Sabun

Heru Harjo Hutomo
3 Min Read

jfid – Di sepanjang sejarah manusia, sabun seperti memiliki makna yang khusus. Tak ada data yang pasti perihal awal-mula sabun. Bagi orang-orang zaman dulu, untuk membersihkan daki, mereka memakai minyak kelapa—yang konon juga dapat digunakan untuk pelicin pemijatan.

Bahan pelicin, demikianlah yang terkenal dari sabun pada akhirnya. Dalam seni pertunjukan, sebuah opera atau drama yang mendayu-dayu dan biasanya sangat banyak konflik yang disajikannya, hingga terkadang membuat eneg, akan disebut sebagai opera sabun. Dan lazimnya tak ada yang tergila-gila pada opera sabun atau telenovela selain remaja dan emak-emak.

Dapat kita saksikan bagaimana opera-opera sabun begitu hidup dalam pergaulan sehari-hari di masa kini. Ada yang berlatar Amerika, Meksiko, India, Korea, hingga yang lokal. Konflik dan masalah seperti tak ada habisnya untuk hadir dan seperti menjadi daya jual utamanya—sampai-sampai, seandainya kita hidup di dalamnya, akan merasakan kelelahan yang luar biasa.

Tapi bukankah realitas sosial dan politik di hari ini adalah realitas “sabun” dimana oleh Guy Debord disebut sebagai “masyarakat tontonan” (Kelam Zaman Masyarakat Tontonan, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org)? Dan bukankah makna politik tak lagi sesempit hubungan antara negara dengan warga negara dan warga negara dengan warga negara lainnya?

Seorang cabup dan cawabup, cagub dan cawagup, apalagi yang tak jelas rekam jejaknya, akan sedemikian mudahnya di-“sabun”-kan kehidupannya dalam realitas politik hari ini guna meraup simpati. Bahkan terkadang, sampai dapat menitikkan air mata para penontonnya—atau justru sebaliknya, mengundang gelak-tawa di warung-warung kopi, emperan rumah pedesaan, dan jalanan.

Dalam pergaulan anak-anak muda zaman sekarang terdapat istilah “mood booster” yang, bagi saya, sepadan dengan istilah “tukang sabun.” Kedua istilah itu sama-sama merujuk pada pelicin atau bahan yang dapat membuat sebagian orang terkadang marah, terbahak, merana dan menangis sendirian atau bersamaan dengan cara memperbincangkannya dalam keseharian yang tak jarang sampai dapat memengaruhi relasi keluarga yang nyata—atau bahkan seandainya opera sabun itu terkait dengan politik praktis, akan dapat membuat gaduh atau justru hening sebuah masyarakat.

Dalam sebuah catatan, Nasib Akal Sehat di Tengah Kebudayaan Klambrangan (https://jurnalfaktual.id/webdev), tanpa sadar sebagian orang telah terjebak pada sebuah politik opera sabun yang ketika hari yang ditentukan tiba akan menentukan posisi dan kubu mana yang ia pijak tanpa sedikit pun mendapatkan kompensasi. Bahkan pun ketika ia memutuskan untuk berpura-pura atau berupaya mengkhianati pijakan awalnya, stigma di kemudian hari akan menetap dan seperti tak mudah untuk hilang—hingga tak jarang dapat memengaruhi kehidupannya. Demikianlah politik opera sabun, politik klambrangan, yang sesaat seperti dapat melepaskan orang dari kepenatan hidup, tapi tanpa sadar menyurungkannya ke sebuah konflik dan kegamangan yang berkepanjangan.

(Heru Harjo Hutomo: penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)   

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

TAGGED:
Share This Article