jfid – Indonesia bisa mendapat untung dari krisis generasi muda Korea Selatan yang tengah mengalami penurunan angka kelahiran dan pertumbuhan populasi.
Hal ini disampaikan oleh beberapa ahli dan pejabat Korea Selatan dalam sebuah workshop yang digelar oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bekerja sama dengan Korea Foundation, pada Selasa (12/9/2023).
Menurut Professor and Head of Center for ASEAN-Indian Studies at the Institute of Foreign Affairs and National Security di Seoul, Choe Wongi, krisis generasi muda Korea Selatan adalah masalah besar yang tengah dihadapi negara tersebut.
Namun, dia mengatakan bahwa tantangan ini justru menghadirkan kesempatan baru bagi pekerja asing untuk datang ke Korea Selatan.
“Ada kesempatan besar untuk pertukaran pekerja antara Korea dan ASEAN,” ujarnya dalam workshop bertajuk “Connecting Cultures: Unveiling the Power of South Korea’s Public Diplomacy in Strengthening Seoul-Jakarta People-to-People Relations”.
Dia mencontohkan, banyak universitas di Korea Selatan yang menawarkan program vokasi. Hanya saja, rendahnya angka kelahiran membuat populasi generasi muda Korea tergerus.
Akibatnya, banyak kampus yang kesulitan mendapat mahasiswa baru. Di sinilah, kata Profesor Choe, kesempatan yang bisa dimanfaatkan Indonesia untuk masuk mengikuti program vokasi di Korea Selatan.
Adapun sektor kerja sama yang menjadi prioritas Korea Selatan saat ini antara lain energi terbarukan dan ekonomi digital. “Dan prospeknya juga sangat menjanjikan,” tambah Profesor Choe.
Dalam kesempatan yang sama, Jaeyeon Moon, jurnalis di Hankook Ilbo Media Group, menambahkan bahwa krisis generasi muda membuat masyarakat Korea bertransformasi menjadi digital society.
Semakin banyak teknologi Artificial Intelligence (AI) dimanfaatkan oleh industri manufaktur. Meski begitu, tetap saja, masih banyak sektor yang membutuhkan sentuhan manusia.
Karena itu, Moon juga setuju bahwa Korea dan Indonesia bisa mempererat relasi diplomatik mereka lewat pertukaran pekerja untuk program vokasi.
Kerjasama ini bisa menjadi solusi yang sama-sama menguntungkan untuk kedua negara.
Indonesia bisa mendapatkan transfer pengetahuan dan keterampilan dari Korea Selatan, sementara Korea Selatan bisa mendapatkan tenaga kerja yang berkualitas dan berpotensi dari Indonesia.
Selain itu, Indonesia juga bisa memanfaatkan pasar Korea Selatan yang besar dan berkembang untuk meningkatkan ekspor produk-produk unggulan seperti kopi, teh, rempah-rempah, tekstil, dan lain-lain.
Sebaliknya, Korea Selatan juga bisa memasarkan produk-produknya seperti elektronik, otomotif, kosmetik, dan hiburan ke Indonesia yang memiliki populasi besar dan konsumen potensial.
Indonesia dan Korea Selatan sudah menjalin hubungan diplomatik selama 50 tahun sejak 1973.
Kedua negara memiliki visi, nilai, dan keinginan untuk berkontribusi pada komunitas internasional sebagai kekuatan menengah yang sama. Kedua negara juga merupakan anggota dari G-20 dan APEC.
Dengan nilai US$27 miliar dalam perdagangan bilateral, Korea Selatan menjadi rekan dagang terbesar Indonesia keempat pada tahun 2012. Korea Selatan juga menjadi penanam modal asing terbesar ketiga di Indonesia, dengan nilai $1,94 miliar investasi.
Ada banyak perusahaan Korea Selatan yang menanam modal dan beroperasi di Indonesia seperti Miwon (Daesang Corporation), Lotte, Yong Ma, Hankook Tire, Samsung, LG, Kia Motors dan Hyundai.
Korea Selatan juga mendukung Indonesia dalam menuju visi Indonesia Emas 2045 yang dideklarasikan oleh Presiden Joko Widodo. Duta Besar Lee Sang-deok mengatakan bahwa Korea akan menjadi negara mitra optimal dalam mewujudkan visi tersebut.
Salah satu bentuk dukungan Korea Selatan adalah kerjasama dalam pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) baru di Kalimantan Timur, yang akan menggunakan teknologi ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Dengan demikian, krisis generasi muda Korea Selatan bisa jadi peluang emas bagi Indonesia untuk meningkatkan kerjasama dan kemitraan dengan negara tersebut di berbagai bidang. Hal ini tentu akan membawa manfaat bagi kedua negara dan rakyatnya.