Virus Korona dan Spekulasi Kebijakan Ekonomi 

Hendry Cahyono
9 Min Read

jfID – “Kapan serangan virus korona berakhir?” Pertanyaan yang sampai saat ini belum saya temukan jawabannya baik dari berita maupun analisa para ahli.

Jawaban atas pertanyaan tersebut sangat penting tidak hanya bagi dunia kesehatan tapi juga bagi perekonomian. Para pemangku kebijakan ekonomi baik fiskal atau moneter saat ini pasti bergulat untuk mengambil langkah cepat antisipasi perlambatan ekonomi yang diakibatkan karena dampak virus korona yg sudah menyebar ke segala penjuru dunia.

Tak terkecuali Indonesia, apalagi pada tanggal 2 maret 2020 secara resmi Presiden Joko Widodo mengumumkan dua warga Indonesia positif terkena virus korona. Gejala kepanikan pasar sebenarnya sudah mulai terasa sejak awal Februari 2020. Indikator awal dilihat dari menurunnya jumlah wisatawan asing yang berkunjung ke destinasi wisata utama seperti Bali.

Potensi kehilangan dua juta wisatawan asal Tiongkok yang berkunjung ke Indonesia tentunya akan memukul sektor pariwisata. Secara makro pendapatan negara dari sektor ini pasti akan menurun tahun ini. Padahal tahun 2019 pendapatan sektor wisata menjadi salah satu sektor yang menyumbang devisa cukup besar. Diperkirakan pada penghujung 2019 sektor wisata sudah meyumbang devisa sebayak 17,6 Milliar US dollar atau sekitar Rp. 246,4 Trilliun, mengalahkan hasil ekspor sawit maupun migas.

Akan tetapi 2020 bisa menjadi anti klimaks bagi sektor pariwisata apabila virus korona masih belum ada kejelasan kapan akan berakhir. Ketidakpastian bisa menjadi berkah sekaligus malapetaka bagi perekonomian. Soal kerentanan ekonomi yang mengandalkan sektor pariwisata sudah saya tulis di akhir 2019.

Revisi Asumsi Makro

Dalam menyusun APBN 2020 pemerintah telah menetapkan asumsi dasar ekonomi makro tahun 2020 dengan pertumbuhan ekonomi (yoy) sebesar 5,3%, inflasi (yoy) sebesar 3,1%. Nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat pada level Rp14.400 dan Suku Bunga SPN 3 bulan (yoy) sebesar 5,4%. Sedangkan target pembangunan 2020 dipredikasi dengan tingkat pengangguran sebesar 4,8-5,1%, tingkat kemiskinan berada pada 8,5-9,0%, indeks rasio Gini pada 0,375-0,380, dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) pada level 72,51.

Sebelum ada serangan korona asumsi tersebut masih dipercaya akan tercapai pada akhir 2020. Akan tetapi memasuki bulan Februari 2020 banyak ekonom mulai meragukan asumsi tersebut bisa tercapai dikarena ada guncangan (shock) yang disebabkan virus korona. Hal pertama yang bisa dilihat adalah menurunnya pendapatan devisa di triwulan pertama 2020 yang tidak sebesar 2019. Sehingga asumsi pertumbuhan 5,3% akan sulit tercapai. Jika menggunakan hitungan kasar akabita menurunnya pendaptan pertumbuhan akan jatuh diangka 4,5%.

Konsekuensi selanjutnya adalah peningkatan defisit APBN, dimana pada tahun 2019 diangka Rp.200 Trilliun bisa membengkak menjado Rp.300-400 Trilliun di penghujunh 2020. Langkah cepat memitigasi shock ekonomi harus segera dilakukan baik dari sisi fiskal dan moneter sehingga bauran kebijakan tersebut mampu melawan dampak negatif yang ditimbulkan virus korona bagi perekonomian nasional.

Pelampung Fiskal

Dalam kondisi shock seperti saat ini yang wajib dijaga oleh pemerintah adalah daya beli masyarakat jangan sampai permintaan agregat terjun bebas sehingga mengganggu sisi produksi domestik. Pemerintah tidak bisa juga terlalu bergantung pada konsumsi masyarakat, akselerasi belanja pemerintah baik belanja modal dan belanja rutin di kementrian dan lembaga (K/L) juga harus segera dilakukan.

Ada beberapa hal yang bisa ditindaklanjuti untuk mitigasi tersebut. Pertama, mempercepat realisasi kartu pra kerja yang menyasar dua juta 9enerima kartu pra kerja. di berbagai keterangan di media massa kartu Pra-Kerja yang akan dicetak secara digital berisi saldo sekitar Rp 3,650 juta sampai Rp 7,650 juta.

