jf
  • Arta
  • Siasat
  • Tahta
  • Sasana
  • Histori
  • Rupa-Rupa
  • Flash
  • Kolumnis
  • Warta
    • Advertorial
    • Birokrasi
    • Budaya
    • Hukum dan Kriminal
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Peristiwa
    • Politik
    • Profil
    • Surat Publik
    • Wisata
No Result
View All Result
Nulis
jf.
  • Arta
  • Siasat
  • Tahta
  • Sasana
  • Histori
  • Rupa-Rupa
  • Flash
  • Kolumnis
  • Warta
    • Advertorial
    • Birokrasi
    • Budaya
    • Hukum dan Kriminal
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Peristiwa
    • Politik
    • Profil
    • Surat Publik
    • Wisata
jf.
Menulis
  • Arta
  • Siasat
  • Tahta
  • Sasana
  • Histori
  • Rupa-Rupa
  • Flash
  • Kolumnis
  • Warta
Home Warta Budaya

Semar dan Paradigma Autochthony

by Heru Harjo Hutomo
07/11/2020
in Budaya, Kolumnis
Reading Time: 9 mins read
2.2k
A A
0
"Autochthony" 60x90 cm, akrilik di atas kanvas (Heru Harjo Hutomo, 2017)

"Autochthony" 60x90 cm, akrilik di atas kanvas (Heru Harjo Hutomo, 2017)

Share on FacebookShare on Twitter

jfID – Dalam Serat Pustaka Raja Purwa gubahan Ronggawarsita, Semar adalah keturunan ke-7 dari Nabi Adam. Ia berasal dari jalur pangiwa: Nabi Adam (Sang Hyang Adhama), Nabi Syits (Sang Hyang Sita), Sayyid Anwar (Sang Hyang Nurcahya) dan Sayyid Anwas (Ainusy), Sang Hyang Tunggal, Sang Hyang Wenang, dan Sang Hyang Ismaya. Galur pangiwa dan panengen dalam tradisi wayang bermula dari anak-anak Nabi Syits atau dalam bahasa Jawa dikenal dengan nama Sang Hyang Sita: Sayyid Anwar dan Sayyid Anwas.

Sayyid Anwar kelak disebut sebagai Sang Hyang Nurcahya yang menurunkan galur pangiwa: Sang Hyang Tunggal, Sang Hyang Wenang, tiga serangkai Sang Hyang Antaga-Sang Hyang Ismaya-Sang Hyang Manikmaya yang menurunkan 9 dewa di mana dua di antaranya besanan, Sang Hyang Brama yang menurunkan Bambang Bremani dan Sang Hyang Wisnu yang menurunkan Sri Unon, Parikenan, Rsi Manumayasa, Sakutrem, Sakri, Begawan Palasara, Abiyasa, Pandudewanata, Pandawa, Abimanyu, Parikesit, Bambang Yudayana, Gendrayana, Janamejaya (akhir wayang purwa), Sri Aji Jayabaya di Kediri (awal wayang madya), zaman walisongo (wayang wasana), sampai raja-raja Jawa sekarang.

Baca Juga

No Content Available

Sementara Sayyid Anwas (Ainusy) menurunkan galur panengen, yakni para nabi dan rasul di jazirah Arab sampai Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad serta para keturunannya. Seandainya mendasarkan diri pada Serat Pustaka Raja Purwa, maka orang-orang nusantara adalah lebih tua daripada orang-orang Arab (galur panengen). Sebab, Sayyid Anwar atau Sang Hyang Nurcahya adalah kakak dari Sayyid Anwas (Ainusy), penurun para nabi dan rasul di jazirah Arab.

Dengan demikian tepat pula pendapat yang mengatakan bahwa istilah wayang di hari ini berasal dari sitilah “Ma Hyang” di mana ma merupakan kata kerja aktif dan Hyang yang berarti leluhur. Sehingga dalam perspektif ini, orang yang sedang nanggap dan menonton pertunjukan wayang sama dengan muri leluhur atau tak sekedar mengenang para leluhurnya (khol ataupun nguri leluhur), tapi menghidupi kembali atau hidup bersama leluhur. Konsep Hyang atau eyang dalam bahasa sekarang, secara antropologis, pada akhirnya melahirkan konsep Da Hyang atau Danyang, pemilik dan penunggu spiritual sebuah wilayah. Dari konsep Da Hyang inilah untuk kemudian Semar dapat dikenali jejer atau peran dan fungsinya. Sebab, ia kerap pula disebut sebagai Sang Hyang Ismaya atau Da Hyang Semar di mana, yang barangkali pada masa walisongo, ia dimaknai sebagai “ismarun” yang berarti paku.

