Palilah Kepemimpinan

Heru Harjo Hutomo
5 Min Read
"Semar Tan Semar," 60x100 cm, kapur di atas papan (Heru Harjo Hutomo, 2020)
"Semar Tan Semar," 60x100 cm, kapur di atas papan (Heru Harjo Hutomo, 2020)

jfID – Ada hal yang menarik dengan subasita, udanegara, atau adab dalam kebudayaan keraton di Jawa. Lazimnya, seorang abdi dalem akan menangkupkan kedua telapak tangannya dengan kedua jempol menyatu dan menempel di hidung. “Nyuwun palilah,” katanya lirih pada seorang yang dianggap lebih senior dan dirasa lebih berpengaruh ketika namanya mengemuka untuk diberi tugas tertentu. Hal seperti ini dikenal sebagai gaya bahasa “bagongan,” anggah-ungguh berbahasa yang hidup dan dilestarikan dalam keraton di Jawa.

Palilah” secara harfiah bermakna sebagai tak sekedar izin, tapi juga restu. Ada anggapan bahwa tanpa adanya restu tersebut sesuatu yang akan diemban atau peristiwa yang akan terjadi tak terberkati. Sekalipun barangkali itu semua terlaksana rasanya akan seperti mengendarai pinjaman mobil dimana yang empunya terpaksa meminjamkannya. Sudah membawa mobil orang dan yang empunya pun terpaksa meminjamkannya, tentu kekhawatiran tak urung menyergap dua kali lipat yang sudah pasti akan memengaruhi perjalanan yang akan dilakukan.

Kepercayaan akan “palilah atau restu memang menjadi karakteristik utama konsep kekuasaan Jawa tradisional. Seandainya Raden Patah di Demak memerlukan Walisongo sebagai legitimasi politik-kulturalnya, kerajaan Mataram Islam pun konon memerlukan sosok Nyi Rara Kidul yang memiliki fungsi serupa. Secara kosmologis, baik Walisongo maupun Nyi Rara Kidul, merupakan representasi alam—atau setidaknya autad atau bahkan kutubnya.

Dalam konsep kekuasaan Jawa tradisional hal seperti itu memang dapat dimaklumi mengingat kekuasaan adalah mutlak ditangan sang raja yang bersifat turun-temurun. Sekalipun kekuasaan itu ingin berganti tak urung pembangkangan dan pemberontakan adalah satu-satunya pilihan. Sebab, konsep kekuasaan Jawa tradisional tak memberi ruang terhadap adanya pemilihan. Inilah yang menjadi dasar kultural konsep dan laku “palilah” tersebut di masa kerajaan tradisional. Seandainya di masa kini masih jamak ditemui orang yang mencari legitimasi politik-kultural semacam itu, maka dalam paradigma “palilah” inilah ia dan segala pendekatan politiknya menggantungkan diri.

Namun demikian, satu hal yang patut diutarakan, masihkah konsep kekuasaan di hari ini bersifat monarchical dan hierarkis, terpusat dan mengalir dari atas ke bawah? Bukankah demokrasi menyuguhkan konsep kekuasaan yang sebaliknya, dispersif dan menyembur dari bawah ke atas? Seandainya demikian, maka masih bergunakah subasita dan udanegara lama untuk meminta “palilah” pada seorang “Sultan” dijadikan paradigma di alam demokrasi seperti ini?

Sebenarnya, tanpa mengacu pada konsep demokrasi di alam modern, kebudayaan Jawa tradisional tak pula tak menyajikan alternatif atau pandangan lain selain konsep dan laku “palilah” yang menyiratkan konsep kekuasaan Jawa tradisional bersifat monarchical dan hierarkis. Pada kisah wayang purwa dan beberapa kisah sejarah kekuasaan Jawa terdapat apa yang disebut sebagai panakawan yang berintikan sesosok Semar atau Sabdapalon pada kisah Brawijaya V. Satu mitos pewayangan Jawa mengatakan bahwa hanya ksatria yang diembani oleh Semar yang akan memegang tampuk kepemimpinan, bukan oleh Bathara Guru, Rsi Drona, Rsi Bhisma atau bahkan Begawan Abiyasa. Sebab, siapa yang dekat dengan Semar akan menjadi ksatria yang sinisihan wahyu, dimana di masa kini wahyu itu sepadan dengan kepercayaan publik. Dan barang siapa meminggirkan panakawan akan berubah menjadi ksatria siningkiran wahyu atau bahkan ksatria wirang sebagaimana Brawijaya V yang mengecewakan Sabdapalon.

Mitos di atas sebenarnya sangat sederhana untuk dipahami. Sebab, Semar adalah representasi kawula atau rakyat dimana hanya dengan melihatnya sama pula dengan melihat kawula atau rakyat itu sendiri. Adapun Bathara Guru, Rsi Drona, Rsi Bhisma, dan Begawan Abiyasa, adalah representasi sesembahan, yang tak mungkin kelak orang yang meminta “palilah” tersebut akan memerintahnya.         

(Heru Harjo Hutomo/ Penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article