Tentu belanja kementrian tenaga kerja ini akan menjadi salah satu obat shock ekonomi. Mengutip dari tirto.id, terkait kartu pra kerja adapun teknisnya, biaya pelatihan sebesar Rp3.000.000 hingga Rp7.000.000 akan ditanggung pemerintah. Selepas pelatihan, peserta akan mengikuti ujian sertifikasi. Kemudian, usai memperoleh sertifikasi kompetensi, peserta dapat mengikuti uji kompetensi.

Program kartu pra-kerja menyediakan subsidi uji kompetensi dengan biaya sampai dengan Rp90.000. Selain itu, calon pekerja yang sudah mengikuti pelatihan akan mendapat insentif persiapan melamar pekerjaan sebesar Rp500.000. Jumlah belanja pemerintah yang tidak sedikit ini pasti akan menjadi angin segar dari sisi permintaan untuk menjaga konsumsi masyarakat

Kedua, insentif wisata. Khusus insentif wisata sebenarnya akhir februari kemarin pemerintah sudah memberikan insentif berupa penurunan harga tiket pesawat terbang ke daerah tujuan wisata. Namun demikian program ini juga harus diikuti oleh peningkatan belanja wisatawan setelah sampai di daerah tujuan wisata.

Maka dalam hal ini waktu tinggal wisatawan harus lebih dari satu hari, sehingga ada tenggat waktu lebih lama bagi wisatwan membelanjakan uangnya di tempat wisata. Untuk itu tidak menutup kemungkinan bagi pemerintah untuk juga menggandeng swasta dalam hal ini pengusaha hotel untuk ikut serta memberikan insentif wisata bagi wisatawan supaya memperpanjang waktu tinggalnya.

Ketiga, tambahan bantuan sosial bagi penerima Program Keluarga Harapan (PKH) pada tahun 2020 jumlahnya dipatok pemerintah sebesar Rp. 4,5 Trilliun. Bantuan PKH tersebut tentu akan menjadi pendapatan tambahan bagi belanja rumah tangga penerima program. Apalagi jika memperhitungkan puasa Ramadhan di pertengahan bulan april. Seperti biasa ada tren kenaikan belanja rumah tangga setiap bukan puasa Ramadhan. Jika belanja rumah tangga tidak dijaga maka tentu penurunan agregate demand akan terjadi dan berdampak pada sisi produksi.

Keempat, dari sisi penawaran pemerintah harus menjaga keberlangsungan aktivitas produksi dalam negeri. Tidak dipungkiri produksi domestik masih bergantung pada bahan baku yang berasal dari impor. Untuk itu izin impor yang berkaitan dengan bahan pangan yang belum bisa dipenuhi oleh produksi dalam negeri bisa segera dikeluarkan izin impornya tentunya juga dengan melalui proses verifikasi kesehatan yang sudah dinyatakan aman.

Selain itu, beberapa impor komponen pendukung dalam negeri juga harus dikeluarkan izinnya sehingga pasokan ouput di dalam negeri tidak terjadi kelangkaan yang bisa menyebabkan kenaikan harga akibat kelangkaan.

Kelima, insentif keringanan komponen biaya produksi bagi industri dalam negeri yang mampu menjadi suplier bagi pemenuhan kebutuhan domestik tanpa tergantung pada bahan baku impor khususnya dari negara endemi virus korona. Hal ini sekaligus bisa menjadi ajang promosi bagi produsen domestik yang selama ini tenggelam oleh produk impor dalam persaingan pasar.

Meredam kepanikan pasar memang bukan perkara yang mudah. Perlu mitigasi dan perencanan yang matang. Ketahanan perekonomian nasional dalam menghadapi goncangan eksternal memang sudah teruji mulai krisis ekonomi akibat subprime mortgage 2008 di Amerika, hingga krisis di Uni Eropa 2011.

Akibat goncangan eksternal tersebut menunjukkan kondisi perekonimian nasional masih relatif stabil meskipun ada kecenderungan perlambatan pertumbuhan ekonomi. Namun ketidakpastian kapan virus korona ini berhenti akan memberikan kesulitan bagi perumus kebijakan untuk mempredikasi kapan time lag puncak dari dampak tersebut akan terjadi. Ketika time lag masih kabur maka penentuan konter siklus dalam kurva siklus bisnis akan lebih bersifat spekulatif.

Kita berharap segera bisa mengetahui kapan virus korona ini bisa dihentikan, sehingga tidak menjadi penambah beban perekonomian nasional yang sudah terdampak perang dagang Amerika Serikat, China, dan Uni Eropa. Apalagi sejak tahun 2012 belum ada booming harga komoditas nasional di pasar internasional.


Penulis adalah Peneliti Pusat Studi Ekonomi Syariah, Publik dan Regional (PUSESPRI) dan Ketua Program Studi S1 Ekonomi Unesa

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article