Dengan beranjak dari figur dan filosofi Semar inilah saya kira konsep autochthony acap dilupakan ketika orang ingin membangun atau menerapkan berbagai pemikiran dan kebijakan terkait dengan hajat hidup orang banyak, entah pada bidang politik, ekonomi maupun agama. Alhasil, ketika pemikiran dan kebijakan itu ditempuh akan mendapatkan reaksi yang keras karena masyarakat asing dengan pemikiran dan kebijakan tersebut.

Advertisement. Scroll to continue reading.
Order Order Order

Reaksi yang berlebihan atas sebuah pemikiran dan kebijakan sebenarnya dapat pula dipicu oleh asingnya pemikiran dan kebijakan tersebut dalam sebuah masyarakat. Di sinilah akhirnya kita perlu mengetahui tentang konsep autochthony sehingga berbagai pemikiran dan kebijakan yang ada tak “masturbasif” atau mental tertolak karena tak membumi.

Kisah-kisah sejarah tentang gagalnya paham komunisme, liberalisme, dan Islam radikal di nusantara adalah sebuah contoh bagus perihal konsep autochthony yang kerap dilupakan. Karena paham-paham itu tak memiliki akar sejarah dan kultural di nusantara. Sekalipun seandainya pemikiran dan kebijakan itu berhasil diterapkan pada sebuah masyarakat, maka dapat dipastikan bahwa umurnya tak akan lama. Ibarat membangun sebuah rumah tanpa fondasi, akan mudahnya angin ataupun badai menggoyahkan dan merubuhkannya. Di sinilah kenapa berkali-kali Pancasila tak mudah untuk di rubuhkan, karena ia adalah bagian dari autochthony bangsa nusantara.

Saya tak melihat Pancasila sebagai sebuah ideologi di sini, sebab ia hanya sebuah contoh dari konsep autochthony. Taruhlah sila I Pancasila, “Ketuhanan yang Maha Esa.” Prinsip ini secara kultural adalah sebuah prinsip yang lahir dari rahim kebudayaan nusantara sendiri. Tanpa, katakanlah, orang Islam mengenalkan konsep tauhid, atau orang Hindu dan Katolik mengenalkan konsep Trimurti dan Trinitas, secara kultural orang-orang nusantara sudah hidup dengan prinsip tersebut. Bukankah kebudayaan-kebudayaan warisan masa silam kental dengan nuansa dan suasana keesaan itu: bangunan-bangunan candi yang bentuk arsitekturalnya mengerucut laiknya tumpeng, keris, konsep jagat gedhe (makrokosmos) yang merupakan cerminan jagat cilik (manusia) yang mendasari pola bebrayan (kehidupan bermasyarakat) dan pola pertanian tradisional, labuhan, seni wayang, karawitan, konsep dan praktik pengantin serta pernikahan tradisional, dst.? Karena itulah kenapa ketika autochthony ini berusaha dilenyapkan—atau dalam kacamata agama-agama puritan yang notabene bersifat transnasional dihakimi sebagai sebentuk TBC (takhayul, bid’ah, churafat), dari kacamata marxisme didamik sebagai warisan feodalisme, dan dari kacamata liberalisme dituding sebagai sebentuk konservatisme—akan mendapatkan reaksi yang sangat keras, atau kalau tak demikian, membuat paham-paham yang berasal dari luar tersebut hanya sanggup hidup seumur jagung dan tak mudah untuk berkembang-biak.

Ibarat sebuah tanaman yang lazimnya tumbuh di padang pasir atau tanah bersalju tentu sekalipun tumbuh di tanah nusantara tak akan tumbuh secara sempurna, karena jelas bukan tempat aslinya untuk berpijak dan berkembang-biak. Dalam hal inilah barangkali terdapat berbagai ungkapan keseharian yang menyiratkan ketakserasian antara sesuatu dengan tempatnya: “londo Jawa” untuk menyebut orang-orang lokal yang berambut pirang, “yamadipati” untuk menyebut orang-orang lokal yang berbusana dan bertampang seperti orang Yaman, dst.

Autochthony pada dasarnya memang berhubungan dengan sesuatu yang sesuai atau serasi dengan tempatnya. Ibarat pohon beringin yang akan pas dipandang ketika tumbuh menjulang di alon-alon kota-kota di Jawa, dan tak akan pas atau asing dipandang ketika tumbuh di halaman gedung pentagon. Di sinilah kemudian istilah indigenous diturunkan di mana oleh Martin Heidegger disepadankan dengan istilah “Bodenstandigkeit” yang ketika dilupakan akan menyebabkan dekadensi budaya dan kerapuhan masyarakat (Politik Tanpa Bermain Catur, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id). Dapat dibayangkan bagaimana sebuah masyarakat berdiri tanpa akar, tanpa kerangka, tanpa paku.

