jfid – Kyai adalah sebutan bagi ulama atau tokoh agama Islam di Indonesia, khususnya di Jawa.
Kyai memiliki peran penting dalam membina umat, mengajarkan ilmu agama, dan menyelesaikan berbagai masalah sosial.
Kyai juga dihormati dan diikuti oleh banyak orang, sehingga pengaruhnya sangat besar dalam masyarakat.
Namun, di tengah dinamika politik menjelang Pemilu 2024, peran kyai menjadi sorotan.
Beberapa kyai terlibat dalam kontestasi politik, baik sebagai calon pemimpin, pendukung, maupun penasihat.
Hal ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan umat Islam, terutama yang tergabung dalam organisasi Nahdlatul Ulama (NU), ormas Islam terbesar di Indonesia.
Ada yang menganggap bahwa kyai berhak untuk berpartisipasi politik, karena itu merupakan bagian dari tanggung jawab mereka sebagai pemimpin umat.
Ada juga yang berpendapat bahwa kyai sebaiknya menjaga jarak dari politik, karena itu dapat merusak kredibilitas dan otoritas mereka sebagai ulama.
Lalu, bagaimana sebenarnya posisi kyai dalam politik? Apa motif dan dampak dari keterlibatan mereka? Dan bagaimana cara umat Islam menyikapi fenomena ini?
Motif Kyai dalam Politik
Ada dua motif utama yang mendorong kyai untuk terjun ke politik, yaitu kepentingan dan kepedulian.
Kepentingan adalah motif yang bersifat pragmatis, yaitu untuk mendapatkan keuntungan materi, jabatan, atau pengaruh dari politik.
Kepedulian adalah motif yang bersifat idealis, yaitu untuk mewujudkan kesejahteraan, keadilan, dan kemajuan umat Islam melalui politik.
Motif kepentingan lebih banyak ditemukan pada kyai yang tergabung dalam partai politik, khususnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang merupakan partai politik yang berafiliasi dengan NU.
Kyai yang menjadi anggota atau simpatisan PKB biasanya mendukung calon pemimpin yang berasal dari partai tersebut, atau yang memberikan janji-janji politik kepada partai tersebut.
Contohnya adalah dukungan PKB kepada pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN) sebagai calon presiden dan wakil presiden 2024.
Anda tahu sendiri fakta di lapangan, bagaimana organisasi masyarakat (mungkin sebagian dari badan otonom NU) digerakkan untuk pemenangan salah satu capres secara terstruktur.
Motif kepedulian lebih banyak ditemukan pada kyai yang tidak terikat dengan partai politik, tetapi lebih berorientasi pada nilai-nilai Islam dan kebangsaan.
Kyai yang memiliki motif ini biasanya lebih kritis dan selektif dalam menentukan pilihan politik mereka, dan tidak mudah terpengaruh oleh iming-iming atau tekanan dari pihak manapun.
Contohnya adalah sikap Pengurus Besar NU, yang dipimpin oleh KH Said Aqil Siroj, yang tidak mendukung PKB, tetapi lebih mengedepankan persatuan dan keamanan bangsa dalam menghadapi Pemilu 2024. Mungkin.
Dampak Kyai dalam Politik
Keterlibatan kyai dalam politik memiliki dampak positif dan negatif, baik bagi diri mereka sendiri, maupun bagi umat Islam dan bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Dampak positifnya adalah bahwa kyai dapat menjadi motor penggerak untuk mendorong partisipasi politik yang aktif, memperkuat nilai-nilai demokrasi, memediasi konflik politik, dan mempromosikan persatuan dalam masyarakat.
Kyai juga dapat menjadi perwakilan dan pembela kepentingan umat Islam di panggung politik, serta menjadi teladan dan inspirasi bagi generasi muda.
Dampak negatifnya adalah bahwa kyai dapat menjadi sasaran fitnah, kritik, dan serangan dari pihak-pihak yang berseberangan dengan mereka.
Kyai juga dapat kehilangan kredibilitas dan otoritas mereka sebagai ulama, jika mereka terbukti korup, munafik, atau tidak konsisten dengan ajaran Islam.
Kyai juga dapat menjadi faktor pemecah belah umat Islam, jika mereka terjebak dalam politik identitas, primordialisme, atau fanatisme golongan.
Sikap Umat Islam terhadap Kyai dalam Politik
Umat Islam sebagai pengikut dan simpatisan kyai memiliki tanggung jawab untuk menyikapi fenomena keterlibatan kyai dalam politik dengan bijak dan kritis.
Umat Islam tidak boleh menganggap kyai sebagai makhluk suci yang tidak bisa salah, atau sebagai makhluk hina yang tidak bisa benar.
Umat Islam harus menghormati dan menghargai kyai sebagai ulama dan tokoh agama, tetapi juga harus menilai dan mengkritisi kyai sebagai manusia dan aktor politik.
Umat Islam juga tidak boleh mengikuti kyai secara buta dan taat, atau menolak kyai secara benci dan keras.
Umat Islam harus menggunakan akal dan hati nurani mereka dalam menentukan pilihan politik mereka, serta mengedepankan prinsip-prinsip Islam dan kebangsaan dalam berpolitik.
Umat Islam juga harus menjaga ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah wathaniyah di antara sesama umat Islam dan sesama warga negara, serta menghindari permusuhan dan perpecahan karena perbedaan politik.
Kyai dan politik adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan, tetapi juga tidak bisa disamakan.
Kyai memiliki hak dan kewajiban untuk berpolitik, tetapi juga memiliki tanggung jawab dan akuntabilitas untuk berpolitik.
Umat Islam memiliki kewenangan dan kebebasan untuk mendukung atau menolak kyai dalam politik, tetapi juga memiliki etika dan moralitas untuk mendukung atau menolak kyai dalam politik.
Kyai dan umat Islam harus saling mengingatkan dan menghormati, serta saling mengisi dan mengayomi, dalam rangka mewujudkan Islam rahmatan lil alamin dan Indonesia baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.