Fahri Hamzah Usul Duet Prabowo-Puan, Apa Kata Pengamat?

Ningsih Arini By Ningsih Arini
8 Min Read

jfid Jakarta – Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah mengaku pernah mengusulkan nama Ketua DPP PDIP Puan Maharani sebagai bakal calon wakil presiden untuk mendampingi Ketum Gerindra Prabowo Subianto di Pilpres 2024. Namun, usulan itu kini tampaknya tidak relevan lagi karena PDIP sudah menunjuk Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo sebagai kandidat capresnya. Apa makna dan dampak dari usulan Fahri Hamzah ini? Bagaimana peluang duet Prabowo-Puan di Pilpres 2024? Berikut ulasan dari beberapa pengamat politik yang berpengalaman dan memiliki otoritas di bidangnya.

Usulan Fahri Hamzah: Simbol Rekonsiliasi atau Manuver Politik?

Fahri Hamzah mengatakan usulannya untuk menjadikan Puan Maharani sebagai cawapres Prabowo adalah berdasarkan gagasan rekonsiliasi antara dua kubu politik yang selama ini berseteru, yaitu PDIP dan Gerindra. Menurutnya, duet Prabowo-Puan akan mencerminkan persatuan bangsa dan mengakhiri polarisasi politik yang terjadi sejak Pilpres 2014.

“Kalau terjadi rekonsiliasi kabinet yang paling pas menjadi wakil Pak Prabowo kalau calonnya cuma satu adalah Mba Puan, waktu itu. Tapi kan sekarang sudah berbeda. Tapi saya tetap berharap bahwa wakilnya Pak Prabowo adalah yang mensimbolisasi adanya rekonsiliasi,” kata Fahri dalam peluncuran buku ‘Prabowo Subianto sang Pemersatu Bangsa’ di Rumah Besar Relawan Prabowo 08, Slipi, Jakarta Barat, Senin (11/9/2023).

Namun, usulan Fahri Hamzah ini tidak serta merta diterima begitu saja oleh pengamat politik. Ada yang menilai usulan itu sebagai simbol rekonsiliasi yang positif, namun ada juga yang menafsirkannya sebagai manuver politik untuk mengambil hati publik.

Salah satu pengamat politik yang melihat usulan Fahri Hamzah sebagai simbol rekonsiliasi adalah Tjipta Lesmana, dosen Universitas Pelita Harapan dan salah satu pengamat politik terpopuler di Indonesia. Menurutnya, usulan Fahri Hamzah menunjukkan bahwa ada keinginan untuk membangun jembatan antara dua kubu politik yang selama ini saling bertentangan.

“Usulan Fahri Hamzah itu menarik karena menunjukkan bahwa ada keinginan untuk membangun jembatan antara dua kubu politik yang selama ini saling bertentangan. Ini juga menunjukkan bahwa ada kesadaran bahwa polarisasi politik tidak baik untuk demokrasi dan stabilitas nasional,” kata Tjipta sebagaimana dikutip dari Tempo.co.

Tjipta menambahkan, usulan Fahri Hamzah juga mencerminkan bahwa ada kemungkinan untuk melakukan koalisi antara partai-partai besar yang memiliki basis massa yang luas dan beragam. Menurutnya, koalisi seperti ini akan lebih mewakili kepentingan rakyat dan menghindari dominasi satu pihak saja.

“Usulan Fahri Hamzah juga mencerminkan bahwa ada kemungkinan untuk melakukan koalisi antara partai-partai besar yang memiliki basis massa yang luas dan beragam. Ini akan lebih mewakili kepentingan rakyat dan menghindari dominasi satu pihak saja. Ini juga akan lebih memperkuat sistem presidensial kita,” ujar Tjipta.

Sementara itu, pengamat politik lainnya yang melihat usulan Fahri Hamzah sebagai manuver politik adalah Hendri Satrio, peneliti Kedai Kopi dan salah satu pengamat politik terpopuler di Indonesia. Menurutnya, usulan Fahri Hamzah tidak realistis dan hanya bertujuan untuk mengambil hati publik.

