Trilogi Lawak Mengguncang Istana

Holikin
By Holikin
7 Min Read
Holikin
Holikin

jfid – Sebentar, saya terpana ketika membacanya. Lucu, nyentrik, dan sarat makna. Sepintas, buku “Kumpulan Humour Gus Dur” mengingatkan saya pada Winston Churchill yang pernah bilang begini, “Humour itu sebuah keseriusan.”

Jenakanya, bikin saya tertawa sendiri. Terpingkal-pingkal. Terbahak-bahak. Dan untung saja saya tidak guling-guling dan jatuh gila.

Betapa humour cukup membawa keadaan seperti baik-baik saja, meski keadaan tidak dapat dibilang biasa-biasa saja.

Ya, saya terbawa suasana: menertawakan lelucon orang-orang sana. Malah, sayalah seperti lelucon itu.

Menertawakan diri sendiri adalah arah terang menuju perbaikan. Begitu sejenak jika kita pahami bahasa Gus Dur kala itu. Persis seperti Abu Nawas yang memberi kesan lucu di tengah-tengah alam politik yang semenjak lahir sarat ketegangan di wilayah Baghdad sana.

Politik tawa, begitu kata Indro Warkop. Sebagai komedian kawakan. Dirinya dkk, menendang pagar politik kawat jaman orde baru tempoe doeloe. Dan tak jarang, mendapatkan perlakuan yang tak terpuji dari politisi melalui tangan-tangan aparat pada zamannya.

Ya, humour sepintas hanyalah dagelan kosong. Namun, di sana ada gebrakan dahsyat yang tak boleh dibilang receh.

Serial kegilaan Abu Nawas. Atau misal, Gus Dur menabur tawa di setiap pidato politiknya, keduanya meski bertaut sekian jauh dalam masa yang berbeda, tak segan menghadirkan tawa di istana dengan kredonya masing-masing. Komedi Gus Dur, sampai-sampai Bill Clinton (mantan presiden Amerika) berkali-kali tertawa ulah lawak yang Gus Dur hadirkan tatkala keduanya bertemu di istana merdeka. Bahkan, anekdot humour Gus Dur soal tiga jenis polisi jujur di negeri ini yang akhir-akhir ini viral di jagad maya, memantik dagelan lucu yang direspons serius hingga prestisius.

Si Abu Nawas cukup cantik memainkan peran, dengan raja sebagai pemeran utama dan Abu Nawas sebagai sutradaranya. Berkali-kali Abu Nawas mempermalukan sang raja tanpa ada satupun hukum yang menjeratnya. Bagaimana dengan hukum negeri ini?

Fahri Hamzah, mantan anggota DPR-RI, pernah berujar begini di salah satu acara stand up comedi salah satu TV swasta, “Tertawakanlah penguasa sepuas-puasnya, pasti tidak akan tertangkap, karena tidak ada pasalnya…”

Ya, begitulah politik tawa mengajarkan kita beragam cara untuk sakit perut. Dan, keuntungan ganda yang kita dapat. Pertama, puas serta dapat awet muda, dan yang kedua aspirasi mudah sekali kita sampai ke telinganya.

Di Indonesia, siapa yang tak tahu film Warkop DKI (Dono,  Kasino, dan Indro). Tentu masih terngiang bahkan kentara di ingatan, betapa dagelan nyentrik “jangkrik, bos!” menjadi semacam alat menohok telinga rezim beringas orde baru.

Karenanya, lagi-lagi politik tawa menjadi mantra seru pengundang tawa. Humour, dan petikan konyol Abu Nawas sebenarnya adalah prabot politik etik menampar lelaku bejat para tuan di istana.

Serial ini sama dengan dongeng fabel Ibnu Muqaffa dalam Kalilah wa al-Dimnah-nya; menyerang dengan halus para politisi bulus melalui lakon-lakon hewani, semacam rubah, kera, dan serta kura-kura.

Dan sekarang menghadirkan orang-orang “gila” di pusaran senayan sampai pada setingkat desa rasanya perlu ada, bahkan fardu hukumnya. Perlu kembali menggema. Agar politik tak selalu serius, jumud, dan pasif memerankan peranan antagonis di balik topeng manis.

Maka, hal yang mengundang decak tawa dan derivasinya mesti bermain di sana. Sebab, seperti kata filosof yunani, “Menertawakan politisi itu wajib seperti lauk-pauk dalam menu makanan.”

Politik tawa, seraya tertawa kita tunjuk hidung sendiri. Bangsa inlander-kah kita?

Politik tawa, Abu Nawas memulainya. Sang kritikus jenaka itu menyentil sang raja dengan gelak tawa. Bersenjatakan humouriama. Memantik senyum di istana, dan dengan sadar sang raja menunjuk hidungnya sendiri. Lalu bergumam dalam hatinya, “Iya, iya!” Dia kemudian menyesalinya. Menyadarinya tanpa dengan terang-terangan menasehatinya.

Politik tawa, mari kita tunjuk hidung sendiri, seraya tertawa. Sekaligus menertawakan mereka yang tak mampu mengolah senyum rakyatnya.

Politik tawa. Iya, konstruktifitas kritik manakala tak mampu lagi mengiris dengan setajam kata. Setajam pena. Setajam gema-gema. Maka, tertawa misi terakhir kita.

Jaman dulu, sang rambut jambul Abu Nawas memulai. Era delapan puluhan Dono-Kasino-Indro (DKI) turut mencoba. Gus Dur sering mempraktekkannya. Semua tepat guna. Mereka menertawakan kondisi politik yang tak patut. Implikasinya, membuat mereka malu-malu berbuat sesuatu yang memalukan.

Politik tawa adalah sarana. Sarana mengkritik penguasa dengan tawa.

Politik Tawa, metode pedas sebuah kritik. Ketika yang lantang dituduh lancang, maka guyonanlah sarana menyerang. Gagasan itu yang mungkin Abu Nawas bawa hingga Gus Dur, sehingga menjadi magnet inspirasi hingga kini masa.

Gema politik tawa perlu kembali mengemuka. Mengajak semua untuk tertawa. Menertawakan elite politik yang jemawa. Menertawakan mereka yang tak jenaka. Yang gila baju dan mahkota. Tertawa sesuai masanya. Masa digital bisa melaui imoticon atau meme-meme lucu yang bijaksana. Seperti Abu Nawas yang pada masanya melalui pisang ajaibnya.

Suatu ketika Abu Nawas ditawarkan jabatan bergengsi di istana. Abu Nawas tidak berminat, dan sedang mencari cara agar sang raja menghentikan niatnya. Sesaat Abu Nawas mendengar kabar akan kedatangan raja ke rumahnya, Abu Nawas begegas mengambil sesuatu di dapur. Tanpa berpikir lama, Abu Nawas mengambil sepotong buah pisang di meja makan dan berlagak gila dengan mengajak pisang menjadi lawan bicara.

Menyaksikan kondisi Abu Nawas yang tak wajar, raja bertanya pada pengawalnya perihal Abu Nawas yang ada di depannya. Si pengawal berujar singkat, “kemungkinan dia gila, Paduka!” Kemudian, raja pergi berlalu dari rumah Abu Nawas dan benar-benar mengurungkan niatnya.

Holikin, S.Pd.I lahir di Desa Pulau Mandangin Sampang pada 9 Nopember 1986. Karya-karyanya banyak dimuat di media cetak maupun elektronik.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article