Ratu Adil; Teologi Merawat Harapan

Tjahjono Widarmanto
6 Min Read
"Pagelaran," 60x100 cm, kapur di atas papan, Heru Harjo Hutomo, 2020
"Pagelaran," 60x100 cm, kapur di atas papan, Heru Harjo Hutomo, 2020

jfid – Wacana Ratu Adil merupakan sebuah wacana yang kontekstual. Ratu Adil sebuah wacana yang berupa sebuah gambaran dan harapan rakyat akan datangnya sebuah era keemasan, sebuah utopia yang dibangun dan berasal dari masa lampau. Utopia masa lalu karena dalam masyarakat tradisional memproyeksikan sebuah pre-established harmony di masa lampau sebagai gambaran ideal mereka.

Wacana Ratu Adil menurut sejarawan Sartono Kartodirjo merupakan pencarian solusi yang bersifat restoratif, penyelamatan, nativistis atau milenaristis. Ratu Adil menggambarkan konservatisme masyarakat yang mengerti bagaimana memeilihara dan menjaga ‘apa’ yang sudah ada. Ratu Adil merupakan sebuah harapan saat masyarakat mesti menghadapi ketidaknyamanan dalam sebuah zaman yang tidak ideal. Ratu Adil adalah mitologis yang berdasar pada pandangan kosmis-magis yang kedatangannya akan membawa era magis millenium atau zaman sejahtera.

Konsep Ratu Adil memiliki sifat mistis dan magis yang merupakan wujud dari harapan messianik. Merupakan sebuah harapan yang tak akan putus akan lahirnya mesias (figur) yang akan memutus rantai penindasan. Karena memiliki sifat mistis dan magis inilah tidaklah mengherankan kalau konsep Ratu Adil selalu muncul dalam sifat religius yang kemudian bisa mewujud dalam pemberontakan-pemberontakan politis. Harapan-harapan millenarian yang tersembunyi mendorong kemunculan tokoh-tokoh yng diangap prophetic yang dianggap sebagai guru atau orang suci yang memiliki daya karisma.

Dalam masyarakat Jawa, harapan Ratu adil seringkali disimbolisasikan atau diistilahkan dengan Erucakro. Masa kemunculan Erucokro selalu diawali dengan terjadinya bencana besar. Kemunculan Erucokro selalu memberikan semangat dan harapan baru untuk mengatasi segala kesulitan, bencana dan ketidakadilan. Ratu Adil merupakan personifikasi harapan ekskatogis bagi manusia-manusia yang sedang berada dalam sebuah ketegangan: penderitaan dan keinginan untuk mencapai pembebasan dari penderitaan.

Konsep Ratu Adil tak hanya muncul dan berhenti pada wacana saja, namun acap kali muncul sebagai sebuah gerakan, sebuah pemberontakan di saat sebuah kekuasaan dianggap sebagai sebuah tiran dan penindasan. Pemicu gerakan Ratu Adil selalu berakar pada dua faktor yaitu adanya konsepsi religius yang secara tradisional menjanjikan sebuah pranata baru yang lebih ideal dan faktor adanya sebuah peristiwa yang menggoyahkan kehidupan. Gerakan Ratu adil selalu diikuti dengan pengakuan loyalitas terhadap seorang tokoh pemimpin yang dianggap memiliki persyaratan sebagai Ratu Adil. Pengukuhan dan tumbuhnya loyalias diikuti dengan gerakan protes sosial dengan mewacanakan adanya dambaan atau cita-cita negara yang bahagia.

Kekuasaan dalam sejarah Nusantara memiliki riwayat yang panjang. Perjalanan kekuasaan yang panjang di Nusantara ini memunculkan berbagai konsep kekuasaan dengan konteks sosio kultural yang berbeda-beda yang dijalankan dengan tata politik dan tata sosial yang berbeda pula. Konsep Ratu Adil merupakan sebuah konsep kekuasaan yang tersebar di Nusantara.

Masyarakat Makasar, Kalimantan, Bali sampai pedalaman Papua memiliki berbagai varian konsep Ratu Adil yang kesemuanya berpangkal pada sebuah harapan atau keinginan pada wujud kekuasaan yang lebih baik.

Pada dasarnya semua konsep Ratu Adil yang tersebar di seluruh Nusantara selalu berkaitan dengan ketidakpuasan masyarakat terhadap pemimpin dan kondisi ekonomi sosial tertentu. Masyarakat melihat kewibawaan pemimpinnya merosot lalu mendambakan pemimpin yang kharismatik yang memiliki visi-visi penyelamatan ke depan, yang salah satu wujud pendambaan itu adalah gerakan-gerakan pemberontakan. Hal tersebut selain pada peristiwa perang Jawa yang dikobarkan Pangeran Diponegoro, yang dikaji dengan amat cemerlang oleh Peter Carey, juga muncul pada kisah heroik Si Singamangaraja (Al Makin, 2014), Cokroaminoto, Kartosuwiryo hingga Ratu Adil-Ratu Adil ‘lokal’ semacam Samin Surosentika. Peristiwa serupa juga terjadi di Papua dengan perlawanan kelompok Doa Saswar Masren yang kemudian berubah menjadi Doa Farkankin Sandik yang melawan arogansi kekuasaan melalui percaya adanya Ratu Adil yang dibisikkan tokoh mitologi Manarmakeri (Rumansara, 2014), hal serupa juga terjadi di Bali dan di Aceh seperti diungkapkan dalam penelitian Jean Couteau; Milenarisme di Bali dan penelitian Otto Syamsudin Ishak tentang Gerakan Mahdi di Aceh.

Memperbincangkan kembali konsep Ratu Adil dalam wacana kekuasaan pada dasarnya mendedah kembali hal-hal yang arkaik yang lindap dalam sedimentasi pemikiran masyarakat kita sendiri. Memperbincangkan Ratu Adil berarti mendiskusikan harapan-harapan dasar yang ada dalam masyarakat Nusantara. Pengharapan itu sendiri merupakan harapan yang universal. Jika masyarakat mengalami krisis harapan, maka masyarakat itu berada dalam situasi terombang-ambing tanpa arah. Sebaliknya, jika masyarakat terlampau percaya kepada harapan itu bisa menjadikannya terperangkap dalam ekses-ekses ilusi. Erns Bloch seorang filsuf marxis pernah mengatakan bahwa fungsi yang benar dari sebuah utopia bukanlah untuk melarikan diri dari sebuah realita namun memberikan suatu perspektif kritis yang memotivasi masa kini untuk menuju masa depan. Pengharapan yang benar adalah pengharapan yang selalu kreatif, yang selalu bergerak dalam pencapaian-pencapaian yang tak hanya terperosok dalam “melankoli-melankoli” kepuasan. ***

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

TAGGED:
Share This Article