Seks; Dari Wilayah Suci Menuju Wilayah Publik

Tjahjono Widarmanto
7 Min Read
Ilustrasi gambar; lagioke.com
Ilustrasi gambar; lagioke.com

jfID – Pada mulanya seksualitas dianggap sebagai sesuatu yang suci. Percintaan dan persetubuhan dianggap sebagai sebuah pertemuan hati, perpaduan emosi, dan kebersamaan yang dibalut kasih sayang antara dua mahluk yang berbeda kelamin. Tak hanya dipandang sebagai proses biologis yang dilakukan sebagai kesadaran untuk bereproduksi semata, namun seks juga dipahami sebagai bentuk dialektika kemahlukan dan kekhalikan dalam proses penciptaan.
   
    Al-Ghazali (ihya Ulumudin,III;159-160) memuji seksualitas (syahwat) karena dua hal. Pertama, memotivasi orang atau umat untuk berebut surga. Kedua, menjadikan landasan wadah kelangsungan keturunan. Bagi Ghazali seksualitas merupakan kodrati sekaligus bentuk konsekuensi keberadaan mahluk yang ditakdirkan berpasang-pasangan.
Errich Fromm menyebut seks sebagai ruang bertemunya kembali kebersamaan manusiawi. Seksualitas menyadarkan akan hasrat untuk berinteraksi, memahami suatu kebersamaan sebagai suatu keniscayaan yang tak bisa diingkari. Cinta sebagai bagian dari seksualitas (dan sebaliknya) merupakan kutub dari sebuah hasrat, maka aktivitas seks merupakan puncak kulminasi dari sebuah perpaduan dan kebersamaan manusiawi. Seks merupakan alat untuk mengatasi keterpisahan manusia.

    Karena dianggap sebagai sebuah wilayah yang suci, maka seksualitas tak bisa dipertontonkan di depan publik. Seks menjadi sangat privat dan ritualisasinya hanya mungkin dilakukan di ruang domestik. Keterpaduan dan kebersamaan manusiawi dalam ritualisasi seks sebagai puncak kerinduan manusia laki-laki dan perempuan hanya mungkin ada dalam ranah yang sangat personal.
   
    Dalam ranah yang sangat mempribadi itu, saat melakukan aktivitas seksual, manusia akan sepenuhnya menanggalkan kolektivitas pribadinya menjadi mahluk pribadi sepenuhnya, yang bukan hanya bisa mewujudkan eksistensi aku (being), dan rasa keakuan (existence)nya. Menjadi sosok yang merdeka mendialogkan diri dengan nilai kemanusiaan dan spiritualitas yang transenden.
   
    Keterbebasan manusia dari reduksi, hegomoni, serta subordinasi kepentingan di luar dirinya (eksternal) yang diperolehnya saat beraktivitas seksual, berhasil memungkinkan pengejaan kebersamaan manusiawi dan transendental yang lebih maksimal. Seks, bahkan kata Foucault, bisa menjadi energi untuk memberontak terhadap segala kepengapan yang mengitari kehidupan kita sehari-hari.
   
    Begitu dipandang sebagai bagian dari wilayah yang suci, maka seksualitas tak segan-segan dipakai sebagai perwujudan simbolik dalam prosesi religiusitas. Sebagai contoh, di masyarakat Papua terdapat tradisi Zak Ai, yaitu dipakainya air mani (semen) sebagai bagian dari prosesi sebuah ritual religi. Dalam prosesi ini, air mani (semen) dianggap sebagai bagian dari kehidupan, awal dari kehidupan, sebab dari air mani itulah terjadi manusia baru.
   
    Di Jawa, seksualitas juga menjadi simbolisasi religiusitas. Pada peradaban Jawa Kuna dikenal pemujaan lingga dan yoni yang sebetulnya merupakan representasi genitalia. Lingga merupakan representasi genital laki-laki sedangkan yoni merupakan representasi genital perempuan. Lingga dan yoni ini menjadi simbol perwujudan dewa tertinggi Shiwa dan istrinya, Dewi Parwati. Kedua bentuk ini juga dianggap sebagai lambang kesuburan. Dengan demikian simbol genitalia sebagai bagian seksualitas dapat dipresentasikan sebagai kesucian.


