cerdas, tenang, atau bijaksana,” lanjut Lely.
Lely menambahkan, tingkat kesadaran dan keterlibatan politik dari pemilih juga berpengaruh terhadap dampak dari strategi bertanya balik. Pemilih yang memiliki kesadaran dan keterlibatan politik yang tinggi, biasanya akan lebih kritis dan selektif dalam menilai jawaban-jawaban dari bakal capres. Mereka tidak akan mudah puas dengan jawaban yang mengelak atau mengalihkan perhatian, melainkan akan mencari informasi lebih lanjut dari sumber-sumber yang kredibel.
“Namun, pemilih yang memiliki kesadaran dan keterlibatan politik yang rendah, biasanya akan lebih pasif dan apatis dalam menilai jawaban-jawaban dari bakal capres. Mereka tidak akan terlalu peduli dengan jawaban yang mengelak atau mengalihkan perhatian, melainkan akan lebih terpengaruh oleh faktor-faktor lain, seperti popularitas, karisma, atau afiliasi,” kata Lely.
Lely menyarankan agar pemilih lebih aktif dan kritis dalam mengikuti perkembangan politik, terutama menjelang pemilihan presiden tahun depan.
Baik, saya akan melanjutkan artikel berita panjang yang saya tulis sebelumnya. Berikut adalah paragraf-paragraf selanjutnya:
Cara untuk berdialog atau berinteraksi dengan pemilih
Namun, tidak semua bakal capres yang bertanya balik ketika ditanya isu sensitif bermaksud untuk mengelak atau mengalihkan perhatian. Ada juga yang melakukannya sebagai cara untuk berdialog atau berinteraksi dengan pemilih, dengan mengajak mereka untuk berpikir, berpendapat, atau berpartisipasi.
Menurut Rizal Mallarangeng, pakar komunikasi politik dari Universitas Paramadina, cara sejumlah bakal capres menjawab pertanyaan dengan bertanya balik, dinilai sebagai “cara untuk berdialog” ketika menghadapi topik yang kompleks, dinamis dan membutuhkan solusi bersama.
“Kalau kita lihat dari konteks pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada mereka, itu adalah pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut isu-isu yang kompleks, yang tidak bisa dijawab dengan hitam atau putih, benar atau salah, ya atau tidak. Isu-isu tersebut membutuhkan pemahaman yang mendalam, analisis yang cermat, dan solusi yang bersama,” kata Rizal kepada BBC Indonesia.
Rizal mencontohkan, pertanyaan tentang IKN kepada Anies Baswedan adalah pertanyaan yang kompleks, karena proyek tersebut merupakan salah satu isu strategis nasional, yang tidak hanya berkaitan dengan kepentingan pemerintah, tetapi juga dengan kepentingan rakyat, swasta, dan lingkungan. Jika Anies menjawab bahwa ia akan melanjutkan atau tidak melanjutkan proyek tersebut, ia bisa dianggap sebagai tidak mempertimbangkan berbagai aspek dan dampak yang terkait.
“Jadi, dengan bertanya balik, sebenarnya dia mengajak penanya atau publik untuk berdialog, untuk berbagi pandangan, untuk berdiskusi. Dia juga sekaligus menunjukkan bahwa ia menghargai pendapat orang lain, dan tidak bersikap otoriter atau dogmatis,” ujar Rizal.
Hal yang sama juga berlaku untuk pertanyaan tentang boneka Megawati kepada Ganjar Pranowo, atau tentang manuver Muhaimin Iskandar kepada Prabowo Subianto. Kedua pertanyaan tersebut menyangkut isu-isu internal partai atau koalisi, yang tidak bisa dijawab dengan mudah tanpa melibatkan berbagai pihak yang terkait.
