jfid – Kritik adalah salah satu bentuk ekspresi yang penting dalam demokrasi. Kritik dapat membuka ruang dialog, memperbaiki kebijakan, dan mengawasi kinerja pemerintah.
Namun, kritik juga sering mendapat balasan yang tidak menyenangkan, bahkan bisa berujung pada ancaman hukum.
Hal ini dialami oleh aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Haris Azhar, yang beberapa kali dilaporkan ke polisi karena kritiknya terhadap pemerintah.
Haris mengatakan bahwa ada modus baru yang digunakan untuk mengekang kebebasan berekspresi dan berpendapat, yaitu dengan menganggap kritik sebagai fitnah dan hinaan.
“Jadi banyak kritik kemudian direspons dengan cara itu dianggap sebagai fitnah atau dianggap sebagai hinaan, begitu. Lalu dianggap itu berita bohong,” kata Haris dalam diskusi daring Crosscheck dengan tajuk ‘Mengepung Rocky Gerung Siapa Untung?’ pada Minggu (6/8/2023).
Haris menilai bahwa modus ini sudah berjalan beberapa tahun terakhir dan banyak diarahkan kepada para pengkritik pemerintah.
“Itu modusnya, polanya seperti itu di tiga-empat tahun terakhir ini, banyak yang diarahakan seperti itu,” ujarnya.
Menurut Haris, modus ini merupakan konsekuensi dari pola kekuasaan yang hanya menguntungkan segelintir orang. Imbasnya, kebijakan pemerintah yang berkuasa hanya menguntungkan segelintir orang dan tidak merugikan masyarakat luas.
Haris juga mengkritik penggunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang sering digunakan untuk menjerat para pengkritik dengan pasal karet.
Ia mengatakan bahwa angka pemidanaan dengan menggunakan UU ITE menurun dalam satu dua tahun terakhir, tetapi kualitasnya semakin buruk.
“Baru satu dua tahun terakhir aja angka pemidanaan dengan menggunakan ITE itu menurun. Tetapi jumlah menurun quantity-nya itu kalau dilihat secara kualitas bekakangan ini sebetulnya banyak teman-teman yang melakukan advokasi, para peneliti, para ahli atau kelas menengah advokasi yang banyak bersuara untuk kepentingan banyak orang atau masalah-masalah sistemik,” tuturnya.
Salah satu contoh kasus yang menimpa para pengkritik adalah laporan yang dilayangkan oleh Relawan Indonesia Bersatu kepada Rocky Gerung dan Refly Harun ke Polda Metro Jaya. Keduanya dilaporkan atas dugaan kasus penghinaan terhadap Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
Laporan tersebut diterima dan teregistrasi dengan Nomor: LP/B/4459/VII/2023/SPKT POLDA METRO JAYA tanggal 31 Juli 2023. Dalam laporannya, Relawan Indonesia Bersatu menuding Rocky dan Refly telah melanggar Pasal 28 Ayat 2 Juncto Pasal 45 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE dan atau Pasal 156 KUHP dan atau Pasal 160 KUHP dan atau Pasal 14 Ayat 1 dan Ayat 2 dan atau Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
“Kami sebagai relawan dan masyarakat Indonesia sangat terganggu dan ini sudah munculkan kegaduhan makanya kami melaporkan ke Polda Metro Jaya,” kata Ketua Umum Relawan Indonesia Bersatu, Lisman Hasibuan di Polda Metro Jaya, Senin (31/7/2023).
Haris mengatakan bahwa laporan tersebut merupakan bentuk intimidasi terhadap para pengkritik yang berani menyuarakan pendapatnya. Ia menilai bahwa laporan tersebut tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan hanya bertujuan untuk membungkam suara-suara kritis.
“Kasus Rocky Gerung dan Refly Harun ini sebetulnya adalah kasus yang sangat lemah secara hukum. Tidak ada unsur penghinaan, tidak ada unsur fitnah, tidak ada unsur berita bohong. Ini hanya sebuah pendapat yang mungkin tidak disukai oleh pihak-pihak tertentu,” kata Haris.
Haris mengajak masyarakat untuk tidak takut mengkritik pemerintah dan tetap berani menyuarakan pendapatnya. Ia juga mengimbau pemerintah untuk menghormati hak asasi manusia dan kebebasan berekspresi dan berpendapat.
“Kritik itu bukan musuh, kritik itu adalah teman. Kritik itu adalah cara untuk memperbaiki diri, memperbaiki negara, memperbaiki masyarakat. Jangan sampai kita menjadi negara yang tidak toleran, tidak demokratis, dan tidak menghargai hak asasi manusia,” pungkas Haris.