jfid – Dalam dunia akademis, hubungan antara dosen dan mahasiswa seharusnya menjadi salah satu yang mendukung pertumbuhan intelektual dan profesional.
Namun, kasus terbaru di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) menunjukkan sisi gelap dari ketimpangan kuasa yang bisa terjadi dalam hubungan ini.
Seorang mahasiswi UMS mengalami trauma berat setelah diduga menjadi korban pelecehan seksual oleh dosen pembimbing skripsinya, sebuah insiden yang menyoroti risiko serius dari dinamika kuasa yang tidak seimbang di lingkungan akademis.
Kronologi Kejadian
Kasus ini mulai terungkap ketika mahasiswi yang namanya dirahasiakan melaporkan tindakan pelecehan kepada Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UMS dan pihak kampus pada awal Juli 2024.
Pelecehan terjadi selama sesi bimbingan skripsi yang berlangsung di kantor dosen tersebut.
Menurut laporan yang diterima BEM, mahasiswi tersebut awalnya merasa bingung dan takut untuk melaporkan kejadian ini karena takut akan dampaknya terhadap kelulusannya.
Dinamika Kuasa
Hubungan antara dosen dan mahasiswa, khususnya dalam konteks bimbingan skripsi, sering kali didasarkan pada ketergantungan akademis.
Dosen memiliki kekuasaan untuk menentukan penilaian, memberikan bimbingan, dan mengarahkan penelitian yang sangat mempengaruhi kelulusan mahasiswa.
Dalam kasus ini, mahasiswi merasa tidak berdaya dan tertekan oleh posisi kuasa sang dosen.
Ketimpangan ini menciptakan situasi di mana pelecehan seksual bisa terjadi, seperti yang dijelaskan oleh pakar psikologi pendidikan, Dr. Rita Setiawan, “Ketika seseorang memiliki otoritas yang besar atas yang lain, peluang untuk menyalahgunakan kekuasaan tersebut menjadi lebih tinggi.”
Reaksi Universitas dan Investigasi
Pihak Universitas Muhammadiyah Surakarta segera membentuk tim investigasi untuk menyelidiki dugaan pelecehan ini.
Rektor UMS menyatakan, “Kami berkomitmen untuk menciptakan lingkungan yang aman dan bebas dari pelecehan bagi semua mahasiswa.”
Tim investigasi bekerja sama dengan pihak kepolisian untuk memastikan proses hukum berjalan dengan semestinya.
Selain itu, universitas juga mengeluarkan kebijakan baru untuk memperketat pengawasan terhadap interaksi antara dosen dan mahasiswa.
Perspektif Mahasiswa
Reaksi dari komunitas mahasiswa UMS sangat kuat. Banyak mahasiswa yang merasa khawatir dan marah atas kejadian ini.
Kampanye solidaritas dengan tagar #JusticeForUMSStudent menyebar di media sosial, mendesak pihak kampus untuk bertindak tegas.
“Kami merasa tidak aman jika situasi seperti ini dibiarkan terjadi di kampus,” ujar salah satu mahasiswa yang ikut dalam demonstrasi solidaritas pada 9 Juli 2024.
Langkah Pencegahan
Untuk mencegah kejadian serupa di masa depan, UMS berencana mengadakan pelatihan wajib mengenai etika profesional dan pelecehan seksual bagi semua dosen.
“Pendidikan tentang etika dan pencegahan pelecehan seksual harus menjadi bagian dari pelatihan rutin bagi tenaga pengajar,” kata Rektor UMS.
Penutup
Kasus ini menunjukkan betapa pentingnya memperhatikan dinamika kuasa dalam hubungan akademis.
Universitas dan institusi pendidikan perlu mengimplementasikan kebijakan yang lebih ketat untuk melindungi mahasiswa dari potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang lebih berwenang.
Kasus di UMS ini diharapkan bisa menjadi pembelajaran penting untuk seluruh perguruan tinggi di Indonesia dalam menciptakan lingkungan belajar yang aman dan bebas dari pelecehan.