Nusantara: Melibatkan yang Silam Pada yang Mendatang

Heru Harjo Hutomo
6 Min Read

jfid – Penetapan nama Ibu Kota Negara (IKN) oleh pemerintah rupanya sempat memantik terjadinya polemik tentang apa yang dirujuk oleh istilah “Nusantara.” Orang-orang yang berkutat dengan sejarah berbondong-bondong untuk ikut mewarnai, dengan segala pro dan kontranya, penetapan nama IKN itu.

Orang pun menjadi paham bahwa istilah “Nusantara,” dalam pemakaiannya di sepanjang sejarah, ternyata tak bermakna tunggal dan secara khusus merujuk pada sesuatu yang pasti. Oleh karena itu, saya pun pernah mengungkapkan bahwa “Nusantara” tak sekedar berarti wilayah atau visi geopolitik kerajaan-kerajaan di masa silam. “Nusantara” adalah sebuah pandangan hidup yang tumbuh dan berkembang di sebuah wilayah yang majemuk (Islam Nusantara dalam Terang Filsafat dan Kebudayaan, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id/webdev).

Dengan pemaknaan seperti itu, maka jangkauan istilah “Nusantara” adalah lebih jauh dan luas daripada Pancasila yang terlahir dari rahimnya. Hal ini dapat dimengerti karena di era Gajah Mada, secara geografis dan kultural, istilah ini pernah merujuk sampai ke negeri Siam. Bahkan pun seorang Tan Malaka yang dikenal sebagai seorang komunis, pernah pula mengedarkan visi geopolitiknya tentang “ASLIA” yang setara dengan istilah “Nusantara” dalam AD/ART salah satu partai besutannya (Manifesto Jakarta [1945], Tan Malaka, https://marxist.org).


Tan Malaka jelas adalah seorang yang anti-feodalisme dan bukanlah orang Jawa. Tapi ketika melihat visinya tentang “ASLIA” logika yang dipakainya adalah sama dengan visioner-visioner “Nusantara” di masa lalu. Dengan demikian, seumpamanya alasan yang mengatakan bahwa istilah “Nusantara” terlalu Jawa-sentris menjadi tak lagi bermakna.

Di balik penetapan nama IKN sebagai “Nusantara” sangat tampak bahwa dalam hal ini terdapat sebuah misi tentang masa yang mendatang tanpa mengenyahkan yang silam. Dan sebetulnya, pada hemat saya, di sinilah kegunaan sejarah yang pada dasarnya merupakan sebuah kata kerja (Ma-Hyang: Melibatkan yang Silam Pada yang Mendatang, Heru Harjo Hutomo, CV Kekata Group, Surakarta, 2020).


Pelibatan masa silam pada yang mendatang, dengan demikian, bukanlah sebentuk romantisisme sejarah. Seandainya menengok pendekatan sejarah ala Nietzsche, Heidegger, Foucault, dst., masa silam bukanlah sebuah fakta yang berdiri sendiri sebagaimana yang diyakini oleh banyak orang dengan ungkapan bahwa yang silam tak akan berulang. Pendekatan sejarah semacam ini telah melupakan fakta bahwa ketika orang berkata tentang masa silam sesungguhnya ia tengah berada di masa kini dengan segala kepentingannya.


Kepentingan, bahkan pun dalam sains ataupun perspektif-perspektif yang diklaim sebagai ilmiah, pada dasarnya bukanlah sebentuk momok yang patut dihindari. Orang sama sekali tak dapat berdiri di luar konteks yang melingkupinya. Bukankah kesimpulan dari teori relativitas Einstein adalah bahwa pengamat yang berbeda tak akan melahirkan hasil amatan yang sama membuktikan tesis tentang kepentingan atau konteks yang melingkupi  ini?


Einstein berbicara dalam ranah ilmu pasti yang siapa pun sepertinya tak dapat membantahnya. Seandainya ilmu-ilmu pasti saja tak pernah benar-benar pasti, apalagi ilmu-ilmu sosial ataupun humaniora. Oleh karena itulah, polemik tentang istilah “Nusantara” yang disematkan sebagai Ibu Kota Negara Indonesia bukanlah hal yang patut dikhawatirkan. Sebab, dengan kerangka perspektif sejarah sebagaimana yang saya ungkapkan di muka, tak pernah ada penolakan, ketegangan ataupun hal-hal yang mengkhawatirkan ketika Gajah Mada seumpamanya memekikkan istilah “Nusantara” dalam sumpahnya.


Atas terjadinya perbenturan ideologi dan kebudayaan, di hari ini orang tengah ramai melakukan pelacakan dan perumusan identitas ataupun karakter bangsa. Dengan kembali menyertakan istilah “Nusantara” sebagai warisan masa silam yang sebenarnya tak dapat dinilai sebagai baik ataupun buruk, maka sebenarnya orang tengah digiring untuk merumuskan yang mendatang, yang terbaik bagi semuanya.

Kemajemukan di Indonesia adalah sebuah fakta yang tak dapat diperbantahkan. Kemajemukan ini tentu saja adalah bermata dua. Ia adalah kelebihan sekaligus kelemahan yang dimiliki oleh Indonesia. Maka, dengan istilah “Nusantara” yang sudah dengan sendirinya mengacu pada persinggungan atas apa-apa yang berbeda, kemajemukan sebagai kelemahan Indonesia akan dapat menjadi kelebihannya.     

Banyak orang barangkali akan mengatakan bahwa orang yang tak dapat lepas dari masa silam adalah orang yang tak dapat move on. Romantisisme sejarah seperti ingin mengembalikan kejayaan sebagaimana di masa silam adalah prinsip orang yang perlu dikasihani. Setidaknya, demikianlah yang berkembang dalam angan bocah yang baru pada tahap mimpi basah.

Sepragmatis-pragmatisnya orang yang belajar sejarah pada dasarnya mereka tengah ingin memahami dirinya sendiri. Dalam Advantage and Disadvantage of History, Nietzsche 

Heru Harjo Hutomo: penulis, perupa dan pemusik, pemerhati radikalisme dan terorisme. Tahun 2020 hingga 2021, penulis terbaik pilihan jurnalfaktual.id.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article