“Kalau Ganjar menjawab bahwa ia adalah petugas partai atau petugas rakyat, ia bisa dianggap sebagai tidak menghormati proses demokrasi di partainya, atau tidak menghormati aspirasi rakyat. Jadi, dengan bertanya balik, ia sebenarnya mencoba untuk mengetahui seberapa besar harapan atau kepercayaan penanya atau publik terhadap dirinya, sekaligus menunjukkan bahwa ia tidak sombong atau arogan,” kata Rizal.
“Kalau Prabowo menjawab bahwa ia senang atau tidak senang dengan manuver Muhaimin Iskandar, ia bisa dianggap sebagai tidak menghormati keputusan partainya, atau tidak menghormati kawan koalisinya. Jadi, dengan bertanya balik, ia sebenarnya mencoba untuk mengetahui seberapa besar pengaruh atau dukungan penanya atau publik terhadap dirinya, sekaligus menunjukkan bahwa ia tidak iri atau dengki,” tambah Rizal.
Dampak bagi pemilih: tertarik atau bosan?
Lantas, bagaimana dampak dari strategi bertanya balik yang dilakukan oleh bakal capres terhadap pemilih? Apakah ini akan membuat pemilih tertarik, atau justru membuat mereka bosan?
Menurut Rizal, dampaknya tergantung pada cara dan tujuan bertanya balik yang dilakukan oleh bakal capres, serta tingkat minat dan kebutuhan informasi dari pemilih.
“Kalau cara bertanya baliknya adalah cara yang sopan, santun, dan mengundang, maka strategi bertanya balik bisa membuat pemilih tertarik, karena mereka merasa dihargai, dihormati, dan diajak untuk berdialog. Ini bisa berdampak positif bagi bakal capres, karena mereka bisa dianggap sebagai komunikatif, inklusif, atau partisipatif,” kata Rizal.
“Namun, kalau cara bertanya baliknya adalah cara yang kasar, sinis, dan mengejek, maka strategi bertanya balik bisa membuat pemilih bosan, karena mereka merasa diremehkan, dihina, dan diabaikan. Ini bisa berdampak negatif bagi bakal capres, karena mereka bisa dianggap sebagai tidak sopan, tidak santun, atau tidak mengundang,” lanjut Rizal.
Rizal menambahkan, tujuan bertanya balik juga berpengaruh terhadap dampak dari strategi bertanya balik. Jika tujuannya adalah untuk mengelak atau mengalihkan perhatian, maka strategi bertanya balik bisa membuat pemilih bosan, karena mereka tidak mendapatkan informasi yang mereka butuhkan atau inginkan. Namun, jika tujuannya adalah untuk berdialog atau berinteraksi, maka strategi bertanya balik bisa membuat pemilih tertarik, karena mereka mendapatkan kesempatan untuk berpikir, berpendapat, atau berpartisipasi.
“Jadi, strategi bertanya balik itu sebenarnya bisa menjadi pedang bermata dua bagi bakal capres. Kalau dilakukan dengan cara dan tujuan yang benar, bisa menjadi alat untuk membangun komunikasi dan hubungan yang baik dengan pemilih. Tapi, kalau dilakukan dengan cara dan tujuan yang salah, bisa menjadi alat untuk merusak komunikasi dan hubungan yang buruk dengan pemilih,” kata Rizal.
Rizal menyarankan agar bakal capres lebih jujur dan terbuka dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh pemilih, terutama yang berkaitan dengan isu-isu sensitif. Ia juga menyarankan agar pemilih lebih aktif dan kritis dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang relevan dan substantif kepada bakal capres, terutama yang berkaitan dengan visi, misi, dan program mereka.
“Strategi bertanya balik itu boleh-boleh saja, asalkan tidak dilakukan terus-menerus, dan tidak menggantikan jawaban yang seharusnya diberikan. Karena, pada akhirnya, pemilih berhak untuk mendapatkan informasi yang akurat, lengkap, dan bermanfaat dari bakal capres, agar mereka bisa memilih dengan bijak dan bertanggung jawab,” kata Rizal.