Untuk itulah kenapa pada dekade 80-an, seumpamanya, Abdurrahman Wahid mencetuskan istilah “pribumisasi Islam” atau beberapa dekade kemudian banyak intelektual nahdliyin menggagas pula tipologi Islam nusantara. Semua ini adalah dalam rangka menggunakan paradigma autochthony tersebut. Dengan demikian, menjadi gamblang kenapa oleh walisongo Semar dimaknai sebagai “ismarun.” Ia adalah pakubumi, sebuah paradigma yang akan membuat berbagai hal tak asing dan dapat menancap kuat di atas Bumi sehingga tak mudah goyah dan bahkan rubuh ketika diterjang badai.

(Heru Harjo Hutomo/ penuliskolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)      

Share3687Tweet2305Pin831

Dapatkan pembaruan langsung di perangkat Anda, berlangganan sekarang.

Unsubscribe

Pos Terkait

Eksploitasi dan Perdagangan Manusia

2 hari ago
10.1k

jfid - "Lika liku peradaban masyarakat Arab memunculkan kajian, riset sekaligus pemicu regulasi seluruh dunia...

Sri Cicik Handayani, Mahasiswi Institut Seni Indonesia Surakarta (foto: jurnalfaktual.id)

Para Seniman Muda Bicara Keseriusan Disbudporapar Sumenep

1 bulan ago
10.1k

jfid - Para Seniman muda bersuara soal keseriusan Dinas Kebudayaan, Pemuda, Olahraga, dan Parawisata (Disbudporapar)...

Perang Rusia-Ukraina (foto: istimewa)

Menyoal Kecongkaan dan Hegemoni Barat atas Invasi Rusia terhadap Ukraina

3 bulan ago
10.1k

jfid - PERANG Rusia-Ukraina meletus (Kamis, 24/2/22). Dunia terkejut dan kalang kabut. Betapa tidak, dua...

Warga Desa Wadas/Foto: ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah

Masih Tentang Wadas

3 bulan ago
10.1k

jfid - Wadas mengusik nurani banyak orang. Mulai mahasiswa, aktivis, ilmuwan, akademisi sampai para pemuka...

Load More
Next Post
Ilustrasi kampanye disinformasi lewat internet | Gerd Altmann /Pixabay

Kecerdasan Buatan dan Kerja di Era Digital

Leave Comment
ADVERTISEMENT

Recommended

Pancasila Lahir Sebagai Ruh Konstitusi dan Jiwa Kebangsaan

05/28/2020
10.4k
Gubernur Jatim dan Lantamal V Tutup Kegiatan Program RTLH 2019, Ini Jumlahnya

Gubernur Jatim dan Lantamal V Tutup Kegiatan Program RTLH 2019, Ini Jumlahnya

12/29/2019
10.1k

Popular Story

  • Lukisan wajah Bupati Sumenep Achmad Fauzi (foto: jurnalfaktual.id)

    Apakabar Bupati Fauzi? Kemana Wabup Eva?

    9659 shares
    Share 3864 Tweet 2415
  • Eksploitasi dan Perdagangan Manusia

    9219 shares
    Share 3688 Tweet 2305
  • Bersama MGPM IPA Sumenep, Prodi IPA UTM Madura Tingkatkan Kompetensi Mengajar Melalui Pendekatan STEM

    9109 shares
    Share 3644 Tweet 2277
  • New Historicism Sebagai Sebuah Kajian Sastra

    9342 shares
    Share 3737 Tweet 2336
  • Nomenklatur Kemenangan, 2024 Ganti Bupati Sumenep

    9306 shares
    Share 3722 Tweet 2327
Jurnal Faktual

© 2022

Informasi

  • Pedoman
  • Redaksi
  • Periklanan
  • Privacy Policy
  • Tentang
  • Saran Translate

Terhubung

  • Login
  • Sign Up
No Result
View All Result
  • Arta
  • Siasat
  • Tahta
  • Sasana
  • Histori
  • Rupa-Rupa
  • Flash
  • Kolumnis
  • Warta
    • Advertorial
    • Birokrasi
    • Budaya
    • Hukum dan Kriminal
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Peristiwa
    • Politik
    • Profil
    • Surat Publik
    • Wisata

Welcome Back!

Sign In with Google
OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Sign Up with Google
OR

Fill the forms below to register

*By registering into our website, you agree to the Terms & Conditions and Privacy Policy.
All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
This website uses cookies. By continuing to use this website you are giving consent to cookies being used. Visit our Privacy and Cookie Policy.