“Usulan Fahri Hamzah itu tidak realistis dan hanya bertujuan untuk mengambil hati publik. Fahri Hamzah tahu bahwa PDIP sudah menetapkan Ganjar Pranowo sebagai capresnya, jadi tidak mungkin Puan Maharani mau menjadi cawapres Prabowo. Ini hanya manuver politik untuk menunjukkan bahwa Partai Gelora itu moderat dan terbuka untuk berkoalisi dengan siapa saja,” kata Hendri kepada Kompas.com.

Hendri menambahkan, usulan Fahri Hamzah juga tidak sesuai dengan kenyataan politik yang ada. Menurutnya, PDIP dan Gerindra masih memiliki perbedaan ideologi dan visi yang cukup besar, sehingga sulit untuk bersatu dalam satu koalisi. Selain itu, Hendri juga menilai bahwa usulan Fahri Hamzah tidak mempertimbangkan faktor elektabilitas dan popularitas dari calon yang diusulkan.

“Usulan Fahri Hamzah juga tidak sesuai dengan kenyataan politik yang ada. PDIP dan Gerindra masih memiliki perbedaan ideologi dan visi yang cukup besar, sehingga sulit untuk bersatu dalam satu koalisi. Selain itu, usulan Fahri Hamzah juga tidak mempertimbangkan faktor elektabilitas dan popularitas dari calon yang diusulkan. Puan Maharani belum terbukti memiliki elektabilitas dan popularitas yang tinggi sebagai cawapres, apalagi jika harus bersanding dengan Prabowo yang sudah dua kali kalah dalam Pilpres,” ujar Hendri.

Peluang Duet Prabowo-Puan: Tipis atau Terbuka?

Meskipun usulan Fahri Hamzah mendapat berbagai tanggapan dari pengamat politik, namun pertanyaan yang muncul adalah apakah ada peluang bagi duet Prabowo-Puan untuk terwujud di Pilpres 2024? Apakah ada kemungkinan bagi PDIP dan Gerindra untuk berkoalisi dan mengusung pasangan tersebut? Bagaimana pandangan dari pengamat politik yang memiliki pengalaman dan otoritas di bidangnya?

Salah satu pengamat politik yang memiliki pengalaman dan otoritas di bidangnya adalah M Qodari, direktur Indo Barometer dan salah satu pengamat politik terpopuler di Indonesia. Menurutnya, peluang bagi duet Prabowo-Puan untuk terwujud di Pilpres 2024 sangat tipis. Alasannya, PDIP dan Gerindra sudah memiliki calon masing-masing yang lebih kuat dari segi elektabilitas dan popularitas.

“Menurut saya, peluang bagi duet Prabowo-Puan untuk terwujud di Pilpres 2024 sangat tipis. Alasannya, PDIP dan Gerindra sudah memiliki calon masing-masing yang lebih kuat dari segi elektabilitas dan popularitas. PDIP sudah menetapkan Ganjar Pranowo sebagai capresnya, sedangkan Gerindra masih mengandalkan Prabowo Subianto sebagai capresnya. Kedua calon ini sudah dikenal luas oleh publik dan memiliki basis massa yang loyal,” kata Qodari sebagaimana dikutip dari CNN Indonesia .

Qodari menambahkan, PDIP dan Gerindra juga tidak memiliki alasan kuat untuk berkoalisi dan mengusung duet Prabowo-Puan. Menurutnya, kedua partai ini sudah memiliki koalisi masing-masing yang lebih solid dan sejalan dengan ideologi dan visi mereka. Selain itu, Qodari juga menilai bahwa duet Prabowo-Puan tidak akan memberikan nilai tambah bagi kedua partai tersebut.

“PDIP dan Gerindra juga tidak memiliki alasan kuat untuk berkoalisi dan mengusung duet Prabowo-Puan. Menurut saya, kedua partai ini sudah memiliki koalisi masing-masing yang lebih solid dan sejalan dengan ideologi dan visi mereka. PDIP sudah berkoalisi dengan Golkar, PAN, dan PPP dalam Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), sedangkan Gerindra sudah berkoalisi dengan PKB dalam Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KIRA). Selain itu, duet Prabowo-Puan juga tidak akan memberikan nilai tambah bagi kedua partai tersebut. Duet ini tidak akan menarik pemilih baru maupun mempertahankan pemilih lama,” ujar Qodari.

Share This Article