jfid – Pada 28 Oktober 2023, Israel membuat pernyataan tegas dengan menolak resolusi Majelis Umum PBB yang menyerukan gencatan senjata di Jalur Gaza. Keputusan ini menjadi sorotan global yang mempertegas ketegangan di kawasan tersebut.
Resolusi yang diajukan oleh 50 negara, termasuk negara-negara kunci seperti Turki, Palestina, Mesir, Yordania, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab (UEA), mendapatkan persetujuan melalui pemungutan suara 120 – 14, dengan 45 negara memilih abstain.
Meskipun demikian, Israel dan pendukungnya, Amerika Serikat (AS), mengecam keras resolusi tersebut karena ketidakhadiran penyebutan nama Hamas di dalamnya.
Menteri Luar Negeri Israel, Eli Cohen, menyatakan resolusi tersebut “tercela” dan menegaskan niat Israel untuk menghapus keberadaan Hamas.
Sikap keras Israel ini menegaskan bahwa negara tersebut tidak akan bernegosiasi atau berdamai dengan Hamas, lebih memilih untuk mengambil langkah-langkah tegas dalam menanggapi serangan terhadap mereka.
Kritik Israel dan AS terhadap resolusi ini menunjukkan bahwa keduanya menganggap Hamas sebagai ancaman utama.
Tidak adanya penyebutan nama Hamas dalam resolusi dipandang sebagai kelemahan dalam menangani ancaman tersebut.
Namun, penolakan Israel terhadap resolusi ini juga menggarisbawahi bahwa negara tersebut lebih memilih menyelesaikan konflik dengan pendekatan sendiri, daripada melalui mediasi internasional.
Penolakan ini tidak hanya menyoroti ketegangan antara Israel dan Hamas tetapi juga menimbulkan pertanyaan tentang komitmen Israel terhadap perdamaian di kawasan tersebut.
Dalam menolak resolusi PBB, Israel mungkin ingin menunjukkan bahwa mereka memilih pendekatan lain untuk menyelesaikan konflik, mungkin melalui strategi internal yang mereka percayai.
Namun, dari penolakan ini jelaslah bahwa konflik di Jalur Gaza masih jauh dari selesai. Sikap tegas Israel terhadap Hamas dan penolakan mereka terhadap resolusi PBB menunjukkan bahwa tantangan besar masih menghadang dalam upaya mencapai perdamaian yang diharapkan di kawasan yang dilanda konflik ini.