Orang Biasa dan Perjalanannya

Heru Harjo Hutomo
6 Min Read
"Ndologog," 60x100 cm, kapur di atas papan, Heru Harjo Hutomo, 2020
"Ndologog," 60x100 cm, kapur di atas papan, Heru Harjo Hutomo, 2020

jfid – Michel de Certeau, barangkali, adalah salah satu pemikir yang mementingkan perspektif orang biasa (the ordinary man) dalam kaitannya dengan ruang dimana ia berjalan (The Practice of Everyday Life, 1980). Memang, yang dibidik oleh de Certeau bukanlah perspektif para ahli yang senantiasa sudah terbingkai oleh asumsi-asumsi tertentu. Seorang penganut radikalisme, barangkali, akan langsung memuntahkan sumpah-serapah dan merasa jijik ketika melihat sebuah foto seorang mursyid ataupun tokoh-tokoh agama yang menjadi panutan terpampang di dinding sebuah ruang tamu. Tapi anehnya, peristiwa serupa tak lazim terjadi ketika yang terpampang di sana adalah gambar tubuh molek Asia Carrera atau Mia Khalifa.

Dalam khazanah tarekat memang lazim untuk memampangkan gambar wajah sang mursyid di sebuah dinding. Bahkan, konon, dalam tarekat Naqsyabandiyah, membayangkan gambar sang mursyid ketika akan berwiridan adalah sebuah kelumrahan. Hal ini dikenal dengan istilah “rabithah” sebagai sebentuk fana’ fi al-syaikh.

Dalam perspektif de Certeau, kedua peristiwa di atas, baik yang mengagungkan maupun yang merasa jijik pada sebuah potret laiknya kalangan radikal, bukanlah yang semestinya dituai oleh perspektif orang biasa. Sebab, dari kedua perspektif yang sudah terbingkai oleh asumsi-asumsi tertentu jelas tersingkap sebuah motif untuk menundukkan.

Dalam terang Heidegger, motif untuk menundukkan ini tersingkap dari prinsip kebenaran yang dianut oleh sains: prinsip korespondensi (anleichung). Secara sederhana, kebenaran dalam prinsip korespondensi ini adalah ketika, seumpamanya, apa yang hinggap di indera sesuai dengan kenyataannya. Nalar yang bekerja, karena demi memenuhi tuntutan kesesuaian kesan pada indera dan kenyataannya, tentu saja adalah nalar kalkulatif. Maka, apapun yang tak dapat diukur akhirnya dianggap bukanlah wilayah jangkauan sains alias nonsense. Di sinilah kemudian watak penundukkan sains tampak atas nama klaim obyektivitas atau prinsip bebas nilai.

Dalam bidang ilmu eksakta kemudian lahir beberapa teori kebenaran yang berupaya menghilangkan watak penundukkan sains yang ternyata dalam sejarahnya ikut membidani krisis-krisis ekologis dan krisis-krisis kemanusiaan seperti konflik dan perang. Beberapa di antaranya adalah prinsip falsifikasi dari Karl Popper, teori pergeseran paradigma dari Thomas Kuhn, dan perspektif anarkisme epistemologis dari Paul Feyerabend. Sementara di lapangan ilmu humaniora teori hermeneutika, teori-teori kritis madzhab Frankfurt, poststrukturalisme hingga postkolonialisme lahir untuk membantah klaim obyektivitas sains yang hampir semua teori-teori penyanggah ini menyimpulkannya sebagai omong-kosong yang bersifat politis.

Pada bidang tasawuf sepertinya teori de Certeau tentang perspektif orang biasa ini bertepuk pula dengan prinsip Syekh Junaid al-Baghdadi yang konon lebih menyukai orang yang goblok daripada orang yang pintar ketika berguru padanya. Tentu, saya kira, rahasianya di sini adalah bahwa pengetahuan ternyata justru dapat menghijab seseorang dan menyorongkannya labih jauh pada kegelapan.

Dalam teologi Katolik terdapat ungkapan yang bagi saya menyingkapkan keuntungan orang biasa atau orang yang goblok dalam bertuhan: “Mysterium tremendum et fascinosum.” Dalam khazanah Islam Nusantara, Saridin adalah salah satu contoh orang biasa atau orang goblok yang tengah belajar agama. Meskipun tak fasih dalam berbahasa Arab dan bahkan tak menguasai ilmu-ilmu agama, ternyata ucapan ataupun doa-doa yang dipanjatkannya dikenal mustajab, seperti pada peristiwa penyaksiannya pada keesaan Tuhan dan kerasulan Muhammad yang tak sekedar verbal melainkan juga melibatkan tubuh—dengan menjatuhksn diri dari pohon kelapa—, menyambung nyawa kerbau yang hampir mati, menghidupkan ikan yang tinggal durinya belaka, dan mengarungi lautan dengan hanya mengandalkan buah kelapa.

Pengembaraan Saridin yang konon sampai Palembang dan Ngerum (Turki) adalah laiknya sang protagonis Michel de Certeau: orang biasa yang sedang melancong. Sementara kisah belajar agamanya yang dari perspektif santri kebanyakan kerap menjadi bahan olok-olok adalah laiknya murid ideal Syekh Junaid, yang gampang takut pada keagunganNya dan sekaligus gampang terpesona pada keindahanNya. Dan ironisnya, semua ini justru berjalan dengan minimnya wawasan keagamaan yang dimiliki ketika diukur dari wawasan kebanyakan santri atau bahkan Sunan Kudus yang pernah mengusirnya.Dengan demikian, ketika kita memakai teorinya de Certeau, dan tentu juga Syekh Junaid, barangkali dengan meninggalkan nalar kalkulatif orang seolah tak akan mendapatkan apa-apa. Padahal, dalam perjalanannya, Saridin dapat memperistri adik Sultan Agung di Mataram dan putri Adipati Palembang yang sempat ia sembuhkan dari penyakitnya. Lalu bagaimana dari perspektif Syekh Junaid? Ternyata Saridin mampu menjadi seorang syekh yang bergelar Syekh Jangkung yang dihormati oleh banyak orang dan bahkan dipercaya oleh Sultan Agung di Mataram untuk menikahi adik perempuannya. Dan itu semua ia capai tanpa sama sekali ada niatan dan perencanaan laiknya seorang ilmuwan atau bahkan seorang ahli ilmu agama. Ia meraih itu semua dengan jalan menjadi orang biasa sebagaimana dalam telaah de Certeau yang berjalan dan bertandang tanpa asumsi yang berarti sama sekali atas, misalnya, potret Sang Khalifah atau juga Mia Khalifa di sebuah dinding.    

Tentang Penulis: Heru Harjo Hutomo, Penulis terbaik 2021 pilihan jurnalfaktual.id.     

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article