Relaksasi PSBB: Potret Konflik Kemenhub Vs Polri

Rasyiqi .
5 Min Read

jfID – Empat (4) bulan berlalu sudah. Namun ketegangan diseputar ancaman Covid-19 dan kebijakan penanganannya makin terus meningkat sejak Februari 2020 hingga sekarang (Mei 2020). Dari semula, hanya dianggap virus biasa, yaitu hanya bisa dimusnahkan hanya dengan temu lawak, kini Covid-19 menjadi virus yang seolah-olah luar biasa berbahaya dan sangat mematikan, dan kini seolah-olah tidak berbahaya lagi dengan adanya relaksasi PSBB atau lazim di sebut: New Normal. Berdamai dengan Covid-19.

Sebagai virus yang biasa saja, pemerintah dulunya bahkan konon mengirim influenzer dan buzzer untuk mempromosikan pariwisata Indonesia mengundang datangnya turis ke Indonesia. Sedangkan sebagai virus yang sangat berbahaya, pemerintah bahkan mengalokasikan anggaran Triliunan rupiah untuk penanganannya.

Dan bahkan, untuk yang disebut terakhir ini, melalui PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) pemerintah melalui TNI dan Polri demikian brutal, bengis dan kejam terhadap masyarakat. Pesta perkawinan dibubarkan, Ojol dan Pedagang Kaki Lima diluluhlantakkan dan dikejar-kejar.

Di masa PSBB inilah baru terungkap betapa kehidupan rakyat sangat sengsara, terutama bagi ummat Islam. Shalat Jum’at, Shalat Terawih, Shalat I’ed, bahkan tidak diperbolehkan dilakukan secara biasanya. Sedangkan kehidupan Pasar, dan bahkan perusahaan tetap berjalan dengan lancar. Inilah diskriminasi.

Yang paling galak dan paling kejam dalam penegakan PSBB adalah Polisi. Yach, polisi. Polisi inilah yang dimana-mana melakukan keberingasan. Bahkan, secara diam-diam polisi mengambil manfaat dari diterapkannya PSBB. Antara lain, membuat kebijakan tahanan tidak boleh dibesuk oleh siapapun, termasuk oleh Penasehat Hukumnya. Banyak perkara-perkara yang juga tidak jalan dan kesemuanya berlindung: Ada Covid.

Tapi, eiiittsss! Benarkah tahanan tidak boleh dibesuk? Benarkah di masa Covid polisi tidak boleh ngurus perkara? Ternyata tidak juga! Mereka yang punya hubungan baik, tetap aja boleh mengunjungi tahanan. Demikian pula ada beberapa kasus dimana polisi Masih mengurusnya. Suka manggil-manggil orang untuk diperiksa. Semua orang saya yakin pasti akan mengerti kenapa polisi demikian berkuasa, ya karena ada ruang khusus untuk negosiasi. Biasanya disebut tarif.

Intinya, selama pelaksanaan PSBB, polisi inilah yang paling brutal, bengis dan kejam. TNI dan Pol PP, malah tidak lagi terlalu menonjol.

Polisi akhirnya muring-muring ketika pemerintah pusat mulai melunak. PSBB diRelaksasi. Di lunakkan. Pemerintah Pusat melalui Menteri perhubungan mulai membuka roda transportasi, baik darat, udara dan laut.

Manfaat besar bagi saya dengan adanya situasi Covid ini adalah telah membuka pengetahuan saya tentang situasi kenegaraan yang mengkhawatirkan, yaitu potensi adanya pertikaian dari 2 institusi pemerintah yakni: POLRI vs KEMENHUB.

Bagi saya, selama ini Polri memang terlalu menggurita mencengkram semua aspek penting kehidupan bernegara. Mendominasi dan menggergaji hak-hak dan instansi lain. Antara lain, TNI, KEMENHUB, dan KKP.

Siapapun tau bahwa dulunya Polri masih menginduk kepada TNI. Akan tetapi, setelah lepas dari TNI, Polisi malah sangat istimewa dan diistimewakan. TNI dikucilkan. Baik dari segi anggaran, maupun dari segi kewenangan.

Tidak itu saja, setelah berhasil “menyingkirkan” TNI, Polri juga merebut kewenangan KEMENHUB dalam soal pengaturan dan pengelolaan lalu lintas jalan. Merembet juga ke merebut wewenang KKP.

Jadi, dengan adanya relaksasi PSBB, saya akhirnya berkeyakinan kenapa polisi begitu muring-muring, ugal-ugalan dan beringas kepada rakyat, terutama kepada pengguna jalan yang akan melintas dipos-pos penjagaan lalu lintas antar provinsi, sesungguhnya bukan karena polisi takut pada penyebaran Covid-19, melainkan dapat diduga karena timbul dari rasa iri kepada KEMENHUB yang ternyata lebih dipercaya untuk membuat keputusan penting kenegaraan. Kata lain, sekali ini, Polisi kalah saing dengan Kemenhub.

Ke depan, saya berharap kewenangan polisi mulai perlu dikurangi dan dibagi secara proporsional dengan instansi lain;

Dan/atau,

Kalau dilihat dari perilakunya yang cenderung ABS (Asal Bapak Senang), status Polri sepatutnya diubah menjadi lembaga kementrian. Jadi, Polri nanti namanya berubah menjadi: Kementerian Kepolisian Republik Indonesia.

Cangkarman, 30 Mei 2020

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article