Mengapa Usulan Trump untuk ‘Membeli Gaza’ Menjadi Kontroversi Global?

Margo Teguh Sampurno
6 Min Read
Trump dalam Debat Capres AS: Ekonomi Terbaik, Tanpa Perang (Ilustrasi)
Trump dalam Debat Capres AS: Ekonomi Terbaik, Tanpa Perang (Ilustrasi)
- Advertisement -

jfid – Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali menjadi sorotan dunia setelah mengusulkan gagasan kontroversial untuk “membeli Gaza” dan menjadikannya proyek real estate besar.

Pernyataan ini memicu reaksi keras dari negara-negara Arab, Eropa, Kanada, Inggris, hingga komunitas internasional lainnya.

Gagasan ini tidak hanya dianggap melanggar prinsip hukum internasional tetapi juga merendahkan penderitaan rakyat Palestina yang telah lama berjuang untuk hak-hak mereka atas tanah air.

Dalam artikel ini, kita akan membahas alasan di balik kritik global terhadap gagasan Trump, serta dampak potensialnya terhadap stabilitas politik di Timur Tengah.

Ad imageAd image
Trump Menciptakan Optimisme Ekonomi dalam Debat Presiden Pertama (Ilustrasi)

Latar Belakang Gagasan Trump

Donald Trump, dalam pernyataannya kepada wartawan di pesawat Air Force One pada Ahad (9/2), menyebut Gaza sebagai “situs real estate besar.”

Ia mengklaim bahwa pengungsi Palestina lebih memilih tinggal di daerah yang lebih aman jika diberi alternatif selain Gaza.

Trump bahkan berencana untuk menugaskan negara-negara lain di Timur Tengah untuk membangun kembali Gaza, dengan Amerika Serikat sebagai pemimpin proyek tersebut.

Menurut Trump, “Sejauh yang kami lakukan untuk membangunnya kembali, kami mungkin akan memberikannya kepada negara-negara lain di Timur Tengah untuk membangun sebagiannya; orang lain mungkin melakukannya, melalui naungan kita.”

Namun, usulan ini bukan kali pertama dilontarkan Trump. Sebelumnya, ia juga mengusulkan agar Israel “memiliki” Gaza sebagai bagian dari solusi konflik Israel-Palestina. Namun, gagasan ini mendapat penolakan luas, termasuk dari warga Palestina sendiri.

Bagaimana Konsep “Membeli” Wilayah Bertentangan dengan Hukum Internasional?

Konsep “membeli” wilayah tertentu seperti Gaza bertentangan dengan prinsip dasar hukum internasional, khususnya terkait kedaulatan negara. Berikut adalah beberapa alasan utamanya:

  1. Pelanggaran Prinsip Kedaulatan Negara:
    Gaza secara historis dan politik diakui sebagai bagian dari Palestina. Hukum internasional melarang negara atau entitas asing “membeli” atau mencaplok wilayah negara lain tanpa persetujuan penuh dari pemerintah yang sah.
  2. Referensi pada Resolusi PBB:
    Resolusi PBB No. 242 (1967) dan No. 338 (1973) menegaskan hak rakyat Palestina atas wilayah mereka. Pengakuan internasional terhadap hak-hak Palestina atas tanah air mereka, termasuk Gaza, membuat gagasan Trump semakin tidak relevan.
  3. Kritik terhadap Pembersihan Etnis:
    Anggota Dewan Syura Saudi, Yousef bin Trad Al-Saadoun, mengecam kebijakan Trump sebagai “kejahatan terhadap kemanusiaan.” Dalam artikel yang diterbitkan di surat kabar Saudi Okaz, Al-Saadoun menyatakan:
    “Kebijakan luar negeri resmi Amerika Serikat adalah melakukan pendudukan ilegal atas tanah kedaulatan dan pembersihan etnis penduduknya—keduanya merupakan metode Israel dan merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.”

Mengapa Komentar Trump tentang Pengungsi Palestina Memicu Kemarahan?

Trump mengklaim bahwa pengungsi Palestina tidak ingin kembali ke Gaza jika ada alternatif tempat tinggal yang lebih aman. Pernyataan ini memicu kemarahan karena dianggap merendahkan penderitaan rakyat Palestina yang telah lama berjuang untuk kembali ke tanah air mereka.

  • Data Pendukung:
  • Korban jiwa di Gaza mencapai 48.189 orang (data terkini).
  • Lebih dari 20.000 warga Palestina terusir dari kamp pengungsi Jenin akibat konflik terbaru.

Pernyataan Trump juga bertentangan dengan fakta bahwa pengungsi Palestina di seluruh dunia (lebih dari 5 juta orang) memandang Gaza sebagai bagian integral dari identitas nasional mereka.

Seperti dikutip oleh Republika, Trump berkata:
“Jika kita bisa memberi mereka rumah di daerah yang lebih aman – satu-satunya alasan mereka ingin kembali ke Gaza adalah karena mereka tidak punya alternatif lain. Ketika mereka punya alternatif, mereka tidak ingin kembali ke Gaza.”

Tanggapan Global terhadap Gagasan Trump

  1. Negara-Negara Arab:
    Arab Saudi mengecam gagasan ini melalui pernyataan resmi Dewan Syura dan media lokal. Anggota Dewan Syura, Yousef bin Trad Al-Saadoun, menyarankan agar warga Israel dipindahkan ke Alaska dan Greenland sebagai “solusi alternatif.” Ia menyatakan:
    “Jika dia (Trump) benar-benar ingin menjadi pahlawan perdamaian dan mencapai stabilitas dan kemakmuran bagi Timur Tengah, dia harus merelokasi warga Israel yang ia cintai ke negara bagian Alaska dan kemudian ke Greenland—setelah mencaploknya.”
  2. Negara-Negara Barat:
    Eropa, Kanada, dan Inggris menolak gagasan ini karena bertentangan dengan prinsip hukum internasional.
  3. Media Israel:
    Media Israel menyebut gagasan ini sebagai “taktik licik Amerika-Israel” untuk mencaplok Gaza secara halus.

Dampak Potensial terhadap Stabilitas Politik di Timur Tengah

Gagasan Trump memiliki risiko serius bagi stabilitas politik di Timur Tengah:

  1. Eskalasi Ketegangan Regional:
    Hubungan antara Israel dan negara-negara Arab dapat memburuk akibat usulan ini, meskipun sebelumnya telah terjadi normalisasi hubungan melalui Perjanjian Abraham.
  2. Polarisasi Internal di Palestina:
    Gagasan ini dapat memperkeruh hubungan internal antara faksi-faksi Palestina (Hamas, Fatah, dll.) dalam merespons isu ini.
  3. Ancaman Terhadap Proses Perdamaian:
    Solusi dua negara, yang telah menjadi dasar pembicaraan damai selama puluhan tahun, terancam melemah jika gagasan ini diimplementasikan.

Kesimpulan

Usulan Trump untuk “membeli Gaza” tidak hanya bertentangan dengan hukum internasional tetapi juga memicu kemarahan global karena dianggap merendahkan penderitaan rakyat Palestina. Gagasan ini juga berpotensi mengancam stabilitas politik di Timur Tengah dan melemahkan proses perdamaian Israel-Palestina.

Solusi damai untuk konflik ini harus didasarkan pada dialog inklusif yang menghormati hak-hak manusia, bukan pendekatan unilateral yang mengabaikan prinsip-prinsip dasar hukum internasional.

- Advertisement -
Share This Article