Papua dan Solidaritas

Tjahjono Widarmanto
5 Min Read
Solidaritas masyarakat Papua (foto: beritapapua.id)
Solidaritas masyarakat Papua (foto: beritapapua.id)

jfid – Benarlah apa kata Benedicht Enderson yang mengatakan bahwa bangsa adalah komunitas terbayang; bangsa adalah komunitas yang diimajinasikan. Setidaknya itulah yang terjadi di Indonesia. Ketika merindukan bangsa, mereka mengimajinasikan wujud kebangsaan tersebut. Tak berhenti pada titik mengimajinasikan tentang bangsa yang ideal, tetapi para pendahulu kita melanjutkan pada etape yang lain yaitu solidaritas. Komunitas yang terbayang itu menjadi sesuatu yang riil, menjadi tak lagi sekedar imajinasi namun berubah menjadi realitas karena campur tangan solidaritas.

Dalam momentum Sumpah Pemuda, nyaris seabad lampau, solidaritas tersebut terlihat begitu nyata. Ikrar Sumpah Pemuda yang meneguhkan tanah air yang satu: Indonesia; bangsa yang satu: Indonesia dan bahasa persatuan: bahasa Indonesia menjadi pemantik wacana kebangsaan.

Momentum yang bersejarah itu, menampakkan solidaritas bersama yang menghasilkan keputusan bersama yang sangat bersejarah. Solidaritas tersebut merekatkan satu dengan yang lain, merajut bahkan menyatukan untuk menjadi suatu keluarga atau komunitas.

Solidaritas yang memercikkan keinginan untuk menjauhkan diri dari keterpecahbelahan. Solidaritas yang ditunjukkan dalam Sumpah Pemuda tersebut diikuti dengan solidaritas dalam bentuk-bentuk lain yaitu pewacanaan kebangsaan Indonesia. Pewacanaan tersebut muncul dalam teks-teks berbahasa Indonesia.

Teks-teks berbahasa Indonesia itu muncul dengan kesadaran solidaritas yang penuh untuk merealisasikan pemakaian bahasa persatuan; bahasa Indonesia. Teks-teks tersebut di tulis dari para penulis, sastrawan, pengarang dari latar suku berbeda yang dengan kesadaran sendiri, menulis tidak lagi dengan bahasa daerahnya tapi dengan bahasa Indonesia. Tercatat nama-nama Pandji Tisna, Amir Hamzah, Amal Hamzah, Sanusi Pane, Armyn Pane, Ki Hadjar Dewantoro, Soekarno, Moh. Hatta, Syahrir, Tan Malaka, Sutan Takdir Alisyahbana, Multatuli, W.R. Soepratman, M.R. Dayoh, J.E.Tatengkeng, HOS Cokroaminoto, Soetomo, Adi Negoro, dan masih banyak lagi. Mereka, para penulis itu, tanpa komando seia sekata dalam solidaritas merajut kesatuan bangsa Indonesia.

Gegap gempita solidaritas tersebut terulang kembali saat masa-masa revolusi yang dimulai pada 17 Agustus 1945. Proklamasi merupakan wujud solidaritas raksasa setelah Sumpah Pemuda. Solidaritas yang sangat heroik itu diikuti dengan sebuah komitmen pula, yaitu komitmen untuk mempertahankan kemerdekaan: Merdeka ataoe Mati! Kisah-kisah solidaritas di masa revolusi itu pun masih bisa kita tengok kembali dalam buku-buku sejarah maupun karya sastra. Tenyata, proses solidaritas belum selesai, bahkan mungkin tak akan selesai. Indonesia sebagai bangsa yang penuh dinamika belum sepenuhnya memasuki situasi nyaman. Pergolakan demi pergolakan, konflik demi konflik bermunculan. Konflik kekuasaan tak lagi dimainkan oleh para kolonial namun oleh para pemimpin Indonesia sendiri.

Konflik kekuasaan tersebut mencipta bagian yang traumatik dalam masyarakat. Muncullah goro-goro 1965 yang melahirkan solidaritas baru yaitu cita-cita bersama yang dimotori oleh orde baru. Proses politik ibaratnya seperti cakramanggilingan yang terus berputar. Pun dalam konstelasi politik Indonesia. Orde baru yang semula menjadi antitesis dari orde lama yang korup dan tiran, karena hasrat kuasa dan dininabobokkan oleh waktu berkuasa yang berkepanjangan, tiba-tiba menjelma serupa dengan orla; menjadi tiran! Solidaritas pun muncul dan bertiwikrama kembali. Kali ini mewujud pada gerakan reformasi yang bergaung di Mei 1998. Solidaritas yang tak terbendung yang pada akhirnya mengakhiri kekuasaan tiran rezim orde baru.

Politik serupa arena sirkus. Politik penuh akrobatik yang jitu. Kadang mengundang cemas, sekaligus mengundang tepuk tangan. Reformasi telah berjalan berpuluh tahun, namun Indonesia belum menjadi ruang yang nyaman untuk ngopi di beranda atau tidur nyenyak di ranjang. Kali ini tak hanya konflik kekuasaan internal (rongrongan Papua Merdeka), namun juga gempuran eksternal semacam globalisasi, kapitalisme global, dan wabah global turut menjadi prahara yang mengguncang Indonesia.

Agaknya membutuhkan solidaritas baru untuk melawan gempuran-gempuran tersebut. Yang menjadi pertanyaan: “Solidaritas dalam bentuk apakah?”
Sungguh menarik untuk disimak dengan berdebar!

*) Penulis adalah sastrawan, esais, dan guru yang tinggal di Ngawi. Buku puisinya “Percakapan Tan dan Riwayat Kuldi Para Pemuja Sajak” menjadi salah satu penerima anugerah buku puisi terbaik versi HPI di tahun 2016. Buku puisi terbarunya “Kitab Ibu dan Kisah-Kisah Hujan” (2019)
menjadi salah satu buku puisi terpuji versi HPI tahun 2019
.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article