Cultural Studies

Tjahjono Widarmanto By Tjahjono Widarmanto
8 Min Read

Jendela Memahami Rerajut Sastra, Budaya, dan Fenomena Sosial

jfID – Kajian budaya (cultural studies) berbeda dengan studi tentang budaya (study of culture). Kajian budaya adalah disiplin ilmu tergolong baru yang memiliki konsep dan metodologi sendiri, sedangkan studi tentang budaya adalah studi kebudayaan yang berlaku secara umum dan dilakukan oleh berbagai disiplin akademik yang sudah lama ada, misalnya antropologi, sastra jawa, sastra sunda, dan sebagainya.

Stuart Hall memberi pengertian budaya sebagai lingkungan aktual untuk berbagai praktik, representasi, bahasa, dan adat istiadat masyarakat tertentu, berbagai bentuk akal sehat yang saling kontradiktif yang terakar dan membentuk kehidupan. Sedangkan Kajian Budaya dimaknai sebagai ilmu sosial yang mempelajari produksi, distribusi, pertukaran dan penerimaan dari pemaknaan secara tekstual. Dengan kata lain kajian budaya mempelajari budaya sebagai teks kehidupan.

Kajian budaya memandang segala aktivitas sebagai teks sehingga segala objek yang dijadikan kajian dapat dipahami, ditafsirkan, dan dianalisis sebagaimana membaca teks. Yang membedakannya adalah bagaimana cara membacanya sehingga aspek-aspek yang diberi perhatian juga berbeda. Membaca dalam konteks ini berada dalam suatu transaksi yang tak hanya melibatkan naskah sastra verbal, namun dapat pula karya-karya dalam media visual atau pendengaran seperti musik, film, televisi atau iklan. Kajian budaya merupakan suatu pembentukan wacana, yaitu bangunan gagasan-gagasan, citra, dan praktik-praktik, yang menyediakan cara-cara untuk membicarakan topik, aktivitas sosial atau arena institusional dalam masyarakat yang dapat berbentuk pengetahuan dan tindakan yang berkait dengannya.

Konsep-konsep kunci dalam kajian budaya meliputi : kebudayaan dan praktik signitifikasi, representasi, materialism dan nonreduksionisme, artikulasi, kekuasaan, teks dan pembacanya, dan subjektivitas dan identitas.

Elemen terpenting Kajian Budaya adalah kebudayaan. Kebudayaan selalu terkait dengan makna sosial yang dimiliki bersama, yaitu berbagai cara memahami dunia. Makna dalam budaya dibangun melalui tanda, khususnya tanda-tanda bahasa. Dalam pandangan kajian budaya, bahasa bukanlah media netral bagi pembentukan makna dan pengetahuan tentang objek independen yang ada di luar bahasa, namun merupakan bagian utama dari makna dan pengetahuan tersebut. Bahasa memberi makna pada objek material dan praktik sosial yang dipaparkan sehingga membuat orang dapat memikirkannya dalam konteks yang dibatasi bahasa. Proses produksi makna merupakan praktik signifikasi. Memahami kebudayaan berarti mengeksplorasi bagaimana makna dihasilkan secara simbolis dalam bahasa sebagai suatu system signifikasi.

Ad image

Representasi merupakan permasalahan terbesar dalam Kajian Budaya. Representasi didefinisikan sebagai bagaimana dunia ini dikonstruksi dan disajikan secara sosial kepada dan oleh diri kita. Hal ini mengharuskan kita mengeksplorasi pembentukkan makna tekstual. Representasi juga menghendaki penyelidikan tentang cara dihasilkannya makna pada beragam konteks. Representasi dan makna cultural memiliki materialitas tertentu yang melekat pada bunyi, prasasti, objek, citra, buku, majalah dan program televisi. Semua itu diproduksi, ditampilkan, digunakan, dan dipahami dalam konteks sosial tertentu.

