jfid – Jepang, dengan segala kemegahan teknologinya dan keindahan budayanya, menyimpan satu fenomena gelap yang jarang terdengar namun semakin mencekam: Kodokushi, atau kematian dalam kesendirian.
Di tengah hiruk-pikuk kota Tokyo dan ketenangan desa-desa di pegunungan, lebih dari 21 ribu warga Jepang meninggal sendirian pada kuartal pertama 2024.
Fenomena ini, meski terkesan sepele di tengah gemerlap Jepang yang modern, mencerminkan luka sosial yang dalam dan menganga.
Menguak Fenomena Kodokushi
Kodokushi (孤独死) secara harfiah berarti ‘kematian kesepian’. Istilah ini mulai populer di Jepang pada tahun 1980-an, ketika kasus-kasus orang yang meninggal sendirian dan baru ditemukan setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan menjadi semakin sering terjadi.
Lebih dari sekadar statistik yang mencekam, kodokushi adalah potret ironis dari masyarakat yang terjebak dalam kontradiksi antara modernitas dan tradisi.
Pada kuartal pertama tahun 2024, sekitar 21.716 orang meninggal dalam kesendirian di rumah mereka. Dari jumlah ini, sekitar 80% adalah lansia berusia di atas 65 tahun.
Ini bukan sekadar angka; ini adalah cerminan dari kesepian yang melanda generasi tua di Jepang, yang sering kali ditinggalkan oleh anak-anak mereka yang sibuk dengan kehidupan kota atau bahkan terlalu sibuk dengan pekerjaan mereka sendiri untuk merawat orang tua mereka .
Penyebab dan Akar Permasalahan
Kodokushi tidak muncul begitu saja. Ia adalah hasil dari berbagai faktor yang saling terkait, dari ekonomi hingga demografi, dari budaya hingga kebijakan publik.
Berikut ini beberapa penyebab utama kodokushi:
- Populasi Lansia yang Meningkat: Jepang memiliki salah satu populasi lansia terbesar di dunia. Dengan lebih dari 28% penduduknya berusia di atas 65 tahun, banyak orang tua yang hidup sendirian setelah kehilangan pasangan mereka atau setelah anak-anak mereka pindah ke kota lain untuk bekerja .
- Masalah Ekonomi: Resesi ekonomi yang melanda Jepang sejak tahun 1990-an menyebabkan banyak orang kehilangan pekerjaan atau dipaksa pensiun dini. Ini terutama berlaku bagi pria berusia 50 tahun ke atas yang kemudian mengalami isolasi sosial setelah keluar dari kehidupan perusahaan yang dulunya menjadi identitas mereka .
- Isolasi Sosial: Budaya Jepang yang sangat menghargai privasi dan kemandirian sering kali menyebabkan orang tua hidup sendirian tanpa banyak interaksi sosial. Budaya malu juga membuat banyak orang enggan meminta bantuan, bahkan ketika mereka sangat membutuhkannya .
- Perubahan Struktur Keluarga: Modernisasi dan urbanisasi telah mengubah struktur keluarga tradisional di Jepang. Banyak orang muda pindah ke kota-kota besar untuk bekerja, meninggalkan orang tua mereka di pedesaan. Bahkan ketika orang tua tinggal di kota, anak-anak sering kali terlalu sibuk dengan pekerjaan mereka sendiri .
Potret Suram Kematian Sendirian
Menghadapi fenomena ini, sulit untuk tidak merasakan ironi pahit. Jepang, yang terkenal dengan teknologi canggih dan budaya komunitasnya yang kuat, justru menghadapi tantangan besar dalam hal isolasi sosial.
Dalam masyarakat di mana tatemae (tampilan luar) dan honne (perasaan sebenarnya) sering kali berbeda jauh, banyak orang tua yang memilih untuk tetap diam dalam kesepian mereka daripada menjadi beban bagi orang lain.
Cerita-cerita kodokushi sering kali terdengar mengerikan. Misalnya, ada kisah seorang pria tua yang ditemukan sudah meninggal di apartemennya setelah satu bulan.
Tetangga baru menyadari ketika bau busuk mulai tercium. Dalam kasus lain, seorang wanita lanjut usia ditemukan tewas di rumahnya setelah anak-anaknya mencoba menghubunginya selama berminggu-minggu tanpa hasil .
Upaya Mengatasi Kodokushi
Pemerintah Jepang tidak tinggal diam menghadapi fenomena ini. Berbagai langkah telah diambil untuk mengatasi kodokushi, meskipun hasilnya belum sepenuhnya memadai.
Beberapa langkah tersebut antara lain:
- Peningkatan Layanan Sosial: Pemerintah telah meningkatkan layanan sosial bagi lansia, termasuk kunjungan rumah oleh petugas kesejahteraan dan program komunitas yang bertujuan untuk meningkatkan interaksi sosial di antara lansia .
- Teknologi untuk Kesejahteraan Lansia: Jepang menggunakan teknologi untuk membantu memantau kesejahteraan lansia. Misalnya, beberapa kota telah memasang sensor di rumah-rumah lansia yang sendirian untuk memantau aktivitas mereka dan memberi tahu keluarga atau petugas kesehatan jika ada yang salah .
- Kampanye Kesadaran: Pemerintah dan organisasi nirlaba juga menjalankan kampanye untuk meningkatkan kesadaran tentang isolasi sosial dan pentingnya menjaga hubungan sosial, baik di antara lansia maupun antara generasi yang lebih muda dan lebih tua .
Menatap Masa Depan: Tantangan dan Harapan
Kodokushi bukan hanya masalah Jepang, tetapi merupakan cerminan dari tantangan yang dihadapi banyak negara dengan populasi lansia yang terus bertambah.
Di tengah globalisasi dan modernisasi, struktur keluarga dan komunitas berubah, sering kali dengan cara yang tidak menguntungkan bagi orang tua yang lebih rentan.
Meskipun begitu, harapan tetap ada. Inovasi teknologi, peningkatan layanan sosial, dan kesadaran yang lebih besar tentang pentingnya hubungan antar manusia dapat membantu mengatasi fenomena kodokushi.
Namun, perubahan ini membutuhkan waktu dan usaha bersama dari seluruh lapisan masyarakat.
Kodokushi adalah pengingat bahwa di balik kemajuan teknologi dan ekonomi, ada kebutuhan mendasar manusia untuk diakui, dihargai, dan dicintai.
Ini adalah pelajaran berharga bagi kita semua, di Jepang maupun di seluruh dunia, untuk tidak melupakan mereka yang berada di pinggiran, hidup dalam kesunyian yang mencekam.