jfID – Belakangan ini, nama Ruslan Buton menjadi viral di dunia maya usai video narasinya beredar di media sosial youtube, instagram, facebook hingga whatsapp. Dalam video tersebut, pria yang lahir pada tanggal 4 Juli 1975 ini membacakan surat terbukanya yang ditujukan kepada Presiden Jokowi.
Dalam video yang viral pada 18 Mei 2020 itu, Ruslan Buton menilai kebijakan yang dikeluarkan oleh Presiden Jokowi selama ini merugikan rakyat.
“Di tengah pandemi Covid-19, saya melihat tata kelola bangsa dan bernegara yang sulit dicerna oleh akal sehat untuk dipahami oleh siapapun. Kebijakan-kebijakan saudara selalu melukai dan merugikan kepentingan rakyat, bangsa dan negara,” kata Ruslan dalam rekaman tersebut.
Ruslan Buton meminta kesediaan Jokowi untuk mundur dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia. Menurut dia, itu solusi terbaik untuk menyelamatkan bangsa ini.
“Saya mohon dengan hormat agar Saudara dengan tulus dan ikhlas secara sadar untuk mengundurkan diri dari jabatan saudara sebagai Presiden Republik Indonesia. Hal ini perlu dilakukan demi kepentingan bangsa untuk menyelamatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebelum kedaulatan negara benar-benar runtuh dan dikuasai asing. Saya tahu ini adalah pilihan sulit namun merupakan pilihan terbaik,” ucap Ruslan Buton.
Ruslan Buton khawatir jika Jokowi tak melakukan hal itu akan ada gerakan reformasi besar-besaran.
“Namun bila tidak bukan menjadi sebuah keniscayaan akan terjadinya gelombang gerakan revolusi rakyat dari seluruh elemen masyarakat, seluruh komponen bangsa dari berbagai suku, agama, dan ras yang akan menjelma bagaikan tsunami dahsyat yang akan meluluhlantakkan para pengkhianat bangsa. Akan bermunculan harimau-harimau, singa-singa dan, serigala-serigala lapar untuk memburu dan memangsa para pengkhianat bangsa,” ucap Ruslan Buton.
Menanggapi video itu, Pengamat Intelijen, Pertahanan dan Keamanan, Ngasiman Djoyonegoro, menilai surat terbuka Ruslan Buton tersebut tak hanya bersifat politis, namun juga menimbulkan kegaduhan yang sangat tidak elok di tengah situasi pandemi Covid-19.
“Ya tentu sangat politis. Dan sangat tidak elok di tengah bangsa Indonesia sedang mengalami musibah corona,” kata Ngasiman Djoyonegoro dilansir melalui Tribunnews.com, Jumat (22/5/2020) lalu.
Pria yang juga Direktur Eksekutif Center of Intelligence and Strategic Studies (CISS) itu menambahkan bahwa surat terbuka Ruslan Buton kepada Presiden Jokowi sangat politis karena dari awal Ruslan Buton di Pilpres 2019 berseberangan dengan Jokowi.
“Kan di Pilpres 2019 kemarin ia pendukung 02, jadi tak menuntut kemungkinan memang ada skenario-skenario tertentu untuk menciptakan ketidak-stabilan keamanan nasional,” tambahnya.
Pemimpin Serdadu Eks Trimatra Nusantara ini akhirnya ditangkap oleh tim gabungan Satgassus Merah Putih bersama Polda Sulawesi Tenggara dan Polres Buton berdasarkan laporan yang masuk ke SPKT Bareskrim Polri dengan nomor LP/B/0271/V/2020/BARESKRIM tanggal 22 Mei 2020.
Ruslan Buton ditangkap di kampung halamannya, di Desa Matanauwe, Kecamatan Siotapina, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara pada Kamis 28 Mei 2020.
Berdasarkan hasil pemeriksaan awal, pelaku mengakui rekaman suara tersebut adalah suaranya sendiri.
Penangkapan Ruslan Buton akhirnya banyak menuai pertanyaan. Seperti diungkapkan Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane yang menilai tindakan Mabes Polri tidak memiliki dasar hukum yang jelas.
“Sebab apa yang dituduhkan Polri kepada Ruslan tidak mempunyai dasar hukum yang jelas dan hanya menunjukkan sikap parno jajaran kepolisian yang tidak promoter ” kata Neta dalam keterangan tertulisnya, Minggu (31/5/2020).
Seperti dilansir melalui Okezone.com Neta menuturkan, Ruslan hanya sebatas menyatakan aspirasi dan penyampaian aspirasi seorang rakyat dijamin oleh UUD 55. Menurutnya, Polri boleh saja menangkap Ruslan namun hanya sebatas mengingatkan
“Polri boleh menangkap dan memeriksa Ruslan, lalu mengingatkannya, untuk kemudian melepaskannya,” tuturnya.
