Pemahaman Agama yang tak Seirama Menghadapi Covid 19

M. Rizwan
4 Min Read

jfID – Menghadapi pandemi global Covid 19 memuculkan sentilan sentilun, takut dan tidak takut, ikhtiar dan pasrah, sehingga mengaburkan perbedaan antara fakta dan rekayasa keyakinan.

Kalimat “aku tak takut covid 19, aku hanya takut kepada tuhan”. Secara keyakinan, kalimat ini ada betulnya juga, akan tetapi sering dilupakan bahwa dibalik kata tersebut ada hal yang dilupakan yakni ikhtiar “Tuhan tidak akan merubah nasip suatu kaum, jika tidak merubahnya dengan sendirinya”.

Memang, pada dasarnya hidup dan mati hanya Tuhan yang mengatur. Kalimat tersebut, jika disandingkan persis seperti faham penganut jabariah dalam berakidah, serta terlalu sombong dalam beragama (beragama over dosis).

Sebagai antitesa, Nabi Muhammad SAW juga pernah bersabda bahwasanya “larilah engkau dari penyakit lepra, sebagaimana larinya engkau dari kejaran singa” (H.R. Bukhari). Artinya bahwa jika terdapat suatu wabah yang berbahaya, dianjurkan untuk menjauhinya sebagai ikhtiar sebelum diserahkan semuanya kepada ketentuan dan ketetapan Tuhan.

Dal hadist lain disebutkan bahwa “janganlah kalian mencampurkan antara yang sakit dengan yang sehat”, (HR. Bukhori), dengan hadist ini, tak mengherankan jika pemerintah memberlakukan sistem karantina, untuk memisahkan antara yang sakit dengan yang sehat, mengingat Virus Covid 19 menurut para ahli virus, bahwa Covid 19 sifatnya sangat mudah tersebar dan mempunyai masa inkubasi yang panjang yakni selama 14 hari.

Fenomena perbedaan faham dalam menghadapi pandemi global Covid 19 dengan kalimat seperti diatas merupakan bentuk padangan yang mendegradasi otoritas keilmuan yang tidak lagi dihargai, baik ilmu agama dan ilmu sains, akan tetapi ironisnya, menghadapi Virus Covid 19 masih dilakukan dengan bungkusan “agama”. Padahal Tuhan sendiri telah berfirman dalam Al-Qur’an ” tanyakanlah kepada ahli ilmu jika engkau tidak mengetahui”.

Selain itu, ulama tidak mungkin berfatwa untuk menghentikan sementara kegiatan agama yang mengundang keramaian tanpa pemahaman yang kuat, seperti fatwa tentang shalat jum’at dan lainnya.

Mereka (para ulama) berfatwa dengan dalil Al-Qur’an, hafalan ratusan bahkan ribuan hadist, faham hukum agama (fiqih dan unsurnya). Sebagai panduan, Nabi bersabda ” jika suatu perkara diserahkan kepada ahlinya, nantikanlah kebinasaan yang akan datang (Shohih Bukhori)”.

Sehingga, merasa aman dengan ancaman pandemi global Covid 19 karena merasa dekat dengan tuhan, menurut saya adalah pemahaman agama yang keliru, sebab, Nabi SAW sendiri yang paling dekat dengan sang pencipta bersembunyi di gua Tsur dari kejaran kafir quraisy, bukan karena beliau takut terhadap mereka, melainkan risalah agama yang disembannya harus sampai ke generasi kita (maslahat murshalat).

Nabi Musa A.s, adalah salah satu Nabi dan Rasul ulul azmi, menghindari kejaran Fir’aun laknatullah dengan membelah laut merah, bukan karena beliau pengecut, akan tetapi memang agama mengajarkan ummatnya untuk tidak “mati konyol”.

Nabi Ibrahim A.s, pernah berlari dari kejaran raja Namrudz, karena mengalah untuk menang memberantas kekufuran.

Khalifah Umar R.A pernah menghindari kampung yang terkena wabah “tha’un” karena pendapat beliau bahwa berlarilah dari takdir buruk ke takdir yang baik.

Ketahuilah, kita bukan nabi, bukan rasul, bukan para sahabat, kita hanya ummat maka, kita perlu berkaca dari kejadian para anbiya’ dan sahabat Nabi SAW dalam menyikapi sesuatu yang sekiranya membahayakan diri kita.

Jangan sesekali menentang wabah, dengan berkata “saya tidak takut dengan Covid 19, saya hanya takut kepada tuhan”. Catat! Jangan kita semua sombong dan jahil terhadap diri dan ilmu yang dimiliki. Ambillah mana perbuatan yang besar manfaatnya daripada mudhoratnya.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article