Tahun Baru di Mata Penyair

Tjahjono Widarmanto
8 Min Read
WS Rendra membaca puisi (arsip balairung)
WS Rendra membaca puisi (arsip balairung)

jfid – Sastra merupakan strukturasi dan ekspresi pengalaman. Itu berarti setiap karya sastra merupakan upaya membagi pengalaman sastrawan dengan pembacanya. Yang dimaksud pengalaman dalam proses kreatif sastra mengacu pada dua hal yaitu pengalaman realita yaitu bagaimana satrawan dalam menghayati realita dan pengalaman puitik dan bagaimana penghayatan kreatif atas pengalaman realita tersebut.

Sastra memang tak mungkin diceraikan dari realitas. Sastra lahir sebagai karya kreatif yang muncul sebagai pengalaman putik saat sastrawan kuyup dalam realitas di sekelilingnya. Oleh karena itu sastra apapun genrenya selalu menyiratkan budaya, fenomena, kenyataan, peradaban yang mengelilingi sastrawan penciptanya. Pendek kata setiap teks sastra merupakan perwujudan atau hasil dari pengaruh timbal balik, refleksi, pandangan sastrawan atas berbagai situasi, keadaan, dan fenomena sosial dan kultural.


Dalam genre puisi, penghayatan atas pengalaman itu dibagi kembali kepada para pembaca melalui citraan atau imaji. Pengalaman tersebut dilahirkan kembali dengan kreatif melalui berbagai imaji atau citraan dan diramu dengan kekuatan intrinsik puisi lainnya. Maka pengalaman itu dibagi kembali dalam wujud yang lain yaitu estetika puisi.


Tema-tema dalam puisi selalu bermula dari berbagai fenomena, kenyataan dan persoalan yang dihadapi penyairnya. Fenomena, kenyataan, dan persoalan itu bisa konkrit ataupun bisa sangat abstrak bahkan absurd. Fenomena-fenomena abstrak itu antara lain persoalan kematian, cinta, derita, waktu, dan sebagainya. Adapun fenomena-fenomena konkrit bisa berupa kemiskinan, ketakutan, peperangan, kelaparan, penindasan, dan lain sebagainya.


Fenomena-fenomena itulah (baik yang abstrak maupun konkret) dikatakan oleh Mary Louise Pratt sebagai peristiwa ujaran yang bergantung pada konteksnya (context dependent speech event). Hal ini menegaskan bahwa Sastra merupakan peristiwa ujaran yang bergantung pada konteksnya. Itu berarti menunjukkan bahwa untuk memahami sastra perlu dikuasai dua hal yaitu konvensi sosial dan konvensi bahasa sastra.


Dari sekian tema-tema puisi, tema berkait waktu banyak merangsang para penyair. Waktu menjadi daya tarik yang hebat bagi penyair. Bahkan waktu menjadi persoalan paling misteri dalam anggapan penyair. Waktu di sini tidak sekedar merujuk pada makna denotatif namun harus dimaknai sebagai waktu alam yang tanpa batas.


Tak heran waktu memiliki daya pukau tersendiri bagi para penyair. Filosof Martin Heidegger bahkan mengatakan bahwa dimensi dasar eksistensi manusia adalah waktu. Terminologi fenomenologi disebutkan bahwa waktu identik dengan hal mengada dan mengacu pada bentangan sudah, sekarang, dan nanti. Waktu tak hanya berhenti pada arti sebagai batas antara “sudah” dan “nanti” melainkan lebih menukik ke kedalaman aktualitas dan keabadian.


Begitu pentingnya waktu bagi manusia tampak pada bagaimana mereka dalam perilaku sosial dan budaya selalu merayakan waktu.

Masyarakat tradisional dan masyarakat modern memiliki kecenderungan merayakan waktu, walau dengan cara berbeda bahkan bertolak belakang. Masyarakat tradisi merayakan waktu dengan cara yang mistis, penuh ritual dalam menyongsong pergantian tahun. Adapun masyarakat modern merayakan pergantian waktu di tahun baru dengan tradisi pesta.