Neta menambahkan, langkah Polri yang menangkap dan tidak melepaskan Ruslan terlalu paranoid dengan mengenakan pasal-pasal itu terhadap Ruslan.
Polri lupa dengan kebebasan menyampaikan aspirasi yang dijamin UUD 45. Ruslan sebatas menyatakan aspirasi dan mengingatkan serta tidak tindakan pidana ada ajakan untuk membuat tindakan pidana yang dilakukannya.
“Sebab itu tindakannya itu belum dapat dikualifikasi sebagai sebuah tindak pidana, apalagi membuat kehonaran. Begitu juga mengenai pasal informasi bohong yang disangkakan polisi terhadap Ruslan, menjadi pertanyaan, dimana bohongnya?,” kata Neta.
Menurut Neta pernyataan Ruslan tidak bisa serta merta memberhentikan Jokowi jadi presiden. Ia menjelaskan pemberhentian presiden sudah diatur UUD 1945 dengan memenuhi lima persyaratan.
“Pertama jika terlibat korupsi. Kedua, terlibat penyuapan. Ketiga, pengkhianatan terhadap negara. Keempat, melakukan kejahatan dengan ancaman lebih dari lima tahun, kelima kalau terjadi keadaan di mana tidak memenuhi syarat lagi,” jelasnya.
“Di luar itu, membuat kebijakan apapun, Jokowi tidak bisa diberhentikan di tengah jalan, apalagi hanya membuat kebijakan mengatasi Covid-19,” tutupnya.
Selain Neta S Pane, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon juga ikut angkat bicara. Dia menilai penangkapan Ruslan Buton, memperlihatkan kualitas demokrasi di tanah air yang melemah.
Fadli mengaku heran dengan sistem demokrasi yang digunakan oleh Indonesia. Pasalnya, penangkapan Ruslan Buton yang hanya sekadar mengeluarkan pendapat dan meminta Presiden mundur dari jabatannya dinilai berlebihan jika dianggap tindakan kriminal bahkan makar.
“Standar demokrasi macam apa yang kita pakai? Masak orang hanya meminta atau menyerukan agar seseorang mundur dari jabatan publik dianggap perbuatan makar atau kriminal? Hadeuh demokrasi abal-abal,” kata Fadli Zon dalam cuitannya di akun Twitter, Sabtu (30/5).
Pakar hukum dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar juga menilai apa yang dilakukan Ruslan Buton belum dapat dikualifikasikan sebagai tindak lanjut. Menurunya, Ruslan Buton sebatas menyatakan aspirasi.
“Tindakannya belum dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana. BPR (Ruslan Buton) hanya menyatakan aspirasinya melalui beberapa sarana komunikasi, “ujar Abdul Fickar Hadjar kepada Kantor Berita Politik RMOL , Minggu (31/5).
Abdul Fickar pun membahas pasal yang disangkakan polisi terhadap Ruslan. kalimat Ruslan Buton yang mengatasnamakan rakyat.
Kata dia, Delik ini harus diperjelas. Sebab, jika Ruslan Buton memiliki minimal 5 anak buah, maka yang berhak berhak mengatasnamakan rakyat Indonesia.
“Jadi dalam percakapan, aspirasi, maka pemanggilan itu menjadi kurang relevan dikualifikasi sebagai tindak pidana, “pungkasnya.
Diketahui, akibat pernyataannya itu, Ruslan dijerat pasal berlapis. Selain pasal tentang keonaran, dia dijerat UU ITE. Yakni Pasal 14 Ayat (1) dan (2) dan/atau Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang dilapis dengan Pasal 28 Ayat (2) UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan ancaman pidana enam tahun dan atau Pasal 207 KUHP.
Ruslan Buton merupakan mantan Prajurit TNI Angkatan Darat TNI (AD). Adapun pangkat terakhirnya di kesatuan itu adalah Kapten Infanteri. Pangkat itu diperoleh saat ia menjabat Pama Yonif RK 732/Banau.
Dipecat dari TNI, Ruslan mendirikan Serdadu Eks Trimatra Nusantara yang beranggotakan mantan-mantan tentara pada Januari 2020 lalu di Gedung Joang Jakarta. Ruslan sendiri menjabat sebagai panglima Serdadu Eks Trimatra Nusantara hingga sekarang.
Namun, pada 2017 lalu saat ia menjabat sebagai Komandan Kompi sekaligus Komandan Pos Satgas SSK III Yonif RK 732/Banau, ia terbukti sebagai salah satu dari 10 pelaku yang diduga membunuh La Gode. Saat itulah Ruslan dan kawan-kawan diduga melakukan penganiayaan hingga La gode tewas.
La Gode adalah seorang petani cengkeh pencuri singkong parut 5 kilogram seharga Rp. 20 ribu. Karena perbuatannya, ia ditahan di Pos Satuan Tugas Daerah Rawan. Pada 2018 dia dijatuhi hukuman penjara 1 tahun 10 bulan. Pada akhir 2019, Ruslan Buton bebas.