 Hall dalam bukunya “Theory of Representation” menunjukkan tiga pendekatan terkait dengan bahasa sebagai media representasi, yaitu pendekatan reflektif (the reflective approach), pendekatan intensional (the intentional approach), dan pendekatan konstruktis (the contructionist approach).  Ketiga pendekatan tersebut digunakan untuk menjawab pertanyaan ‘dari mana suatu arti berasal dan bagaimana kita tahu makna sebenarnya dari sebuah kata atau gambar’. Ketiga pendekatan tersebut mengaitkan representasi dengan bahasa sebagai alat refleksi, tujuan penulis menggunakan bahasa, serta bahasa dalam kaitannya dengan masyarakat. Representasi dalam pendekatan konstruksionis menjelaskan bahwa suatu arti (meaning) diproduksi dengan menggunakan bahasa dan dipertukarkan oleh antar anggota kelompok dalam sebuah kebudayaan. Bahasa merupakan praktik simbolik dengan menggunakan berbagai konsep (concept) dan tanda (signs) yang dibangun oleh masyarakat pemakainya (Hall, 1997:25). Konstruksi makna dapat dibentuk masyarakat melalui bahasa sebagai system semiotic dan meluas sebagai system wacana.

Konsep artikulasi dalam Kajian Budaya dipakai dalam membuat teori tentang hubungan antar berbagai komponen formal sosial. Artikulasi menunjukkan berbagai pengekspresian/perepresentasian dan penempatan bersama. Misal, representasi gender dapat ditempatkan bersama dengan representasi ras, dengan cara yang khas dan serba tidak menentu, tidak dapat diprediksikan sebelum fakta ditemukan. Konsep artikulasi ini juga digunakan untuk melihat hubungan kebudayaan dengan ekonomi politik. Dengan demikian kebudayaan diartikulasikan lewat momen-momen produksi namun tidak ditentukan secara pasti oleh momen tersebut dan sebaliknya. Oleh karena itu dapat dieksplorasi bagaimana momen-momen produksi dituangkan dalam teks serta mengeksplorasi bagaimana yang ekonomis sekaligus bersifat cultural, yaitu menjadi serangkaian praktik yang penuh makna.

Kajian budaya didasari konsep hubungan antara kekuasaan dan budaya. Konsep kekuasaan dipandang terdapat pada setiap level hubungan sosial. Kekuasaan tak sekedar perekat yang menyatukan kehidupan sosial atau kekuasaan yang menekan dan menempatkan sekelompok orang di bawah orang lain, meskipun pada dasarnya memang demikian, karena kekuasaan juga merupakan proses yang membangun dan membuka jalan bagi adanya segala bentuk hubungan atau tatanan sosial. Meskipun benar-benar menghambat, kekuasaan juga melapangkan jalan. Kajian Budaya memberi tekanan perhatian secara khusus terhadap kelompok-kelompok pinggiran, pertama-tama karena soal kelas, ras, gender, kebangsaan, kelompok umur, dan lain-lain.


Konsep teks dalam Kajian Budaya bukan hanya mengacu pada kata-kata tertulis, meski ini ada adalah salah satu dari arti kata itu, melainkan segala praktik yang mengacu pada makna (ti signify). Ini termasuk pembentukan melalui berbagai citra, bunyi, objek dan aktivitas. Citra, bunyi, objek, dan praktik merupakan system tanda yang mengacu pada suatu makna dengan mekanisme yang sama pada bahasa, maka semua itu dapat disebut dengan teks kultural.

Makna yang diperoleh pembaca satu mungkin tidak sama dengan makna yang diperoleh pembaca lain. Teks sebagai bentuk representesi bersifat polisemis. Ia mengandung berbagai beragam kemungkinan makna yang harus disadari oleh pembaca actual yang member kehidupan pada kata-kata dan berbagai citra. Makna diproduksi dalam interaksi antara teks dan pembacanya sehingga momen konsumsi juga momen produksi yang penuh makna.

Perhatian utama kajian budaya adalah bagaimana menjadi satu pribadi, subjek, dan identitas, yaitu bagaimana kita mendeskripsikan diri terhadap orang lain. Identitas bukanlah sesuatu yang eksis, ia merupakan hasil konstruksi deskursif, produk diskursif atau cara bertutur yang terarah tentang dunia ini. Dengan kata lain, identitas itu dibentuk, diciptakan daripada ditemukan oleh representasi, terutama oleh bahasa . Kajian Budaya mengeksplorasi bagaimana kita menjadi sosok sebagaimana adanya sekarang, bagaimana kita diproduksi sebagai subjek dan bagaimana kita mengidentifikasi diri kita (atau secara emosional menamakan diri kita) dengan deskripsi sebgai lelaki atau perempuan, hitam atau putih, tua atau muda, dan sebagainya.

Penulis adalah Sastrawan Indonesia kelahiran Ngawi.

Share This Article