Lalu bagaimanakah para penyair dalam menghikmat waktu di pergantian tahun?
Tentu saja para penyair memiliki beragam cara dalam menghayati pergantian waktu. Rendra melalui puisinya Justru Pada Akhir Tahun mengungkapkan bahwa di saat pergantian tahun, maka manusia justru beringsut menuju peti matinya dan tak akan mampu menangis lagi. Justru di pergantian tahun, manusia akan didera rasa takut dan merasakan kehilangan. Rasa takut dan rasa kehilangan itu akan menjadikan diri manusia asing pada dirinya dan hidupnya sendiri:


Justru Pada Akhir Tahun
Bermukimlah di peti mati dan jangan menangis lagi
aku terpaksa berkhianat dan cintamu jadi saksi
keengganan -kehilangan jadi ketakutan bangsawan
sangsi yang ini mendorong ingin punya segala
dan jadilah hatiku asing pada pangkalan dan persinggahan.

Berbeda dengan puisi di atas, Suminto A Sayuti dalam puisinya Persinggahan Akhir Tahun mengungkapkan bahwa di penghujung tahun akan meninggalkan sebuah kenangan abadi. Manusia akan merasa berat meninggalkan kenangan itu. Kenangan-kenangan itu akan menyisakan renungan apa sebenarnya waktu lampau dan kini. Kenangan itu akan membangkitkan sebuah duka seperti saat Adam meninggalkan sorga. Mari dinikmati puisi tersebut:


Persinggahan Akhir Tahun
Musim penghujan di penghujung tahun. Di dalam2
cuaca dingin, cahaya berbaring memejamkan mata
di bibir jendela. Hari-hari kemarin seakan abadi
sehabis menikmati berlusin pelancongan yang sepi

Laut yang tak tidur, dengkurnya hingga di sini
di beranda kamar, pelancong menimang hati kosong
dengan setumpuk alasan buat menunda saat perpisahan
tapi masihkah tersiksa makna: sebuah keisengan penuh sangsi?
Di hatimu dulu dan kini?
Kita pun paham:pelancongan bumi tak bakal abadi
Tapi kuingin sebuah pengakuan sambil kuhirup
Kunia-asam kesangsianmu. Tak Terperi,
Sampai di dasar hatimukahduka Adam yang kuyup?
(1988, taman Sari)


Warih Wisasana dalam puisi Terompet Tahun Baru menghikmati pergantian tahun sebagai sesuatu yang menggembirakan sekaligus kedukaan. Tahun baru menjadikan dirinya kembali seperti kanak-kanak yang optimis memandang dunia dengan segala harapan;

…/terompet akhir tahun/tiup, tiuplah lembut/dengan napas kasihmu// di jalan/di taman-taman/walau tak punya sayap/bayangkan anak-anak terbang terbang riang/seperti akhir tahun lalu/mereka terjun ke kolam/jadi ikan/mengejar bulan/yang sendiri sembunyi/di lenggang ganggang…../


Acep Zam-zam Noer melihat pergantian tahun sebagai bayangan hitam yang menakutkan. Pergantian tahun baginya justru sepi yang menakutkan:

…/ditulisnya dengan gentar/waktu yang sehitam dedak kopi di gelasmu itu/adalah sepi//tahun tahun merayap pelan/dari hutan yang terbakar jauh di selatan/kau tahu, detik masih akan terus berbunyi/pada weker/menit dan jam akan beranjak pergi/sedang itu kenangan berjumpalitan/seperti burung asing/pada segaris ranting/asap akan terus mengepul/dari tumpukan arang hitam dan sisa api/kau tahu, waktu yang sehitam dedak kopi itu/adalah sepi yang menyelami kisah cintanya sendiri//sepi yang terus berdetak pada arloji.pada jam besar/yang gemetar di dinding lengang hati//.


Puisi memang sebuah persetubuhan antara realitas dan ekspresi jiwamu. Penghayatan terhadap pengalaman realitas bisa menghadirkan ekspresi emosi yang bisa dibagi pada pembacanya. Pun pembaca setelahnya akan mendapatkan pengalaman rasa dan jiwa yang baru. Waktu sebagai realitas yang berkecamuk dengan penyair memang sanggup menghasilkan petualang jiwamu yang personal yang bisa dibagi pada khalayak pembacanya.

Melalui puisi akan banyak melahirkan berbagai rasa dalam menghukumi waktu. Setidaknya berbagi bagaimana melakukan solulokui untuk memaknai perjalanan hidup!


Penulis adalah penyair dan guru yang tinggal di Ngawi.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article