Seks karena bagian dari sebuah wilayah yang suci, maka demikian  privacy sehingga dipandang pula sebagai sesuatu yang tabu. Seks pantang dibicarakan dimuka umum. Bahkan ada anggapan dogmatis bahwa seseorang yang membicarakan aktivitas seks, sama persisnya seperti setan perempuan dan setan laki-laki yang berhubungan intim dan ditonton oleh orang banyak.

Namun, dalam perkembangan berikutnya, ternyata seks tak mampu mengelak dari cakupan-cakupan eksternal. Foucault, jauh-jauh hari menegaskan bahwa seksualitas merupakan sebuah wacana yang sangat mudah dikonstruksi. Ketika tak bisa mengelak dari cakupan-cakupan eksternal itu, atau dalam istilah Foucault, ketika seks dikonstruksi oleh berbagai variabel seperti globalisasi, transparansi, kapitalisme, sosial ekonomi, bahkan kekuasaan terjadilah pendangkalan seksualitas.

Sejak munculnya industrialisasi kemudian reformasi di Eropa Barat, telah terjadi represi ‘moderen’ atas seksualitas. Dan represi ini amat berkait dengan kepentingan kapitalisme. Kapitalisme telah menyeret seksualitas menuju wilayah publik dan mengubah wajah seksualitas dari prokreasi  ke rekreasi, dari ritual ke ekspresi identitas yang hanya sesaat.
Yang tampak kemudian adalah pendangkalan seksualitas. Terjadilah pe-wadag-an, pen-tubuh-an, atau pen-sosok-an seksualitas. Seksualitas hanya dipandang sebagai aktivitas fisik belaka, berubah hanya sekedar dukhul yang sekedar bermakna memasukkan penis ke dalam vagina. Lokus seksualitas dari kerinduan kebersamaan manusiawi menjadi kelezatan dan kenikmatan sekejap yang ukuran-ukurannya juga amat fisikal. Maka merebaklah obat kuat, viagra, Mak Erot, galian rapet, hemaviton jreng, atau irex yang dipromosikan dengan gencar dan sensual.
Sejak itulah seksualitas mulai diusung di pasar-pasar dan dijajakan dengan amat terbuka. Merebaklah prostitusi baik terang-terangan maupun terselubung, bahkan membuat tercengang seperti yang terungkap dalam buku-buku yang telah mereportasikan transaksi dan gaya hidup seksual tersebut.

Seksualitas kemuadian menjadi urusan publik. Seksualitas yang dahulu merupakan hal yang personal dan hanya terjadi di ruang domestik, kini diusung ke wilayah publik menjadi persoalan ekonomi, sosial, kapitalistik, bahkan politik.
Kerinduan dan kebersamaan manusiawi yang melandasi seksualitas buyarlah sudah. Dan dalam bingkai yang biologis pun, penerusan proses penciptaan melalui dialektika kemahlukan dan kekhalikan menjadi punah.

Di tengah ketidakberdayaan dalam cengkraman kekuatan dan konstruksi dari luar itu, seksualitas telah berubah muka. Dari wajah yang religius dan manusiawi menjadi barang dagangan yang porno dan murah.*****
       
Tjahjono Widarmanto. Tinggal di Ngawi. Menulis genre puisi, esai, artikel, kolom dan cerpen. Tulisan-tulisannya pernah di publikasikan di Jawa Pos, Republika, Suara Merdeka, Solo Pos, Basis, Horison, Koran Tempo, Republika, Kedaulatan Rakyat, SoloPos, Duta, Minggu Pagi,  Surabaya Post, Pikiran Rakyat, Jurnalfaktual.id, dsb. Bukunya yang telah terbit Kitab Ibu dan Kisah Hujan (2019, delima, sby) menjadi salah satu buku puisi terpuji HPI 2019,  Perbincangan Terakhir dengan Tuan Guru (2018, Basabasi:Yogyakarta)  merupakan salah satubuku puisi terpuji versi HPI 2018, dan Percakapan Tan dan Riwayat Kuldi Para Pemuja Sajak ( salah satu buku puisi terbaik versi HPI 2016).


*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article