Tempik Sorak

Heru Harjo Hutomo
3 Min Read
"Jadzb," 90x100 cm, kapur di atas papan, Heru Harjo Hutomo, 2020.
"Jadzb," 90x100 cm, kapur di atas papan, Heru Harjo Hutomo, 2020.

jfid – Konon, dalam tarekat Naqsyabandiyah, terdapat sebuah kepercayaan untuk tak bertempiksorak saat menerima sebuah ketertarikan. Para guru mereka di masa lalu menganjurkan untuk mengalami ekstase dalam diam. Karena itulah dalam tarekat yang menisbahkan namanya pada seorang sufi kaya ini, Syekh Baha’uddin al-Naqsyaband, dzikir khafi lebih diutamakan daripada dzikir jahri.


Barangkali, karakteristik ini seturut dengan pribadi Syekh Baha’uddin yang konon, menurut Syekh Amin al-Kurdi, lebih mengutamakan penarikan terlebih dahulu daripada suluk pada para muridnya. Atau juga, dalam prinsip prinsip ketarekatan mereka, tak mengakibatkan ketakselarasan dalam kehidupan sosial. Prinsip ini dikenal sebagai “khalwat dar anjuman” dimana oleh orang-orang Jawa disepadankan dengan istilah “tapa ngrame.” Bukankah akan terasa menggelikan ketika di sebuah ruang publik kemudian seorang salik bertempiksorak tanpa sebab yang jelas?


Tempik sorak terkadang dilakukan oleh orang yang tengah terpesona akan sesuatu sehingga lupa akan diri mereka sendiri dan ruang yang mengitarinya. Seumpamanya ketika melihat seorang bintang Korea yang selama ini kerap menemani waktu senggangnya. Tentu akan muncul sebuah ketertarikan yang membuatnya belingsatan tak karuan sehingga lupa yang mana Utara dan yang mana Selatan. Tempik sorak juga tak selamanya disebabkan oleh sesuatu yang menyenangkan. Adakalnya ia juga merupakan sebentuk amarah yang membuncah, seperti pada kasus tertangkapnya seorang begal ataupun seorang yang dianggap sebagai penjahat publik.


Tapi tak selamanya pula pilihan untuk tak bertempiksorak tepat bagi segala keadaaan, bahkan ketika dalam kondisi ekstasis sekalipun. Pada tarekat Rifa’iyah, Samaniyah maupun Mawlawiyah—atau tarekat-tarekat yang secara sufistik condong ke madzab Khurasan—, tempik sorak justru adalah sebuah sarana yang menyebabkan sampainya pada tujuan.

Setidaknya inilah yang diyakini oleh salah satu guru sekaligus sahabat Rumi, Shams-i Tabrizi.


“Mereka berkata, ‘Kau telah memberikan citra yang buruk pada para ulama dengan sema’.


Aku pun menyahut, ‘Tak tahukah kau bahwa tanpanya keburukan dan kebaikan, kekafiran dan kemusliman tak memuwujud?’


Mereka berkata lagi, ‘Kau mencapai Tuhan dengan berjingkrakan.’


‘Kau mencoba berjingkrakan juga, dan kau akan mencapai Tuhan. Dua langkah dan kemudian sampai.’”


Tempik sorak, menurut Shams-i Tabrizi dalam otobiografinya itu, Me & Rumi: The Autobiography of Shams-i Tabrizi (2004), adalah laiknya semangkok soto pada perut yang lapar dimana kenyang kemudian akan dapat dipahami.


Demikianlah, seperti kilah para Mbok Bakul Sambewara di pasar, terkadang orang memang perlu untuk bertanya pada yang membuat merahnya atau hijaunya cabe atas banyaknya jalan ataupun pilihan dalam kehidupan ini.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article