Ngakak

Heru Harjo Hutomo
4 Min Read

jfid – Selain kentut, Charles de Montaigne, pernah pula menggunakan humor sebagai salah satu bahan refleksi filosofisnya. Seorang yang teguh dalam memegang prinsip untuk selalu moderat ini, dimana oleh para pecandu radikalisme sering dicibir sebagai “bencong,” adalah salah satu pemikir yang mengawali tradisi karya tulis berbentuk esai.

Esai pada dasarnya adalah sebuah genre tersendiri dalam bidang sastra di hari ini. Pada masa Montaigne, meskipun lazimnya tak panjang, karya esai memiliki beberapa karakteristik yang mendasar, yang membedakannya dengan bentuk karya tulis lainnya. Setidaknya, esai mestilah sebuah refleksi atas suatu topik tertentu. Dalam struktur karya-karya penelitian ilmiah, ia seperti halnya prawacana atau kata pengantar atas sesuatu dimana detailnya berada dalam isi sebuah buku.

Dari perspektif itu dapat dipahami seandainya menulis esai tak segampang yang dibayangkan. Meskipun tak harus bersifat final dalam kesimpulan, karya esai lazimnya mesti memiliki kemampuan untuk membuka ruang baru untuk diskusi atau pendalaman lebih lanjut. Karena itulah inspiratif seolah menjadi ciri khas dari sebuah karya esai. Sesuai dengan Montaigne yang bagi kalangan pecandu radikalisme bersifat kebencong-bencongan, dalam sejarahnya karya berbentuk esai memang lekat dengan moderatisme.

Taruhlah sebuah kasus yang akan dapat menggamblangkan perihal esai, Montaigne, dan humor. Beberapa waktu lalu, kalangan Nahdliyin seperti dianggap anak kecil yang pantas diwejang soal kebhinekaan dan mantan tokoh PKS yang dianggap NU yang kemudian bahkan pantas untuk menjadi ketua umum ormas keagamaan terbesar di Indonesia itu.

Apakah (alm.) Riyanto, seorang anggota Banser yang terpaksa memeluk sebuah rangsel yang berisi bom saat menjaga gereja di Mojokerto, pantas untuk diwejang kembali soal kebhinekaan? Apakah konsep cinta dan ridha Tuhan ala Hasan al-Bana sepadan dengan konsep cinta dan ridha Tuhan ala Ibn ‘Athaillah, misalnya (Jalan Panjang Moderatisme, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org)? Apakah jargon “banyak anak banyak pejuang” sepadan dengan prinsip “umat dahulu baru keluarga kemudian”?

Di sinilah orang berhadapan dengan sifat esai yang reflektif dan Montaigne yang suka mengeksplorasi hal-hal yang sekilas tak penting atau membuat ngakak sebagaimana humor. Humor tentu saja tak mesti berangkat dari unsur kesengajaan untuk menghibur atau membuat ngakak seseorang. Dapat pula ia berangkat dari sebentuk kegoblokan atau kecerobohan, sebab jelas orang yang melakoninya tak pernah menempatkan dirinya sebagai seorang dagelan.

Humor dan desekrasi, sebentuk bahak pada segala keluhuran dan kesucian, adakalanya berangkat dari sikap wis wani wirang Ki Ageng Pandanaran pada seorang pengais rumput yang ternyata adalah Sunan Kalijaga. Pada kasus ini humor berarti adalah sebentuk kegoblokan yang terpupuk oleh sebuah waham. Apalagi di zaman milenial dimana menurut Guy Debord relasi sosial ditentukan oleh citra dan menurut Tom Nichols ditandai oleh popularisasi orang-orang goblok atau “the death of expert,” waham sangatlah mudah untuk dibangkitkan sehingga cukup efektif untuk membuat siapapun serasa “orang penting” dan akhirnya mengundang gelak-tawa yang sifatnya desekrasif.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article