Keturunan Nabi, Ba Alawi, Ternyata Palsu?

Rasyiqi By Rasyiqi - Writer, Saintific Enthusiast
4 Min Read

jf.id – Sebuah diskursus yang menghebohkan dunia Islam akhir-akhir ini adalah tentang klaim keturunan Nabi Muhammad SAW yang dilakukan oleh sekelompok orang yang dikenal dengan nama Ba Alawi.

Mereka mengaku sebagai sayyid atau syarif, yaitu orang-orang yang memiliki darah keturunan Nabi Muhammad SAW melalui sayyidina Ali bin Abi Thalib. Namun, benarkah klaim mereka itu?

Ba Alawi adalah sebuah istilah untuk para sayyid dari keturunan Sayid Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far As-Shadiq bin Muhammad Al-Bagir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib (bin Fatimah binti Rasulullah SAW).

Mereka berasal dari Hadhramaut, sebuah wilayah di Yaman Selatan, dan menyebar ke berbagai negara, termasuk Indonesia, sejak abad ke-13 atau ke-14 Masehi untuk berdagang dan berdakwah.

Ad image

Namun, beberapa peneliti dan sejarawan menemukan adanya keraguan dan kejanggalan dalam silsilah nasab Ba Alawi tersebut. Salah satunya adalah Kholili Kholil, seorang penulis dan aktivis Islam dari Indonesia, yang menulis sebuah artikel berjudul “Polemik Tentang Nasab Ba Alawy” di situs Alif.ID.

Dalam artikelnya, ia mengungkapkan beberapa fakta dan argumen yang menunjukkan bahwa nasab Ba Alawi tidak bisa dipercaya.

Salah satu fakta yang ia sampaikan adalah bahwa tidak ada sumber sejarah yang kuat dan otentik yang menyebutkan nama-nama leluhur Ba Alawi sebelum Ahmad al-Muhajir, yaitu seorang ulama yang hijrah dari Basra ke Hadhramaut pada abad ke-9 Masehi.

Ia juga menunjukkan bahwa ada perbedaan nama dan tanggal kematian antara Ahmad al-Muhajir dengan Ahmad bin Isa al-Muhajir, yang diklaim sebagai ayahnya oleh Ba Alawi.

Selain itu, ia juga mengkritik kitab Al-Masyra’ Al-Rawi, sebuah kitab biografi Ba Alawi yang ditulis belakangan dan menjadi rujukan utama mereka dalam menetapkan nasab mereka.

Ia menilai bahwa kitab tersebut penuh dengan kesalahan, kontradiksi, dan hal-hal yang tidak masuk akal. Misalnya, kitab tersebut menyebutkan bahwa Muhammad bin Ali pemilik Mirbath (w. 556 H) adalah guru dari beberapa ulama besar Yaman non Ba Alawi, padahal tidak ada bukti sejarah yang mendukung hal itu³.

Ia juga menyoroti bahwa ada motif politik dan ekonomi di balik klaim keturunan Nabi yang dilakukan oleh Ba Alawi. Ia mengatakan bahwa Ba Alawi ingin mendapatkan pengaruh dan kedudukan di masyarakat dengan menggunakan gelar sayyid atau syarif.

Ia juga menyebutkan bahwa ada praktik perdagangan budak yang dilakukan oleh Ba Alawi di masa lalu, di mana mereka menjual orang-orang Afrika sebagai budak dengan mengaku sebagai keturunan Nabi.

Dengan demikian, ia mengajak para pembaca untuk lebih kritis dan objektif dalam menilai klaim-klaim keturunan Nabi yang dilakukan oleh Ba Alawi atau kelompok lainnya.

Ia juga mengingatkan bahwa keturunan Nabi bukanlah ukuran keimanan dan ketaqwaan seseorang, melainkan amal perbuatan dan akhlaknya.

Ia berharap agar umat Islam tidak terpecah-belah karena masalah nasab, melainkan bersatu dalam persaudaraan Islam.

Share This Article