Tingwe

Heru Harjo Hutomo
6 Min Read
"Tingwe," 60x100 cm, kapur di atas papan, Heru Harjo Hutomo, 2020
"Tingwe," 60x100 cm, kapur di atas papan, Heru Harjo Hutomo, 2020

jfid – Se-tampang tembakau pada dasarnya dapat digunakan untuk menghitung hari. Di pedesaan, lazimnya orang-orang tua menentukan hari berdasarkan hari pasarannya yang terdiri dari 5 pasaran: Pon, Wage, Kliwon, Legi, dan Pahing. Se-tampang tembakau biasanya dapat digunakan untuk merokok selama sepasar atau 5 hari bagi perokok aktif. Jadi, ketika seseorang membeli tembakau di pasar pada hari Pon, maka pada hari Pon berikutnya ia akan pergi ke pasar lagi untuk berbelanja tembakau.

Tanpa kita sadari perekonomian rupanya dapat ditentukan oleh adanya hari pasaran. Sebab, pada hari-hari itulah pasar digelar. Ada pasar Pon, pasar Wage, pasar Kliwon, dst. Hari pasaran ini seolah lebih pokok dari pada hari-hari biasanya yang terdiri dari 7 hari yang kerap disebut sebagai seminggu atau sepekan: Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at, Sabtu, dan Minggu. Pada kepercayaan orang-orang Jawa, keberuntungan dan naas dipercaya dapat diantisipasi berdasarkan hari pasaran ini. Istilah “nagadina” merupakan rumus dalam mencari keberuntungan, baik ekonomi, politik, dst. Seumpamanya, pada peristiwa pemilihan politik, seorang kandidat mesti melakoni syarat-syarat tertentu berdasarkan watak hari: berangkat dari Timur, duduk di sebelah Barat, dst.

Membeli tembakau, karena itu, seperti lebih banyak memiliki nilai historis dan kultural daripada membeli rokok jadi. Orang-orang tua di pedesaan sampai hari ini umumnya masih membuat rokok sendiri dengan bahan tembakau lokal, cengkeh, sek (kertas pembungkus rokok), dan terkadang kemenyan yang dirasa lebih berpengaruh pada syaraf. Prosesi membuat rokok sendiri ini dikenal dengan istilah “tingwe” yang berarti nglinting dhewe (membuat rokok sendiri).

Secara historis dan kultural pada dasarnya tradisi tingwe seolah menjadi budaya tandingan atas sistem kapitalisme atau sistem apapun yang berupaya mencerabut otonomi diri. Para praktisi tingwe seolah tak puas atas standarisasi selera yang dihasilkan oleh rokok pabrikan. Dengan membuat rokok sendiri, takaran menjadi subjektif, dimana otonomi rasa kita benar-benar tegak tanpa campur tangan pihak lain—seolah-olah kita menjadi diri kita sendiri. Bukankah tanda kedewasaan adalah saat kita benar-benar memiliki otonomi diri?

Istilah “dhewe” pada akhirnya memiliki makna yang agung (“Dhewek” dan Teologi Ketakmanjaan Jawa, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id). Bayangkan bagaimana seandainya kita dapat membuat apapun secara sendiri alias mandiri. Kita menanam sendiri, memanen sendiri, memakan sendiri hasil tanaman yang kita tanam sendiri, apa yang bakal terjadi? Berbagai sistem global yang dirasa menindas dan tak menguntungkan kita selama ini akan kacau.

Dengan demikian istilah “dhewe” pada tradisi “tingwe” secara simbolik merupakan sebentuk pernyataan otonomi diri, untuk tak mau menjadi orang-orang manja alias mandiri. Dalam khazanah budaya Jawa “mandiri” merupakan singkatan dari “mandireng pribadi,” berkuasa atas diri sendiri. Secara kultural kebesaran seseorang adalah ketika orang itu benar-benar mandiri, berkuasa penuh atas dirinya sendiri, tak diatur-atur oleh pihak lain. Tapi selalu saja kemandirian menjadi momok bagi sebentuk kemapanan tertentu. Bukankah jutaan nyawa pernah melayang hanya karena menginginkan kemandirian: revolusi kemerdekaan Indonesia, India, Tiongkok, dst.? Ketika kita tak lagi hidup di masa penjajahan, lantas pada sistem apakah kita masih sering dicibir “kecil” alias “anak-anak”?

Saya kira ada begitu banyak sistem yang mengerdilkan kita sebagai manusia di hari ini: radikalisme keagamaan yang bersifat mau menang sendiri atau “masturbasif,” nativisme yang utun dan kuper alias anti-kosmopolitanisme, khilafah islamiyah yang seolah memaksa kita untuk berjenggot dan bercadar selaiknya di masa nabi dalam bayangan mereka, populisme keagamaan yang berani wirang karena dijalankan oleh orang-orang yang benar-benar tak paham agama dan tak hidup dalam prinsip-prinsip keagamaan sebagaimana yang diklaim, populisme sekular atau “nasionalisme masturbasif” yang seolah putih dari kriminalitas dan pengangkangan hak yang telah juga dijamin oleh Pancasila dan UUD ’45, sekularisme total yang bodoh yang seolah menafikan peran agama dalam semua lini kehidupan, liberalisme kebablasan yang asam pada prinsip autochthony, kepemimpinan regresif yang bertentangan dengan UUD ’45 atau secara khusus azas rekognisi dan subsidiaritas yang jelas terpampang pada UU Desa, sektarianisme keagamaan yang bau diskriminatifnya begitu kuat menyengat, kerajaan spiritual yang seolah kekuasaannya melebihi kekuasaan pemerintah formal, gerakan-gerakan oplosan yang terang mengalami kebingungan ideologis, elitisme yang senantiasa ingkar janji, hegemoni yang menindas dan membenamkan dalam diam, serta budaya kepengecutan untuk melawan dominasi dan ketakadilan agar diberi ruang dan jatah kekuasaan.

Atas semua itu, pada akhirnya, pada tradisi tingwe kita mesti belajar untuk mengacaukan sistem yang selama ini terbukti mengerdilkan dan membenamkan segala potensi yang kita memiliki.

(Heru Harjo Hutomo: penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article